pustaka.png
basmalah2.png


15 Jumadil-Awwal 1445  |  Rabu 29 Nopember 2023

Pergaulan Bebas Menggila, Perkuat Moral Keluarga

Fiqhislam.com - Ketua Dewan Syura Hidayatullah Ustadz Hamim Thohari menyatakan tidak ada sistem sosial idela yang bisa diandalkan membendung sejumlah perilaku abnormal masyarakat modern saat ini, selain dengan bingkai agama dan penguatan moral keluarga.

Hal itu dikatakan Hamim Thohari menyikapi kian maraknya praktik seks bebas dan  bisnis prostitusi di Indonesia yang bahkan telah dilakoni kalangan remaja usia SMP hingga mahasiswa.

Ini sangat menyedihkan, sebab fenomena ini telah menggejala hampir di seluruh wilayah, khususnya di kota kota besar di Indonesia.

"Kita harus memperkuat lagi basis moral yaitu dari keluarga. Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan mampu mengatasi kekacauan ini. Ini tidak bisa ditangani lagi oleh institusi negara dan institusi sekolah. Maka harus kembali kepada keluarga," kata Hamim Thohari ditemui media ini disela-sela acara upgrading, rapat pleno, dan Rakornas PP Hidayatullah di Kota Depok, Jawa Barat, Ahad (17/02/2013).

Hamim menuturkan sistem sosial yang kayak apapun sudah tidak bisa diharapkan membendung perilaku abnormal sebagian masyarakat yang melaju karena ditopang dengan kemajuan teknologi informasi tersebut.

Hamim menilai teknologi informasi telah ikut memberi andil yang sangat besar dalam melahirkan tradisi-tradisi baru di tengah masyarakat yang mungkin dianggap modern dan maju.

Senada dengan itu, Koordinator Persatuan Pelajar Islam Menulis (FORPIM) Adit Aditya mengaku prihatin dengan maraknya praktis bisnis prostitusi yang dilakoni oleh kalangan mahasiswa, bahkan disebut-sebut ada yang juga pelajar.

"Sekarang zaman gadget, seorang anak remaja atau pemuda merasa akan sangat kuno kalau tidak punya gadget keren. Setidaknya Blackberry mereka punya," ujar Adit kepada hidayatullah.com.

Sehingga, menurut Adit, teknologi informasi, termasuk televisi dan internet, telah ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat menjadi semakin permisif, tak terkecuali pelajar dan mahasiswa.

Menurutnya, salah satu yang membuat anak muda selalu ikut arus dengan gaya hidup "modern" yang ada karena tak memiliki daya kritis dan kemampuan filterisasi informasi. Semua ditelan mentah-mentah, tukasnya.

Padahal sejatinya seorang pelajar atau mahasiswa, lanjut dia, telah terkonstruk daya kritisnya dengan kemampuannya memilah mana yang baik dan buruk yang akan berdampak pada hidupnya di masa mendatang.

Sekedar diketahui, fenomena seks bebas di Indonesia semakin mengkhawatirkan saja. Maka penyadaran terhadap anak-anak atau kerabat perlu diadakan agar waspada terhadap fakta yang kian marak ini.

Dalam investigasi semua media nasional baru-baru ini disebutkan bahwa fenomena bisnis prostistusi "ayam kampus" alias pelajar atau mahasiswa yang menjual diri sudah biasa dan berlangsung nyaris di berbagai perguruan tinggi, bahkan di perguruan tinggi agama. [yy/hidayatullah]

 


Cerita 'Ayam Kampus', Gundik Terdidik

Sebut saja Santi, 19 tahun, tidak terlalu cantik. Tetapi dengan "hot pants" hitam dipadu blazer, penampilan dara berambut panjang itu amat mengundang perhatian. Kemolekan bodinya yang sebelas dua belas dengan peragawati menjadi santapan lezat setiap mata pengunjung sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Tempo menemuinya, dua pekan lalu.

Di kampusnya, sebuah universitas swasta di Jakarta Pusat, perempuan asal Medan tersebut dikenal ramah dan bergaul. Dan hampir semua tahu, ia adalah mahasiswi "panggilan", alias ayam kampus.

Bagi Santi, mengumpulkan uang belasan juta rupiah dalam sepekan bukan perkara sulit. Komisi Rp 10 juta yang diterima Maharani Suciyono dinilainya juga standar. Di sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Pusat, ujar dia, Rp 10 juta itu baru tips. Tapi memang, ditambahkannya, ayam yang dibayar sebesar itu memiliki spesifikasi fisik dengan standar tinggi. "Ya selevel model lah," ujar Santi yang mengaku bisa melayani "short time" dan "long time".

Kasus Maharani yang digerebek KPK dalam suap kuota impor daging mengangkat kembali fenomena "ayam kampus". Dari penelusuran Tempo, keberadaannya bukan cuma di swasta saja, di kampus plat merah, bahkan di perguruan tinggi agama, juga marak. Kebanyakan ayam kampus atau disebut culai adalah peliharaan mucikari alias germo. Germo inilah yang menjembatani para ayam ke pelanggan.

Menurut salah satu mucikari, Doni, bukan nama tulen, sebutan ayam kampus sendiri mengartikan dua sisi identititas. Di samping belajar sebagai kegiatan utama, mahasiswi penyandang status ayam juga "mengerami telur" para pria hidung belang. "Itulah mengapa disebut ayam kampus," katanya.

Dalam pandangan Doni, status sebagai mahasiswi amat bisa meningkatkan harga pasaran si ayam. Sebab itu, banyak wanita, yang sebenarnya penjaja seks, memilih kuliah. "Tetapi ada yang benar mahasiswi juga," ujar Doni. Modus untuk meningkatkan harga jual, menurutnya, sama saja dengan menjadi model sampul di sebuah majalah lelaki dewasa.

Dari penelusuran Tempo, harga mahasiswi esek-esek ini dipatok mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 10 juta, bahkan lebih. Hitungannya juga berbeda-beda. Ada yang hitungannya sekali berhubungan intim saja, ada yang sehari, dan ada yang sampai dibawa ke luar kota atau luar negara. "Yang sampai sepekan di luar negeri tentu harganya bisa lima kali lipat," kata Doni.

Pendapatan rata-rata para ayam ini bisa mencapai Rp 60 juta per bulan. Beda Rp 2 juta dengan gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Angka itu berdasarkan keterangan dari Doni yang memelihara 9 ayam kampus. "Mereka sudah kaya-kaya loh," ujarnya.

Nora, mucikari lain, menuturkan, jaringan ayam kampus dikelola profesional. Beberapa mucikari menurutnya selektif mencarikan pelanggan untuk ayamnya. Ia mengatakan, ayam yang murah biasanya memiliki kelainan seksual atau penyakit kelamin. "Kalau culai gue itu ada kode etik dan sehat, alias bersih penyakit," ujarnya.

Pelanggan ayam peliharaan Doni dan Nora bukan orang sembarangan. Mereka selevel menteri, pejabat teras militer, bahkan anak pejabat. Menurut Nora, tidak semua pejabat meminta ayam kampus untuk berhubungan intim. Ada istilah namanya "Three D". Yaitu, si ayam cuma menemani pejabat untuk menghisap heroin, sabu dan inex, tanpa melakukan penetrasi.  [yy/tempo]

 


Begini Ayam Kampus Direkrut

Empat wanita berbadan bak boneka Barbie memasuki sebuah ruangan berarsitektur Yunani. Mereka tertawa riang dan saling berbicara satu sama lain. Tak ada tanda psikologis sedang berada di bawah ancaman. Keempatnya kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang. Berhadapan dengan seorang lelaki berkemeja hitam dan berambut jabrik. Mereka diwawancara untuk menjadi: AYAM KAMPUS.

"Mereka adalah calon culai (ayam kampus)," kata Nora, 38 tahun, mucikari yang mengkoordinir keberadaan para ayam kampus di beberapa tempat hiburan besar di Jakarta Pusat kepada Tempo, dua pekan lalu.

Nora mengatakan, perekrutan ini dilakukan rahasia. Seleksinya ketat dan terbatas. Praktik pergundikan yang dilakukannya dikelola profesional. Ia membuat perjanjian hitam di atas putih dengan ayam peliharaannya. "Selayaknya sistem manajemen saja," ujarnya. Contoh isi perjanjian itu, kata dia, misalnya tidak boleh menyeberang ke mucikari lain tanpa ijin. "Juga tentang gaji dan aturan lainnya," kata Nora.Nora terlihat santai menjamu keempat tamunya itu. Ia mengaku tidak ingin membuat suasana menjadi tegang. Karena dirinya tahu, calon culai itu rata-rata baru dan butuh pengalaman. Malam itu, yang diwawancara adalah mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi swasta di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Kebanyakan, peliharaannya adalah model yang menyambi menjadi mahasiswi. "Harganya tentu lebih mahal," katanya.

Dalam diskusi dengan para calon culai ia tampak terang-terangan. Ia bertanya kepada empat mahasiswi itu mulai dari nama, pengalaman kerja esek-esek dan orientasi hidup. Sebagian besar, kata dia, orientasinya adalah uang. "Gue juga nanya dari mana mereka tahu diri gue, dan tahu kerjaan ini dari mana," tutur Nora yang memiliki puluhan culai.

Menurutnya mudah sekali melacak calon culainya yang berbohong. Karena ia memiliki mata-mata di kampus dan tempat hiburan. Riwayat hidup culai peliharaannya semua ada di tangannya. "Gue punya intel dimana-mana, data gue lengkap," tuturnya. 

Setelah lulus dari seleksi pertama, kata Nora, calon culai dikumpulkan menjadi satu dengan peserta lain yang sebelumnya diwawancara terpisah. Proses tersebut menurutnya dapat digambarkan sebagai suatu rapat besar yang dipimpin oleh pihak manajemennya. Nora tidak mengijinkan para calon culainya itu diajak bicara dengan Tempo. "Jangan, gak penting," katanya dengan nada serius. [yy/tempo]

 


Wawancara Mucikari Ayam Kampus

Panggil saja dia Doni, sang mucikari yang memelihara 10 ayam kampus. Penampilannya malam itu cukup mencolok. Sepatu pantofel merah dipadu jeans gelap dan kemeja abu-abu. Gerak tubuhnya gemulai. Sebelas dua belas dengan gaya bicaranya yang "ngondek". Tempo menemui lelaki berambut pendek ini di sebuah kafe, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Di restoran penuh ornamen klasik itu, Doni blak-blakan soal dunia ayam kampus. Berikut petikan wawancaranya:

Siapa pelanggan setia ayam kampus peliharaan Anda?
Seorang jenderal. Aku memanggilnya "ayah". Dia masih aktif menjabat. Aku biasa menemaninya "nyabu" di sebuah hotel dengan membawa tiga culay (ayam kampus). Ayah jarang nge-seks dengan culay, lebih suka ditemani saja. Dia tidak memaksa harus berapa banyak si ayam pakai sabu. Sekuatnya. Ayah mengatakan jika ada aparat yang melakukan razia, jangan dipercaya. Aku diajari, kalau ada razia, harus tanya ada surat izin razia atau tidak.

Siapa lagi pelanggan Anda?
Ada Menteri X. Untuk menteri satu ini aku memakai ayam cabutan, alias peliharaan mucikari lain. Aku membandrol ayam itu Rp 7 juta. Aku dapat Rp 500 ribu dari X dan Rp 1 juta dari si ayam. Aku ketemu X pertama kali di sebuah klub malam. Pelanggan aku juga ada pengusaha yang merupakan mantan suami artis ternama. Ya, kalau di rata-rata ada 10 pelanggan selama seminggu.

Ada tidak ekspatriat yang menggunakan jasa ayam peliharaan Anda?
Jelas ada. Ayam kampus itu pintar bahasa Inggrisnya. Tamu asing pelangganku berasal dari Jepang dan Korea. Harga aku bandrol Rp 4 juta sebagai harga termurah. Nah, ayam kampus senang sekali dengan pelanggan dari dua negara ini. Karena paling lama mainnya cuma 5 menit, jadi tidak cape. Kata anak-anak "barangnya" juga kecil (tertawa).

Pelanggan Anda banyak juga. Berapa persen Anda mengambil bagian dari ayam Anda?
Tidak ada hitungan persen. Kalau bandrol culaynya Rp 3 juta atau Rp 4 juta, maka aku tetap potong Rp 500 ribu, jadi mereka akan terima Rp 2,5 juta. Itu sudah bagian mereka semua, bersih. Aku tidak pernah mau mengambil lebih besar. Kecuali ayam cabutan seperti X tadi. Tetapi biasanya aku dapat lagi dari tamu yang menyewa mereka dan itu adalah hak aku. Jumlahnya tidak tentu.

Bagaimana Anda memasarkan ayam kampus peliharaan Anda?
Mudah. Bisa transaksi langsung, lewat telepon atau bbm. Di telpon genggam aku ini tersimpan foto-foto culay. Aku menyebarkan foto mereka ke calon pelanggan. Jika sudah "deal" langsung berangkat. Namun ketika bertemu tidak sesuai harapan, para tamu tetap harus membayar uang cancel. Uang cancel berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 1 juta.

Memang berapa banyak jumlah ayam yang Anda pelihara dan spesifikasi harganya seperti apa?
Ada sepuluh. Untuk ayam kampus yang tinggi, cantik, dan servisnya memuaskan, aku menyebutnya kategori "model". Mereka dibandrol Rp 3-4 juta. Di bawah itu ya standar, bisa Rp 1,5-2 juta. Grade mereka bisa meningkat tergantung dari laporan tamu setelah "main". Yang kepribadian dan permainannya bagus tentu aku gunakan terus dan diperkenalkan ke tamu-tamu berstandar tinggi. Itu membuat harganya kian meningkat.

Bagaimana proses seleksi ayam yang akan Anda pelihara?
Aku melakukan seleksi sendiri. Aku melihat kepribadian dan fisiknya. Untuk pengecekan dalam (daerah kewanitaan), aku membawanya ke dokter langganan di kawasan Duren Tiga, Jakarta. Dokter di sana sudah memahami urusanku setiap kali aku membawa perempuan.

Apa ayam kampus Anda menerima hitungan jam?
Itu ada pembagiannya. Kalau "short time" hitungannya per jam. Itu bisa Rp 1-2 juta. Sedangkan "long time" hitungannya berhari-hari atau dibawa ke luar kota. Dalam manajemen aku, kalau tamu ambil "long time" begitu, aku tidak menghitung berapa kali "main" dalam beberapa hari. Karena tidak mungkin tahu. Sebab itu aku memakai argo borongan. Biasanya Rp 10 juta untuk dua hari, dan itu hanya buat si ayam. Belum termasuk tip untuk aku.

Apakah pernah ayam peliharaan Anda hamil oleh pelanggan?
Pernah. Dia sekarang sudah keluar. Kejadiannya baru 3 bulan lalu. Dia sadar ketika sudah telat dua minggu. Tamu yang mengencaninya mengaku kebobolan. Ia bersedia membiayai proses aborsi. Aku meminta biaya sebesar Rp 3 juta. Nominal segitu sebenarnya belum sama biaya kuret. Ditotal bisa Rp 5 jutaan. Aku nombok sendiri, karena aku mewajibkan ayam yang aborsi untuk kuret. Sebab kalau tidak bersih bisa menimbulkan kista, kasihan ayamnya. Aku memahami hal tersebut karena aku sendiri yang mengantarkan ke klinik. Klinik langgananku di Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Dunia esek-esek amat rentan dengan penularan penyakit kelamin. Apakah ada ayam Anda yang didapati berpenyakit?
Aku pernah mendapati vagina dua ayam aku terinfeksi bakteri semacam jamur, tetapi bisa disembuhkan. Selama sebulan dia menjalani perawatan, dan aku tidak biarkan berhubungan intim dengan siapapun, termasuk tamu. Tiap dua minggu sekali aku melakukan pengecekan untuk mengetahui perkembangannya. Sampai akhirnya sebulan lewat 3 hari mereka dinyatakan sembuh dan diterapi secara berkala. Biayanya Rp 700 ribu.

Pernah memelihara ayam yang memiliki kelainan seks?
Aku pernah mencabut satu cewek dari kota dengan tarif Rp 300 ribu. Selanjutnya aku jual dia dengan harga Rp 3,5 juta. Ternyata cewek ini suka main kasar di ranjang. Tamuku mengeluh ia disiksa oleh si cewek ini. Ia dipukulin. Besoknya aku temui tamu itu, wajahnya penuh cakaran. Sekarang, aku tidak mau sembarangan nyabut ayam.

