Fiqhislam.com - Tarekat dalam tasawuf berarti jalan menuju Allah SWT untuk meraih rida-Nya dengan menaati segala ajaran-Nya. Sebagai sebuah organisasi tempat berkumpulnya orang-orang yang berupaya untuk mengikuti kehidupan tasawuf, tarekat tak cuma menjalankan ritual-ritual kegiatan keagamaan semata. Kehadiran tarekat tak serta merta menjadikan salik (pengikutnya) meninggalkan kehidupan duniawi.
Tarekat-tarekat yang menjalankan tasawuf pun memiliki peran yang cukup besar dalam beragam kegiatan, seperti; sosial, ekonomi, pendidikan hingga politik. Sebagai sebuah jejaring sosial yang mampu menjangkau wilayah yang begitu luas, tarekat pun tercatat telah melakukan gerakan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Pada masa kolonial dulu, tarekat pun tampil sebagai sebuah gerakan perlawanan untuk memerangi penjajah. Sejarah mencatat, ada sejumlah gerakan perlawanan besar yang dilakukan para tokoh tarekat dan pengikutnya di Nusantara terhadap Belanda. Menurut Prof Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, respons Muslim pribumi terhadap penjajah Belanda terbagi menjadi dua.
‘’Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam,’’ tutur Azyumardi. Para ulama dan pengikutnya yang melakukan perlawanan secara diam melakukan uzlah atau menjauhkan diri dari pengasa kolonialis kafir. Uzlah para ulama itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf.
Gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang anti-kolonialisme, salah satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu. Menurut Azyumardi, gerakan radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjanjang abad ke-19. Peran tarekat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830).
Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kyai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan tersebut. Untuk menarik dukukang dari pondok pesantren, tokoh agama dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakannya sebagai perang suci atau perang sabil.
Tak heran, jika kemudian para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya, pada waktu itu meyakini pemberontakan Diponegoro itu sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa. Perang itu pun digaungkan Diponegero untuk mengusir kolonial Belanda yang tak beriman dari tanah Jawa.
Martin van Bruinessen dalam tulisannnya //Tarekat dan Politik:Amalan untuk Dunia atau Akhirat?// juga mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng. Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819.
Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai "fana". Dalam keadaan tak sadar ("mabuk zikir") mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir.
Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18. Syaikh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan Ihya dan Bidayat Al-Hidayah'nya Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya.
Syaikh Abdussamad, papar Bruinessen, adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. ‘’Meski begitu, Syaikh Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim,’’ tutur Bruinessen.
Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syaikh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syaikh Yusuf Makassar yang bergelar "al-Taj al-Khalwati" telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf dengan memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 diantaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap kolonial kafir.
Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehatn Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain itu, sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa’I (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917) dan Peristiwa Garut (1919).
Pemberontakan di Banjarmasin dipimpin tuan guru yang mengajarkan amalan "beratif baamal", suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Konon, orang berbondong-bondong datang dibai'at, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tentara kolonial tanpa memperdulikan bahaya.
Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di mesjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama yang disebut dengan Tuan Guru.
Menurut Azyumardi, Tarekat yang paling ditakuti Belanda, saat itu, adalah Tarekat Qadariyah dan tarekat Naksyabandiah. Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu. ‘’Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.’’
Lantas mengapa tarekat sangat ditakuti pra-penjajah pada masa kolonial dulu? Menurut Bruinessen, antara tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. ‘’Para pejabat jajahan Belanda, Perancis, Italia dan Inggeris lazim mencurigai tarekat karena - dalam pandangan mereka - fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik.,’’ papar penulis buku-buku tentang tarekat itu.
Gerakan tarekat ternyata tak hanya cefektif untuk melawan penjajah belaka. Di Afrika, misalnya, gerakan tarekat bahkan mampu melahirkan Negara Libya. Tarekat Sanusiyah yang dipimpin Syaikh Muhammad al-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi mampu menjadi jaring pemersatu hingga melahirkan sebuah negara yang kini dipimpin Moamar Gaddafi.
Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekatlah yang bisa mengkordinir dan mempersatukan semua suku Badui. Negara Libya modern merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah. Syaikh tarekat Sanusiyah yang keempat, Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara Libya.
Begitulah peran tarekat memainkan perannya dalam kehidupan sosial dan politik.
Jejak Tarekat
Tarekat mulai berkembang sekitar abad ke-6 H. Adalah Tarekat Kadiriah yag pertama kali berdiri. Tarekat ini diajarkan Abdul Qadir bin Abdullah al-Jili seorang sufi tersohor di Baghdad. Menurut legenda, sufi kelahiran Jilan, Persia 471 H itu adalah orang saleh yang memiliki keajaiban.
