Sultan Baabullah, Peletak Negara Islam di Nusantara
Fiqhislam.com - Sultan Baabullah adalah pejuang kemerdekaan Indonesia terbesar di abad ke-16 yang berhasil menaklukkan Portugis, dan memutus mata rantai kolonialisme barat di Indonesia selama 100 tahun.
Kepahlawan pejuang dari Indonesia Timur ini bahkan kerap disamakan dengan Salahuddin al Ayubi, pejuang Muslim yang berhasil merebut Kota Yerusalem dari kekuasaan pasukan Salib.
Seperti apa riwayat Sultan Baabullah yang tersohor itu? Capaian terbesar apa yang telah diraihnya hingga namanya layak disandingkan dengan Salahuddin al Ayubi? Cerita Pagi akan mengulasnya.
Sultan Baabullah dilahirkan dari rahim Boki Tanjung, permaisuri Sultan Khairun Janil yang berkuasa di Ternate, pada 10 Februari 1528. Ibunda Sultan Baabullah merupakan putri Sultan Alaudin I dari Bacan.
Sejak kecil, Pangeran Baab sudah dipersiapkan oleh Sultan Khairun Janil untuk menggantikan posisinya kelak, saat sudah dewasa. Bersama saudara-saudaranya, dia dikenalkan ajaran Islam oleh mubaligh.
Sejalan dengan itu, dia juga diajarkan seni berperang oleh para panglima perang dari Kesultanan Ternate. Dia juga suka diajak ayahnya setiap kali ada urusan kenegaraan, dan kesultanan.
Setelah dewasa, Sultan Baabullah telah menjadi seorang kesatria yang pintar, dan dalam pengetahuan agamanya, serta pandai mengatur siasat perang, dan menyelesaikan masalah-masalah kesultanan.
Hingga akhirnya, meletuslah perang antara Kesultanan Ternate dengan kolonialisme Portugis. Perang ini berlangsung lama, mulai 1559-1567. Dalam peperangan itu, Sultan Baabullah diutus menjadi panglima.
Dia bertugas menghancurkan pasukan kolonial Portugis di wilayah Maluku dan Sulawesi. Dalam peperangan itu, Sultan Baabullah berhasil meraih kemenangan, dan pasukan kolonial Portugis kalah telak.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonialisme barat di Indonesia, pasukan kolonial Portugis mendapat malu yang sangat besar. Namun begitu, perang masih terus terjadi di wilayah Kesultanan Ternate.
Kemenangan Sultan Baabullah melawan pasukan kolonial Portugis, diikuti dengan kemenangan-kemenangan lainnya. Wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate pun akhirnya semakin bertambah besar.
Setelah jatuhnya Ambon ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate, pasukan kolonial Portugis pun akhirnya bertekuk lutut, dan mengibarkan bendera putih tinggi-tinggi sebagai simbol menyerah.
Namun begitu, Kesultanan Ternate tidak lantas percaya dengan muslihat kolonial Portugis yang licik. Hingga akhirnya, Gubernur Portugis Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun Janil untuk jamuan makan, di Benteng Sao Paulo.
Pada jamuan itu, Sultan Khairun Janil hanya diperbolehkan datang sendiri. Kecurigaan Kesultanan Ternate pun semakin menjadi. Di sinilah kelicikan kolonial Portugis. Hal itu sudah diketahui oleh Sultan Khairun Janil.
Dengan gagah berani, meski diluputi rasa tidak percaya, Sultan Khairun Janil akhirnya memenuhi undangan jamuan makan kolonial Portugis seorang diri, tanpa membawa seorang pun pengawal ke benteng Portugis.
Atas perintah Gubernur Portugis Lopez de Mesquita, usai jamuan makan, sang sultan dibunuh. Jantungnya diambil untuk diserahkan kepada raja muda Portugis Goa India. Peristiwa itu terjadi pada 25 Februari 1570.
Tidak hanya itu, pasukan kolonial Portugis juga mencabik-cabik tubuh sang sultan, sebagai luapkan atas kekalahan mereka di medan perang. Tindakan brutal ini menimbulkan kemarahan rakyat Ternate, dan Maluku.
Dewan Kesultanan Ternate atas dukungan rakyat kemudian menobatkan Pangeran Baab sebagai Sultan Ternate menggantikan ayahnya dengan gelas Sultan Baabullah Datu Syah. Saat itu, usianya sudah 42 tahun.
Dalam pidato penobatannya, Sultan Baabullah bersumpah akan mengusir kolonial Portugis dari wilayah Indonesia Timur, dan berjuang mengembangkan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.
Sultan Baabullah merupakan generasi ke-5 dalam Kesultanan Ternate. Generasi pertama adalah Sultan Bayanullah, kedua Sultan Maharani Noekila, ketiga Sultan Tabarija, dan keempat Sultan Khairun Janil.
Pembunuhan Sultan Ternate Khairun Janil atas perintah Gubernur Portugis Lopez de Mesquita, memicu terjadinya perang kolonial kedua yang lebih besar di wilayah Indonesia bagian timur.
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, perang melawan pasukan kolonial Portugis berlangsung sangat hebat. Seluruh rakyat Ternate, Maluku, serta negeri-negeri di wilayah Indonesia bagian timur terjun dalam peperangan.
Menikahnya Sultan Baabullah dengan adik Sultan Iskandar Sani dari Tidore, dan bergabungnya para raja, serta kepala suku di Sulawesi, dan Papua, membuat pasukan perang Sultan Baabullah tak terkalahkan.
Dengan kekuatan yang luar biasa besar itu, Sultan Baabullah berhasil merebut benteng Portugis di Tolucco, Santo Lucia, dan Santo Pedro. Kekalahan itu membuat Portugis malu dan frustasi.
Gubernur Portugis Lopez de Mesquita yang berada di Benteng Sao Paulo pun ketakutan. Di balik bentengnya itu, sang gubernur sembunyi. Selama hampir lima tahun, dia tidak berani keluar dari benteng.
Hubungannya dengan dunia luar diputus sama sekali oleh pasukan Sultan Baabullah. Pasokan makanan pun dijatah satu porsi untuk satu orang. Kehidupan di dalam benteng menjadi sangat memprihatinkan.
Keadaan yang serba sulit itu membuat Kerajaan Portugis geram. Mereka lalu mengganti Gubernur Portugis Lopez de Mesquita dengan Alvaro de Ataide, untuk menggempur wilayah yang dikuasai Sultan Baabullah.
Perang Soya-Soya atau perang pembebasan negeri dari cengkeraman kolonialisme Portugis pun dikobarkan. Tidak hanya Ternate dan Maluku, Jawa (Jepara), Melayu, Makasar, dan Buton pun ikut membantu.
Pasukan kolonial Portugis yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap, modern, dan canggih, tidak bisa berbuat banyak menghadapi serangan pasukan Sultan Baabullah yang sangat kuat itu.
Di bawah para penglima perang terbaiknya, seluruh wilayah Kesultanan Ternate dibebaskan dari kolonialisme Portugis. Mulai dari Ambon-Seram, Sula, Baca, Luwuk, Banggai, Buton, Halmahera, dan Sulawesi.
Sultan Baabullah Datu Syah berhasil mengusir penjajah Portugis pada tahun 1575. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonialisme barat, pasukan penjajah Portugis berhasil dikalahkan orang pribumi.
Dengan kalahnya pasukan Portugis, suku-suku, dan kerajaan-kerajaan pribumi yang mendukung Portugis pun akhirnya berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Dari semua wilayah itu, hanya Benteng Sao Paulo yang tersisa.
Setelah lima tahun dikepung, akhirnya Sultan Baabullah mengultimatum mantan Gubernur Portugis Lopez de Mesquita dan pasukannya yang ada di dalam benteng untuk menyerah, atau dihancurkan.
Dengan perasaan malu dan kepala tertunduk, mereka memilih untuk menyerah. Mantan Gubernur Portugis Lopez de Mesquita dan pasukannya berjalan keluar benteng dengan kepala tertunduk ke bawah, karena diliputi perasaan malu.
Tidak satu pun pasukan Lopez de Mesquita yang dilukai. Kebesaran hati Sultan Baabullah yang mengampuni pembunuh ayahnya ini sering disamakan dengan kebesaran Sultan Salahuddin al Ayubi, pejuang Muslim yang merebut Kota Yerusalem.
Demikian perang kolonial Portugis berhasil dimenangkan Sultan Baabullah. Buya Hamka mengatakan, kemenangan rakyat Ternate ini merupakan satu peristiwa yang sangat penting, karena menunda penjajahan barat atas Nusantara selama 100 tahun.
Setelah Portugis pergi, Sultan Baabullah memperluas wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate dengan misi penyebaran agama Islam. Setiap wilayah yang telah diduduki, ditempatkan wakil-wakil Kesultanan Ternate atau sangaji.
Di Nusa Tenggara, sangaji Kesultanan Ternate ada di Sangaji Solor, Lawayong (NTT), Lamaharra, Kore (NTB dan Bali), Mena, dan Dili (Timtim). Di Pulau Jawa, ada empat sangaji, di Lor, Kidul, Wetan, dan Kulon.
Di Sumatera ada sangaji Palembang. Sementara di Irian ada lima sangaji, yaitu Sangaji Raja Ampat (Kolano Fat), Papua Gamsio (Sorong), Mafor (Biak), Soaraha (Jayapura), dan Mariekku (Merauke).
Di Sulawesi, sangaji Kesultanan Ternate ditempatkan di Kerajaan Goa Makasar, Bone, Buton Raha, Gorontalo, Sangir, Minahasa, Luwu, Banggai, dan Selayar. Di Kalimantan ada di Kerajaan Sabah, Brunai, Serawak, dan Kutai.
Begitu pula di Filipina, terdapat di Kerajaan Mangindano, Zulu-Zamboango. Sementara di Kepulauan Maluku ada Sangaji Seram, Ambon, Sula, Maba, Pattani, Gebe, dll. Bahkan sampai di Mikronesia, dekat pulau Marshal, Kepulauan Mariana.
Begitu luas wilayah kekuasaan Kesultanen Ternate, membuat banyak masyarakat yang berpendapat bahwa Kesultanan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah merupakan model negara Islam pertama di Nusantara.
yy/sindonews