pustaka.png
basmalah2.png


10 Rabiul-Awwal 1445  |  Senin 25 September 2023

Legitimasi Fatwa dalam Bentang Sejarah

Legitimasi Fatwa dalam Bentang Sejarah

Fiqhislam.com - Fatwa, menurut bahasa, berarti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa). Sedangkan, pengertian fatwa, menurut syariat, ialah menerangkan hukum syariat atas persoalan tertentu sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, perseorangan, maupun kolektif.

Fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad).

Satu-satunya cara mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari sumber hukum Islam, yakni Alquran dan hadis.

Pada masa Rasulullah, Nabi yang bertindak sebagai mufti. Fatwa muncul didasarkan pada suatu peristiwa yang menyerukan hukum atau timbul karena adanya pertanyaan atau sengketa. Bahkan, fatwa juga muncul atas permintaan Nabi.

Untuk itu, Allah SWT menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menjelaskan hukum yang diinginkan dan disampaikan kepada umat-Nya. Sehingga, ketika teman-teman menghadapi masalah yang memerlukan fatwa, mereka langsung meminta solusinya kepada Nabi.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa, Antara Ketelitian dan Kecerobohan, pada masa Rasulullah sering kali beliau menerangkan hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaaan dari seseorang.

Biasanya, hal seperti ini dilakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang sedang menuntut ilmu, mengkhusukan yang umum, atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat).

Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Di antaranya, pertanyaan Abu Musa al-Asy'ari tentang minuman yang dibuat di Yaman yang disebut al-biq'u yang berasal dari madu dan dijadikan minuman keras dan al-mizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras. Rasulullah menjawab, semua yang memabukkan (menghilangkan kesadaran akal) adalah haram.

Selanjutnya, Thariq bin Said juga bertanya kepada beliau tentang khamar. Beliau pun pernah ditanya tentang seseorang yang berperang dengan tujuan untuk menunjukkan keberaniannya, orang yang berperang karena fanatik dengan kaumnya dan orang yang berperang karena ingin disanjung orang lain.

Fatwa-fatwa Rasulullah terhadap para penanya dalam sebagian besar persoalaan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak, dan beraneka ragam yang tidak akan menimbulkan keraguan bagi orang yang ingin mengkaji sunah beliau. Ibnul Qayyim banyak menyebutkan fatwa Rasulullah dalam kitabnya yang telah ia ringkas.

 

Legitimasi Fatwa dalam Bentang Sejarah

Fiqhislam.com - Fatwa, menurut bahasa, berarti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa). Sedangkan, pengertian fatwa, menurut syariat, ialah menerangkan hukum syariat atas persoalan tertentu sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, perseorangan, maupun kolektif.

Fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad).

Satu-satunya cara mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari sumber hukum Islam, yakni Alquran dan hadis.

Pada masa Rasulullah, Nabi yang bertindak sebagai mufti. Fatwa muncul didasarkan pada suatu peristiwa yang menyerukan hukum atau timbul karena adanya pertanyaan atau sengketa. Bahkan, fatwa juga muncul atas permintaan Nabi.

Untuk itu, Allah SWT menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menjelaskan hukum yang diinginkan dan disampaikan kepada umat-Nya. Sehingga, ketika teman-teman menghadapi masalah yang memerlukan fatwa, mereka langsung meminta solusinya kepada Nabi.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa, Antara Ketelitian dan Kecerobohan, pada masa Rasulullah sering kali beliau menerangkan hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaaan dari seseorang.

Biasanya, hal seperti ini dilakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang sedang menuntut ilmu, mengkhusukan yang umum, atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat).

Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Di antaranya, pertanyaan Abu Musa al-Asy'ari tentang minuman yang dibuat di Yaman yang disebut al-biq'u yang berasal dari madu dan dijadikan minuman keras dan al-mizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras. Rasulullah menjawab, semua yang memabukkan (menghilangkan kesadaran akal) adalah haram.

Selanjutnya, Thariq bin Said juga bertanya kepada beliau tentang khamar. Beliau pun pernah ditanya tentang seseorang yang berperang dengan tujuan untuk menunjukkan keberaniannya, orang yang berperang karena fanatik dengan kaumnya dan orang yang berperang karena ingin disanjung orang lain.

Fatwa-fatwa Rasulullah terhadap para penanya dalam sebagian besar persoalaan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak, dan beraneka ragam yang tidak akan menimbulkan keraguan bagi orang yang ingin mengkaji sunah beliau. Ibnul Qayyim banyak menyebutkan fatwa Rasulullah dalam kitabnya yang telah ia ringkas.

 

Kelahiran Lembaga Fatwa

Kelahiran Lembaga Fatwa


Kelahiran Lembaga Fatwa


Fiqhislam.com - Setidaknya sejak abad kedua hingga abad kedelapan Hijriyah, kian banyak ulama yang mengabdikan diri untuk keberlangsungan keilmuan Islam. Di Makkah, Madinah, Damaskus, Yaman, dan pusat-pusat perkembangan Islam lainnya, sosok-sosok seperti as-Sya'bi (wafat sekitar 721-722 M), az-Zuhri (wafat 742 M), Makhul (wafat 734 M), dan Ta'us (wafat 720 M) merupakan para perintis bahan yang digunakan generasi berikutnya untuk mengembangkan sistem hukum Islam.

Muhammad Khalid Masud dan kawan-kawan dalam Islamic Legal Interpretation (1996), menjelaskan, pada masa berikutnya, perkembangan fatwa kian terlembagakan. Lembaga fatwa mulai tumbuh sebagai lembaga yang mandiri dari kekuasaan negara. Para ulama mengendalikannya berdasarkan standar keilmuan.

Untuk bisa mengeluarkan sebuah fatwa, yang diperlukan adalah ilmu keagamaan dan takwa. Para mufti menyediakan nasihat yang sifatnya otoritatif bagi kaum Muslim kurang mengetahui ihwal hukum-hukum agama Islam. Demikian pula, kaum Muslim dapat merujuk kepada para mufti untuk hal-hal yang dirasakan masih perlu penilaian Islami.

Pada masa Dinasti Umayyah, para mufti bertindak sebagai konsultan hukum untuk para qadi sembari mengeluarkan fatwa bila dimintai pendapatnya oleh para gubernur mengenai beberapa persoalan.

Misalnya, gubernur Ailah, Ruzayq bin Hukaym pernah menulis surat kepada al-Zuhri di Wadi al-Qura. Ia bertanya apakah dia harus menyelenggarakan shalat Jumat bagi para budak yang bekerja di tempat pertanian yang ia miliki.

Az-Zuhri menjawab bahwa gubernur Ruzayq semestinya menyelenggarakan shalat Jumat bagi mereka. Dalam surat jawabannya ini, az-Zuhri mengutip beberapa hadis Nabi SAW.

Dalam sistem hukum Islam, seorang qadi mesti meminta konsultasi dengan para ahli hukum Islam untuk membuat putusan. Khususnya, di berbagai kasus sulit, misalnya terkait kemungkinan hukuman mati. Meskipun ditunjuk oleh khalifah atau amir (penguasa), permintaan konsultasi terhadap seorang penasihat hukum sering kali dilakukan secara individual oleh qadi. Musyawarah demikian dilakukan untuk menjamin bahwa standar hukum Islam telah diterapkan di pengadilan. Selain ranah peradilan, fatwa juga bisa dikeluarkan untuk memenuhi permintaan otoritas politik.

Pada periode Kesultanan Mamluk (1250-1516 M) di Mesir dan Suriah, lembaga fatwa cenderung mandiri dari kekuasaan negara. Para mufti mengeluarkan fatwa secara tertulis sebagai tanggapan terhadap beberapa individu yang memintanya, atau terhadap qadi.

Tidak jarang, mufti hadir di sebuah pengadilan untuk dimintai pendapatnya di muka pengadilan oleh qadi. Para sultan Mamluk tidak menunjuk para mufti yang hadir ke pengadilan. Kendati begitu, para sultan menugasi beberapa mufti untuk di pengadilan mazhalim, pengadilan khusus yang digelar para sultan atau gubernur.

Kesultanan Mamluk juga menggaji para mufti yang dimintai pendapat soal kebijakan-kebijakan politik negara. Metode ini memunculkan lembaga syaikhul-Islam pada masa Kesultanan Ottoman kemudian.

Pada masa Kesultanan Ottoman (1516-1918 M), para mufti tampil sebagai individu yang mandiri dari kekuasaan negara. Ketika wilayah kekuasaan Ottoman terus berkembang, mazhab Hanafi diadopsi sebagai mazhab resmi.

Para mufti perlahan-lahan terkumpul dalam administrasi peradilan yang terpusat. Hal itu dimulai dari masa kepemimpinan Sultan Murad II (1421-1451 M). Seorang mufti tunggal sekaligus syaikhul-Islam, diposisikan sebagai otoritas satu-satunya mengenai syariat.

Pada masa Sultan Salim I (1512-1520 M), syaikhul-Islam memiliki pengaruh moral di ibu kota, Istanbul. Hal itu berpuncak pada masa kekuasaan Sulaiman (1520-1566 M). Seorang syaikhul-Islam bertanggung jawab atas hierarki peradilan yang cukup rumit, yang tersebar di seluruh negeri.

Dengan melonjaknya permintaan fatwa, para mufti masuk ke sistem birokrasi. Sultan mulai memerintahkan pendirian kantor-kantor yang menyebarluaskan fatwa. Di dalamnya, para profesional mengepalai sekaligus mengawasi peredaran fatwa hingga sampai ke masyarakat atau lembaga yang membutuhkannya di seantero negeri.

Berkat efisiennya sistem ini, dilaporkan bahwa pada abad ke-16, syaikhul-Islam mengeluarkan rata-rata 350 tanggapan atas berbagai permintaan fatwa, yakni dua kali sepekan. Bahkan, Abu as-Su'ud, yang diamanahi tugas sebagai syaikhul-Islam pada 1545-1574 diketahui pernah menulis sampai 1.400 fatwa dalam satu hari.

Fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan secara sistematis disimpan dalam dokumentasi negara. Beberapa di antaranya dikumpulkan dalam bentuk buku.

 

Fatwa pada Zaman Tabiin

Fatwa pada Zaman Tabiin


Fatwa pada Zaman Tabiin


Fiqhislam.com - Dalam menghadapi perkembangan kehidupan, dengan berbagai persoalan yang memerlukan penetapan hukum tapi tidak terdapat dalam Alquran dan sunah, para sahabat melakukan ijtihad. Ada beberapa sahabat yang menentukan langkah-langkah dalam berijtihad (Abu Bakar dan Umar). Pada periode ini ijtihad sahabat belum dibukukan.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, Rafi' ibn Khudaij termasuk salah satu mufti negara Islam bersama mufti-mufti besar lainnya, seperti Abdullah ibn Abbas, Abu Sa'id al-Khudris dan Salamah ibn al-Akwa.

Mereka memberi fatwa menyangkut fikih dan berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam. Fatwa-fatwa ini kemudian menjadi pelajaran sekaligus pijakan hukum amat penting bagi generasi setelah mereka.ed: nashih nashrullah.

Era Tabiin dan Realitas Hidup yang Kian Kompleks

Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabiin yang pemerintahannya dipimpin Bani Umayyah. Menurut Noor Naemah Abd Rahman dalam Sejarah Kegiatan Fatwa Pada Era Al-Tabi'in, kegiatan fatwa pada era tabiin memperlihatkan beberapa perkembangan dan kemajuan karena desakan realitas kehidupan umat Islam pada waktu tersebut.

Era tabiin dimulai dari masa transisi kekuasaan pemerintahan dan administrasi ke tangan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada 41 H dan berlanjut sampai awal kurun kedua Hijriyah, yaitu masa berakhirnya pemerintah Bani Umayyah. Era ini dikenal era tabiin walaupun masih ada sejumlah kecil sahabat yang masih hidup yang dikenal sebagai sighar al-sahabat.

Generasi tabiin adalah mereka yang sempat berguru dengan tokoh-tokoh ilmuwan dari generasi para sahabat, seperti abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zayd bin Thabit, Abdullah bin Mas'ud, dan lainnya.

Para sahabat juga sangat berat dalam menciptakan generasi tabiin yang nantinya harus mampu mewarisi kemampuan ilmiah yang memungkinkan mereka berijtihad dan memegang tanggung jawab fatwa.

Fatwa pada zaman tabiin masih mengambil tempat sebagai instrumen utama dalam memperkembangkan konsep dan prinsip hukum Islam. Fatwa juga diperlukan jika ada perubahan dan pembaruan yang terjadi dalam masyarakat Islam yang membutuhkan komitmen hukum yang meluas.

Namun, secara umum, fatwa dan perundangan pada era fabiin masih hampir sama dengan apa yang terjadi pada zaman sahabat. Mereka masih berpegang kepada metode ijtihad yang dilalui oleh para sahabat dengan mengacu kepada Alquran dan sunah dan berikutnya ijtihad para sahabat.

Jika tidak juga ditemukan solusi maka mereka akan berijtihad sebagaimana para sahabat berijtihad. Tapi, terkadang generasi tabiin ini juga bergantung kepada rasionalitas dalam membuat keputusan hukum dan fatwa.

Lebih-lebih lagi dalam menghadapi berbagai perubahan dan fenomena baru dalam masyarakat yang menyentuh seluruh kehidupan dan yang berkaitan dengan isu-isu kemasyarakatan maupun isu agama secara khusus.

Ditambah lagi kedudukan politik negara pada zaman ini tidak begitu stabil dan mulai mengalami perubahan dari keutuhan sebelumnya. Perpecahan yang tercetus pada akhir zaman keempat khalifah pengganti Rasulullah telah mulai meluas. Akhirnya, terbentuk tiga kelompok politik yang nyata dalam negara, seperti Khawarij dan Syiah.

Munculnya  kelompok-kelompok politik ini turut memengaruhi kegiatan fatwa karena masing-masing pihak mempunyai pendirian hukum dan metodologi yang saling berbeda satu sama lain.

Hal ini menyebabkan ketidakstabilan di kehidupan masyarakat ditambah lagi adanya sistem pemerintahan negara yang banyak menyimpang dari panduan syariat.

Keputusan-keputusan fatwa dan hukum telah dijadikan bahan manipulasi oleh pemerintah untuk membenarkan dasar yang dibuat. Melihat hal ini, para ulama mengambil sikap untuk tidak mendekati golongan pemerintah.

 

Memelihara Keberlangsungan Sunah

Memelihara Keberlangsungan Sunah


Memelihara Keberlangsungan Sunah


Fiqhislam.com - Muhammad Khalid Masud dkk dalam Islamic Legal Interpretation (1996) menyatakan, umat Islam berkembang pesat pascawafatnya Rasulullah SAW. Bila dahulu segala persoalan mengenai syariat bisa langsung dikonsultasikan kepada Nabi SAW, kini cara demikian tidak bisa digunakan kembali. Orang-orang yang menjadi rujukan pertama-tama adalah para sahabat yang pernah berinteraksi dengan Nabi SAW. Ada sekitar 130 sahabat yang dikatakan berperan sebagai mufti selama abad pertama Hijriyah.

Semasa kepemimpinannya sebagai gubernur Yaman, Muaz bin Jabal (wafat 640 Masehi), misalnya, telah menyiarkan berbagai fatwa, baik mengenai ibadah maupun urusan duniawi. Juru tulis Nabi SAW, Zaid bin Tsabit, juga pernah mengepalai lembaga fatwa di Madinah selama 634-666 Masehi. Ibn 'Abbas mengeluarkan beragam fatwa yang telah dikumpulkan dalam 20 jilid oleh dinasti yang kelak mengambil nama klannya, Dinasti Abbasiyah, tepatnya ketika dipimpin Kalifah al-Makmun.

Hingga abad ketujuh Hijriyah, lembaga-lembaga fatwa menyebar ke penjuru negeri Islam. Pengumpulan hadis Nabi SAW selama abad ketiga hingga abad kesembilan Hijriyah aktivitas lembaga fatwa, seperti dipraktikkan para sahabat Nabi. Tujuannya, untuk memelihara keberlangsungan sunah.

Misalnya, dijelaskan bahwa Masruq (wafat 682 Masehi) pernah bertanya kepada istri Rasulullah, Aisyah, mengenai bagaimana Rasulullah SAW melakukan shalat malam. Atas pertanyaan ini, Aisyah menjawab, Kadang, tujuh rakaat, kadang sembilan rakaat, dan kadang 11 rakaat.

Setelah sebagian besar generasi sahabat Rasulullah wafat, umat Islam kala itu terputus dari konsultasi kepada pihak-pihak yang pernah menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah SAW berbuat. Namun, para ulama sudah mempraktikkan paradigma isnad, yakni metode transmisi keilmuan dari generasi terdahulu ke generasi kemudian.

Dalam History of Fatwa dijelaskan, setelah meninggalnya Rasullah, mufti dipegang oleh al-Khulafa al-Rasyidun. Mereka memiliki wewenang memberikan fatwa terhadap masalah yang tidak diketahui jawabannya. Pada periode ini konstitusi Islam adalah Alquran dan sunah.

Kedua hal ini disebut nash atau naql. Jika ada masalah yang tidak jelas dalam nash itu, sahabat era Khulafaur Rasyidin memakai ijtihad untuk mendapatkan solusi. [yy/republika]

 

 

Tags: Fatwa