Musim Cerai dan Panen Tembakau
Fiqhislam.com - Sekitar 10 kursi di lobi Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, penuh dengan warga yang hendak mendaftarkan perceraian, kemarin siang. Sebagian warga terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.
Salah satunya Adi, 30, warga Desa Wonoboyo, Kecamatan Wonoboyo, Kabupaten Temanggung. ''Kami sudah tidak ada kecocokan. Kami memilih jalan bercerai,'' kata Adi membuka perbincangan.
''Sebetulnya kehidupan rumah tangga kami ini telah rusak selama dua tahun. Tapi saya bisa menahannya. Tahun lalu sebenarnya saya sudah niat bercerai, tapi gagal panen dan banyak utang. Niatan itu saya tunda. Baru sekarang ini setelah panen berhasil, saya mendaftarkan perceraian,'' ungkap Adi.
Keberhasilan panen tembakau tahun ini memang berdampak pada meningkatnya angka perceraian di wilayah Temanggung. Bahkan kasus perceraian meningkat hingga 100%.
Berdasarkan data di kantor pengadilan agama setempat, selama September, angka perceraian di wilayah itu mencapai 208 kasus. Pada bulan-bulan sebelumnya, kasus perceraian di wilayah itu kurang dari 100 kasus.
Menurut Wakil Kepala Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Temanggung, Tamzil, rata-rata perceraian disebabkan faktor perselingkuhan, istri ditinggal lari suami, serta masalah ekonomi. Sebagian besar gugatan cerai dilayangkan pihak perempuan. Tamzil memperkirakan angka perceraian masih tetap tinggi selama Oktober ini hingga berakhirnya masa panen tembakau.
''Kami belum pernah melakukan penelitian mengenai kaitan panen tembakau dan tingginya angka perceraian. Namun, kebanyakan warga memendam persoalan lama, kemudian baru mendaftarkan perceraiannya setelah panen,'' ujar Tamzil.
Dia menduga pasangan yang hendak bercerai menunggu waktu hingga memiliki cukup uang untuk mendaftar. Tamzil heran dengan fenomena ketika panen tembakau tiba, perceraian pun marak. Padahal biaya perceraian hanya sekitar Rp500 ribu.
Ketua Asosiasi Petani Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nurtantio Wisnubroto Setuju, tidak ada kaitan antara tingginya angka perceraian dan musim panen tembakau. Dia pun menolak anggapan bahwa petani dan pedagang tembakau gemar kawin cerai.
Dia yakin banyak keluarga yang memendam persoalan lama dan baru bisa menceraikan pasangannya saat ada uang. Di samping itu, ia menganggap biaya perceraian masih sangat tinggi.
''Banyak keluarga yang menunda perceraian dan baru melakukannya setelah mereka mendapatkan uang cukup, saat musim panen tembakau,'' imbuhnya.
Lain lagi pendapat Ketua LSM Women and Children in Crisis (WCC) Kabupaten Temanggung, Supangat. Ia menilai bahwa lelaki punya potensi berselingkuh dan menyalahgunakan keuangan keluarga. Kondisi itu memicu rasa tidak percaya pihak istri sehingga memilih menggugat cerai suaminya.
''Sebetulnya persoalan kembali pada moralitas individu masing-masing. Moralnya perlu diperbaiki,'' kata Supangat saat menanggapi maraknya kasus perceraian di Temanggung.
Fenomena tingginya angka perceraian di wilayah Temanggung membuat sejumlah kepala desa prihatin. Mereka miris mendengar angka perceraian melonjak di Temanggung. Subakir, Kepala Desa Legoksari, Tlogomulyo, mengaku miris dan ngeri melihat kasus perceraian di Temanggung.
Atas dasar itu, jauh-jauh sebelumnya desanya telah mengantisipasi agar kasus perceraian tidak menular ke daerahnya. Desa Legoksari mengeluarkan peraturan bila ada warga bercerai, biaya administrasi dibebankan kepada pihak yang menggugat cerai sebesar Rp1 juta.
metrotvnews.com