‘’Tarekat Kadiriah terkenal, karena keteguhannya dalam berpegang kepada syariat,’’ papar Dr Yunasril dalam Eksiklopedi Tematis Dunia Islam. Orientalis Inggris, AJ Arberry juga mengakuinya. Menurut dia, faktor penentu keberhasilan tarekat itu dan tarekat sejenisnya adalah ketaatan dan keteguhannya kepada syariat Islam.
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab, yakni tariqah yang berarti jalan atau metode yang ditempuh para sufi dalam menjalankan ibadah, zikir dan doa. Ritual ibadah itu diajarkan seorang guru sufi kepada muridnya dengan penuh kedisiplinan. Hubungan murid dan guru itu, kemudian melahirkan kekerabatan sufi.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Tujuan utama sebuah tareta tasawuf adalah menekan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu, kerap menjadikan manusia jauh dari Tuhan.
Guna mendekatkan diri dengan Sang Khalik, para pengikut tarekat secara rutin melakukan wirid berupa salat sunak, zikir dan doa sepanjang waktu, pagi, siang, sore dan malam hari. Komponen utama sebuah oraganisasi tarekat terdiri dari guru, murid, amalan, zawiyyah dan adab.
Di antara sederet tarekat, ada yang dipandang sah dan ada pula yang tidak sah. Sebuah tarekat dikatakan sah (mu’tabarah), apabila amalan tarekat itu dapat dipertanggungjawabkan secara syariah alias sesuai dengan Alquran dan Hadist. Sedangkan, tarekat tak sah (ghair mu’tabarah) adalah tarket yang tak berpedoman pada dua hal yang ditinggalkan Rasulullah SAW bagi umatnya, yakni Alquran dan Hadits.
Tasawuf mulai berkembang di bumi Nusantara sejak masa kolonialisme. Sehingga sejarah tarekat di Indonesia mencatat bahwa gerakan ini juga melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saat ini, di dunia Islam dikenal berberapa tarket besar, seperti Tarekat Kadiriah, Naksyabandiah, Syattariah, Samaniah, Khalwatiah, Tijaniah, Idrisiah dan Rifaiah.
Nama Tarekat Pendiri Pusat
1. Adhamiah Ibrahim bin Adham Damaskus, Suriah
2. Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad Qadiah, India
3. Alawiyah Abu Abbas Ahmad Aljazair
4. Alwaniah Syekh Alwan Jeddah, Arab Saudi
5. Ammariah Amar Bu Senna Aljazair
6. Asyaqiah Hasanuddin Turki
7. Asyrafiah Asyraf Rumi Turki
8. Babaiah Abdul Gani Turki
9. Bahramiah Hajji Bahrami Turki
10. Bakriah Abu Bakar Wafai Suriah
11. Bektasyi Bektasy Veli Turki
12. Bistamiyah Abu Yazid al-Bistami Iran
13. Gulsyaniah Ibrahim Gulsyani Mesir
14. Haddadiah Sayid Abdullah Arab Saudi
15. Idrisiah Syaid Ahmad Arab Saudi
16. Ighitbasyiah Syamsudin Yunani
17. Jalwatiah Pir Uftadi Turki
18. Jamaliah Jamaludin Turki
19. Kabrawiah Najmuddin Iran
20. Kadiriah Abdul Qadir Jailani Irak
21. Khalwatiah Umar al-Khalwati Turki
22. Maulawiah Jalaludin ar-Rumi Anatolia
23. Muradiah Murad Syami Turki
24. Naksyabandiah Muhammad bin al-Uwaisi al-Bukhari Turki
25. Niyaziah Muhammad Niyaz Yunani
26. Ni’matallahiah Syah Wali Ni’matillah Iran
27. Nurbakhsyiah Muhammad Nurbakh Iran
28. Nuruddiniah Nuruddin Turki
29. Rifaiah Syaid Ahmad ar-Rifa’I Irak
30. Sadiyah Sa’dudin Jibawi Irak
31. Safawiyah Safiuddin Iran
32. Sanusiah Sidi Muhammad bi Ali As-Sanusi Lebanon
33. Saqatiah Sirri Saqati Irak
34. Siddiqiah Kiai Mukhtar Mukti Jawa Timur
35. Sinan Ummiah Ali Sinan Ummi Turki
36. Suhrawardiah Abdullah as-Suhrawadi Irak
37. Sunbuliah Sunbul Yusuf Bulawi Turki
38. Syamsiah Syamsuddin Madinah
39. Syattariah Abdullah asy-Syattar India
40. Syaziliah Abu Hasan Ali asy-Syazalli Mekkah
41. Tijaniah Muhammad at-Tijani Maroko
42. Umm Sunaniah Syekh Umm Sunan Turki
43. Wahabiah Muhammad bin Abdul Wahhab Arab Saudi
44. Zainiah zainuddin Irak
[yy/republika]
Artikel Terkait: