Anak Autis, Bagai Kerang Besar Dengan Mutiara Indah di Dalam
Fiqhislam.com - Mempunyai seorang anak autistik tak ubahnya seperti menghadapi kerang besar yang menyimpan mutiara indah di dalamnya. Cangkang kerang yang keras dan tertutup rapat itu mesti dibuka pelan-pelan dengan usaha yang besar.
Begitulah presenter M Farhan (41) menggambarkan perasaannya sebagai ayah Ridzky (11), putra sulungnya yang terdeteksi autistik. ”Karena usaha kita dahsyat, begitu cangkang itu terbuka sedikit saja, rasanya luar biasa,” ujar ayah dua anak yang juga kondang sebagai penyiar radio itu.
Ridzky mulai mendapat terapi sejak usia 18 bulan dan mengucapkan kata pertamanya, ”ayah”, pada usia 4 tahun. Walau lebih dekat dengan sang ibu, kata ”ibu” baru bisa diucapkan belakangan karena memang kata itu lebih sulit dilafalkan.
Memiliki anak autistik, diakui Farhan, merupakan masalah sekaligus berkah. Masalah, karena bukan hal mudah membuat anak autistik dapat beradaptasi dengan dunia yang ada—bukan dunia dalam benaknya sendiri.
Namun, mendampingi mereka tumbuh dan berkembang juga tak ubahnya mengalami keajaiban berkali-kali. Itu yang dirasakan Farhan, misalnya, ketika tiba-tiba Ridzky menyanyikan ”Beyond the Sea”, lagu tema film Finding Nemo yang ia gemari.
”Lebih dahsyat lagi ketika melihat bagaimana Ridzky berinteraksi dengan Bisma, adiknya yang tidak autistik,” ujarnya.
Keajaiban
Autisme merupakan salah satu hal yang menyebabkan seorang anak dikategorikan berkebutuhan khusus. Anak yang mengalami kesulitan belajar, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), hingga tunarungu atau tunagrahita juga digolongkan sebagai anak berkebutuhan khusus.
”Keajaiban” seperti yang dirasakan Farhan ini tergambar dalam acara temu anak spesial yang diselenggarakan Yayasan Peduli Anak Spesial dan Harry Darsono Foundation di Bentara Budaya Jakarata.
Dalam acara ini, anak-anak yang semula tersisih, dianggap bodoh, bahkan dipandang cacat, karena mereka berkesulitan belajar menampilkan bakat dan kemampuan yang luar biasa.
Kesulitan mereka untuk belajar sama sekali bukan disebabkan tingkat kecerdasan yang rendah. Marie Fauzan (13) yang kini duduk di bangku kelas I sebuah SMP di pinggiran Jakarta, misalnya, sudah lima kali dikeluarkan dari sekolah-sekolah sebelumnya. Padahal, IQ-nya mencapai 120 atau di atas rata-rata.
Anak-anak ini berbeda dan berkebutuhan khusus, tetapi mereka juga kaya akan potensi. Brandon (9) yang kata ibunya sangat bandel, misalnya, bisa membaca buku atau majalah dalam bahasa apa pun dengan mata tertutup kain tebal. ”Membaca” dengan rabaan tangan itu merupakan salah satu kemampuan Brandon yang juga sering disebut sebagai anak indigo.
Brandon pula yang mencengangkan para undangan di acara temu anak spesial ini dengan ceramahnya dalam dua bahasa tanpa teks.
”Apa teman-teman pernah membayangkan apa jadinya kalau alam semesta dan semua yang ada di dalamnya hanya berwarna merah? Tentu tidak indah. Pelangi saja punya banyak warna, musik punya banyak nada, jari-jari kita pun tidak sama. Kami juga berbeda, tetapi kami punya banyak bakat,” ujarnya.
Penampilan Young Boys juga tak kalah mengagumkan. Empat remaja: Andreas, Kenan, Yongki, dan Clyde, yang bergabung dalam kelompok ini bukan sekadar pemain piano, mereka juga komposer dan arranger. Mereka bukan hanya berprestasi di ajang nasional, melainkan juga mengukir prestasi hingga ke luar negeri.
Di Gedung Bentara, keempat remaja ini memainkan dua piano yang ditata saling membelakangi. Lantunan lagu klasik hingga tradisional Jawa disajikan dengan sangat atraktif. Misalnya, mereka memainkan tuts piano sambil bertukar posisi, bahkan sambil berdiri dengan masing-masing tangan memencet tuts di piano berbeda.
Jalan untuk menemukan dan mengasah mutiara memang tidak pernah mudah. Selalu ada kekhawatiran membayangi orangtua ketika anaknya dikategorikan berkebutuhan khusus.
Aji yang mempunyai dua anak berkebutuhan khusus, misalnya, tak luput dari kesedihan ketika kedua anaknya didiagnosis begitu. Namun, ia menyadari Tuhan tak salah mengamanatkan dua anak istimewa itu kepadanya.
”Dua bintang kan pangkat yang lebih tinggi dari satu bintang,” ujarnya berkelakar.
Kata Harry Darsono, doktor dan perancang adibusana yang serba bisa, yang sempat belasan tahun menjalani terapi sebagai pengidap ADHD, ketakutan ini mesti ditepis dengan keyakinan. Tuhan pasti memberikan kemampuan kepada anak-anak istimewa ini untuk menemukan jalan mereka sendiri menuju kemandirian.
Setiap orangtua tentu berharap memiliki buah hati yang "sempurna". Namun, kenyataan tidak selalu memenuhi semua harapan. Ketika si kecil dinyatakan menderita kelainan, seperti cacat, down syndrome atau autisme, tentu ada perasaan sedih dan marah.
Perasaan marah, tidak bisa menerima, bahkan rasa malu mengakui hal itu terjadi di keluarga adalah reaksi yang wajar. Menurut Gobin Vashdew, parenting motivator, reaksi-reaksi tersebut timbul karena kita tidak siap menerima kenyataan yang ada.
"Perasaan down terjadi karena mereka tidak siap. Hal ini bisa menimbulkan stres dan pada kondisi ini tidak mudah untuk melepaskan diri dari stres," papar penulis buku Happiness Inside ini.
Lebih lanjut, orangtua sering kali merasa tertekan, putus asa, dan kehilangan harapan, terutama saat orangtua membayangkan masa depan sang anak. Kadangkala, perasaan stres ini dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu.
Pada tahap depresi ini, orangtua cenderung murung, menarik diri dari lingkungan sosial terdekat, dan kehilangan gairah hidup. "Kebanyakan orang kalau mempunyai emosi tertentu akan dilontarkan atau dipendam sendiri. Padahal, yang benar adalah dilepaskan," ujar Gobin.
Proses melepaskan diri dari stres atau stres relief memang tak semudah membalikkan telapak tangan. "Kita bisa melakukannya dengan mencoba mengambil hikmah dari setiap kejadian. Setiap orang dilahirkan dengan perannya masing-masing. Mungkin dengan kejadian ini saya diberikan peran sebagai perawat untuk anak saya," katanya.
Setiap kejadian di dunia ini bersifat netral. Apakah ingin menjadi negatif atau positif, sangat bergantung pada cara kita melihat dan memberikan makna. "Alangkah baiknya kalau kita selalu melihat dari sisi lain," katanya.
Sebuah kejadian bisa menjadi pintu untuk suatu hal yang luar biasa. Misalnya saja Oprah Winfrey yang mampu bangkit dari trauma pelecehan seksual yang dialaminya. Contoh lain adalah Gayatri Pamoedji, ibu dari remaja penyandang autis yang saat ini dikenal sebagai konselor keluarga dan pembicara di berbagai seminar mengenai anak autis.
Semakin cepat kita berhenti meratapi nasib dan mampu menemukan makna, semakin cepat pula anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya.
"Sedih tidak boleh lama-lama. Ingatlah, anak kita memerlukan tindakan segera. Makin dini anak mendapat terapi dan pendidikan, makin baik tumbuh kembangnya sehingga kelak akan menjadi mandiri tak kalah seperti anak yang normal," tutur Gayatri dalam sebuah kesempatan.
Perasaan marah, tidak bisa menerima, bahkan rasa malu mengakui hal itu terjadi di keluarga adalah reaksi yang wajar. Menurut Gobin Vashdew, parenting motivator, reaksi-reaksi tersebut timbul karena kita tidak siap menerima kenyataan yang ada.
"Perasaan down terjadi karena mereka tidak siap. Hal ini bisa menimbulkan stres dan pada kondisi ini tidak mudah untuk melepaskan diri dari stres," papar penulis buku Happiness Inside ini.
Lebih lanjut, orangtua sering kali merasa tertekan, putus asa, dan kehilangan harapan, terutama saat orangtua membayangkan masa depan sang anak. Kadangkala, perasaan stres ini dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu.
Pada tahap depresi ini, orangtua cenderung murung, menarik diri dari lingkungan sosial terdekat, dan kehilangan gairah hidup. "Kebanyakan orang kalau mempunyai emosi tertentu akan dilontarkan atau dipendam sendiri. Padahal, yang benar adalah dilepaskan," ujar Gobin.
Proses melepaskan diri dari stres atau stres relief memang tak semudah membalikkan telapak tangan. "Kita bisa melakukannya dengan mencoba mengambil hikmah dari setiap kejadian. Setiap orang dilahirkan dengan perannya masing-masing. Mungkin dengan kejadian ini saya diberikan peran sebagai perawat untuk anak saya," katanya.
Setiap kejadian di dunia ini bersifat netral. Apakah ingin menjadi negatif atau positif, sangat bergantung pada cara kita melihat dan memberikan makna. "Alangkah baiknya kalau kita selalu melihat dari sisi lain," katanya.
Sebuah kejadian bisa menjadi pintu untuk suatu hal yang luar biasa. Misalnya saja Oprah Winfrey yang mampu bangkit dari trauma pelecehan seksual yang dialaminya. Contoh lain adalah Gayatri Pamoedji, ibu dari remaja penyandang autis yang saat ini dikenal sebagai konselor keluarga dan pembicara di berbagai seminar mengenai anak autis.
Semakin cepat kita berhenti meratapi nasib dan mampu menemukan makna, semakin cepat pula anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya.
"Sedih tidak boleh lama-lama. Ingatlah, anak kita memerlukan tindakan segera. Makin dini anak mendapat terapi dan pendidikan, makin baik tumbuh kembangnya sehingga kelak akan menjadi mandiri tak kalah seperti anak yang normal," tutur Gayatri dalam sebuah kesempatan.
suaramedia.com