Permintaan pelanggan yang paling aneh seperti apa?
Aku pernah mendapat tamu yang pshyco. Jadi agar puas, ia harus memukuli perempuannya dulu sampai kesakitan sebelum hubungan intim. Aku menolaknya, meski imbalannya belasan juta. Aku biasanya mengancam tamu jika mereka berniat macam-macam. Aku mengancam akan merusak nama baiknya, karena aku juga punya foto tamu, jadi mudah membeberkannya.

Sejauh apa "profesionalisme" ayam Anda?
Mereka akan bela-belain nggak kuliah untuk melayani tamu. Aku salut dengan mereka. Mereka titip absen ke teman kemudian mereka berangkat bekerja. Dari kampus, mereka biasanya menghampiri aku dulu untuk brifing pengenalan tamu. Aku mewajibkan mereka agar handphone diletakkan dalam kantong atau dalam tas. Mereka boleh mengeluarkan handphone ketika tamu meminta pin bb atau nomer telepon.

Ayam kampus itu kan bermodalkan keindahan fisik dan wajah. Apa saja perawatan yang dilakukan mereka?
Perawatan luar seperti lulur itu masing-masing. Tetapi aku meminta mereka merawat daerah kewanitaannya yaitu ratus. Aku meminta mereka melakukan ratus minimal dua minggu sekali.

Sebenarnya, kenapa Anda menjadi mucikari?
Aku terdesak melunasi uang sekolah adik yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Jumlah tagihan SPP-nya saat itu mencapai Rp 700 ribu. Mama aku kalang kabut, dan meminta aku melunasi tagihan tersebut. Aku memang dekat dengan dunia malam. Saat itu aku pergi ke tempat hiburan malam di kawasan Kuningan. Aku mendapat pinjaman uang dari seorang mami. Sejak itu aku memilih jalan sebagai mucikari.

Sebagai mucikari, berapa pendapatan Anda selama satu bulan?
Yang sudah pasti bersih dalam satu bulan itu sekitar Rp 5 juta, terkadang lebih. Uang itu selalu kuberikan kepada mama. Aku berprinsip tidak mau memotong persenan terlalu banyak dari ayam aku. Pendapatan ini jauh dari peliharaanku sendiri yang bisa mencapai Rp 60 juta per bulannya.

Jauh sekali perbedaan pendapatannya. Apa Anda tidak tertarik juga menjajakan diri?
Loh, aku ini juga menjajakan diri. Tetapi aku melayani lelaki. [yy/tempo]

 


Sosiolog: Ayam Kampus Bukan Fenomena Baru

Pada 1993 silam, Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, meminta mahasiswanya mengadakan survei tentang perilaku seks di kalangan mahasiswa Unair.

"Obyeknya tak jauh-jauh, mahasiswi di dalam kampus yang menerima imbalan setelah melakukan hubungan seks," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 14 Februari 2013. Para pelanggannya, jelas Dede, adalah pejabat, dosen, kakak kelas, bahkan teman sebayanya.

Menurut Dede, teknologi informasi justru menambah maraknya bisnis esek-esek antara mahasiswi dan para pelanggannya. Kalau dulu, Dede menjelaskan, hanya dari mulut ke mulut. Kini, mahasiswi penjaja seks itu bisa memanfaatkan teknologi untuk promosi dan bertransaksi dengan pelanggan yang diinginkan.

"Teknologi menunjang (bisnis seks), termasuk penggunaan telepon seluler dan BlackBerry," kata Dede.

Dede manambahkan, "ayam kampus" lebih independen dibandingkan para pekerja seks di lokalisasi semacam Dolly, Surabaya. Sebab, pemasukan para mahasiswi itu tidak harus dipotong retribusi macam-macam.

Pria yang juga menjadi pengurus Asosiasi Pekerja Seks Indonesia ini berpendapat bahwa tidak ada yang aneh dalam fenomena "ayam kampus". Ia justru menyalahkan masyarakat yang ditudingnya konservatif. "Orang muda siap untuk seks, kok ditahan? Itu problemnya, yang salah masyarakat," ujarnya. [yy/tempo]