Ulama Berpindah Madzhab, Apakah Syariat Tersambung ke Nabi?
Fiqhislam.com - Karena sifat madzhab yang merupakan ijtihadi, maka bermadzhab dari satu aliran madzhab tertentu tidak diwajibkan, meski ada sebagian kecil ulama yang mewajibkan konsistensi dalam bermadzhab. Lantas apakah syariat itu tersambung ke Nabi?
Dalam buku madzhabmu Rasulullah? karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, setiap umat Muslim dibebaskan memilih madzhabnya masing-masing. Jadi tidak diwajibkan untuk mengikuti madzhab A atau wajib madzhab B. Sehingga dalam realitanya, para ulama pun banyak yang melakukan perpindahan madzhab.
Sebagai contoh, ada Ibnu Syahnah yang berpindah ke madzhab Maliki, Qadhi Abu Ya’la yang pindah ke madzhab Hanbali. Lalu ada Abdil Hakam yang pindah ke madzhab Syafi'i walaupun pada akhirnya pindah kembali ke madzhab Maliki.
Begitu pun dengan yang dilakukan Ibnu Daqiq Al-Ied yang menganut madzhab Maliki dan pindah menjadi madzhab Syafi'i. Kemudian ada Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Amidi, Al-Munziri, Ibnu Burhan, dan Ibnu Nashr yang semuanya berpindah ke madzhab Syafi'i.
Lalu apakah syariat yang dilakukan para ulama yang berpindah madzhab ini sah? Tentu saja sah. Karena setiap madzhab sejatinya merupakan pendalaman dari ulama madzhab dalam mencari dasar ilmu yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW. Dengan kehati-hatian, koreksi, dan penelitian yang ketat agar jangan sampai keraguan dalam memutuskan suatu hal yang bersifat syariat keluar dari apa yang diajarkan Nabi. [yy/republika]
Artikel Terkait: