pustaka.png
basmalah2.png


28 Jumadil-Awwal 1445  |  Selasa 12 Desember 2023

Ketika Istri Gugat Suami Menjadi Trend

Fiqhislam.com - Trend baru akhir-akhir ini adalah istri gugat cerai suami. Sejumlah artis dan selebritis telah melakukan hal itu. Dalam periode Januari hingga April 2011, angka penggugat cerai di Depok didominasi oleh pihak istri (70%). Alasan perceraian itu, menurut Panitera Bidang Hukum Pengadilan Agama Kota Depok, Encep Arifudin, disebabkan faktor ekonomi, kurangnya rasa tanggung jawab suami, tidak harmonisnya hubungan suami isteri.

Gugat Cerai oleh Istri

Ada 2 jenis yaitu fasakh dan khulu’.
1. Fasakh
Yaitu pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
•   Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
•   Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
•    Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suami istri); atau
•  Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’
Menurut syara’, Al-Khulu ialah perceraian antara suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan atas permintaan istri, dengan pembayaran (imbalan) sejumlah harta yang diserahkan isteri kepada suaminya, serta menggunakan kata khulu’ (gugat cerai). Besarnya kompensasi (iwadh) tergantung kesepakatan mereka dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafazh talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan Hakim ataupun tidak.

Hukum Khulu'

Firman Allah SWT: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [QS. Al-Baqarah : 229] 

Jamilah binti Sahal (istri dari Tsabit bin Qais bin Syammas) merupakan wanita pertama yang melakukan khulu’ dalam Islam. Dalam hadis Ibnu Abbas ra diceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mencela Tsabit bin Qais karena akhlak maupun agamanya, tapi saya khawatir terjadi hal-hal yang membuat saya menjadi kafir setelah (memeluk) Islam (karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”.  Maka Rasulullah saw bersabda, “Apakah kamu rela untuk mengembalikan kebun yang ia berikan?”.   “Ya,” jawabnya. Beliau lalu bersabda kepada Tsabit bin Qais, “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia. (HR. Bukhari).

Alasan Dibolehkannya Khulu’

Ibnu Hajar al-’Asqalaniy dan ath-Thibiy membolehan khulu’ dengan alasan:
•   istri khawatir tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai istri bila terus tinggal bersama suami yang tidak dicintainya bahkan dibencinya;
•    tidak suka terhadap suami disebabkan oleh kekurangan fisik atau keburukan akhlaknya;
•    kekhawatiran istri bahwa perubahan perasaannya terhadap suami akan menjerumuskannya ke dalam dosa dan fitnah (seperti bersikap kasar, membangkang, serta tindakan melukai dan menyakiti hati suaminya).

Imam Malik membolehkan khulu’ karena istri tidak dapat mencintai dan melayani suaminya karena kekurangan fisiknya, minimnya ilmu agamanya, kelalaiannya menjalankan perintah agama, kelanjutan usianya ataupun kondisinya yang lemah dan dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kewajiban suami, sehingga menelantarkan hak istri.

Alasan Tidak Dibolehkannya Gugat Cerai

Fasakh dan khulu’ tanpa alasan yang dibolehkan syara’ , hanya sebagai legitimasi untuk melakukan larangan agama (seperti mendapatkan kebebasan), dilarang dan pelakunya menerima laknat Allah SWT.  Dari Tsauban ra, ia berkata Nabi saw bersabda, “Perempuan mana saja yang menuntut cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang mendesak, maka diharamkan baginya (mencium harumnya) bau syurga”. (HR. Abu Daud)

Oleh karena itu, khulu’ diharamkan ketika rumah tangga dalam kondisi stabil, adanya hubungan baik antara suami istri, serta tidak adanya hal-hal yang mendesak terjadinya perceraian.

Haram suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah SWT berfirman:  “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [QS. An-Nisa : 19] Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas.

Efek Hukum Fasakh dan Khulu’

Efek hukum yang ditimbulkan adalah talak ba'in, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut setelah perempuan tersebut menikah dengan lelaki lain kemudian bercerai setelah didukhuli (terjadi jima’). 

Mantan istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir bila ingin menikah dengan laki-laki lain.  Setelah bercerai dengan suami kedua, maka suami kedua pun memiliki hak rujuk kepada perempuan tersebut.  Sehingga suami pertama harus sabar menunggu takdir apakah Allah SWT akan menjadikan mantan istrinya menjadi istrinya kembali atau tidak. 

Istri yang menggugat cerai suaminya, apabila ternyata hatinya sebenarnya ‘benci tapi rindu’, maka dia tidak boleh langsung kembali kepada mantan suaminya.  Dia harus menikah terlebih dahulu dengan lelaki lain tanpa ada rekayasa.  Suami keduanya bukan sekedar sebagai muhallil (orang yang bisa menghalalkan dia bisa kembali kepada mantan suaminya) atau bahkan dengan persyaratan tidak mau melakukan jima’ (hubungan suami istri).

Istri yang menuntut cerai dari suaminya harus mengembalikan mahar yang diberikan kepadanya. Ia juga harus menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama iddah, nafkah mut’ah (nafkah untuk istri yang dicerai tanpa alasan setelah masa iddah) dan mahar yang belum sempat terbayar.

Hikmah Hukum Istri Gugat Cerai Suami

Para istri tidak mudah menggugat cerai suaminya, tetapi harus dengan pertimbangan yang sangat matang.  Karena kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang serius untuk keberlangsungan jenis manusia dan tempat membina kepribadian Islam generasi penerus masa depan.

Mantan istri dapat merasakan kehidupan rumah tangga bersama lelaki lain. Apabila terjadi perceraian dengan suami kedua, maka dia dapat mengarungi bahtera rumah tangga bersama suami pertama dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk memperbaiki kehidupan rumah tangga mereka. 

Bersabar dan Memperbaiki Diri

Jika suami sangat mencintai istrinya dan menolak khulu’ maka dianjurkan bagi istri untuk bersabar dan tetap tinggal bersamanya. Mudah-mudahan perasaannya terhadap suaminya dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu.

Menghancurkan perkawinan memang lebih mudah daripada menjaganya. Dampak yang ditimbulkannya sangat merugikan kedua belah pihak. Perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah. Bersabar merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh istri dalam menghadapi segala cobaan yang menimpa kehidupan rumah tangganya.

Kesabaran dan saling pengertian adalah kunci kesuksesan yang akan berbuah kebahagiaan dan kesenangan. Allah akan selalu berada di sisi orang-orang yang sabar. Suami harus memperbaiki dirinya agar kesabaran istri mudah diwujudkan dan rumah tangga harmonis, sakinah, mawaddah, wa rahmah dan kembali terbina. Wallahua’lam!

Ummu Hafizh
Ketua Departemen Wanita DPP HDI

suara-islam.com