Dexamethasone, Harapan Baru Bagi Pasien Kritis Covid-19

Fiqhislam.com - Upaya untuk terus mencari pengobatan bagi Covid-19 mendapat titik terang dari temuan Oxford University. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun memuji hasil uji klinis dexamethasone yang dilakukan oleh Oxford, Selasa (16/6). Temuan ini menjadi berita besar yang bisa membantu menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 yang sakit kritis.
"Ini adalah pengobatan pertama yang ditujukan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.
Ghebreyesus pun menyampaikan ucapan selamat bagi pemerintah Inggris, Oxford University, dan banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah tersebut. Upaya ini akan membantu menyelamatkan nyawa banyak orang di seluruh dunia karena obat tersebut mudah ditemukan dan berharga terjangkau.
WHO telah menerima hasil awal dari uji coba yang dilakukan Oxford University. Ghebreyesus mengatakan, lembaga yang berada dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa ini pun sedang menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang.
"WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. Pedoman klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19," ujar Ghebreyesus, dikutip dari Reuters.
Pada Selasa (16/6), para ilmuwan dari Oxford University, Inggris, mengatakan berdasarkan uji coba, obat dexamethasone ditemukan mengurangi tingkat kematian sebesar 35 persen untuk pasien Covid-19 dalam kondisi kritis dan membutuhkan ventilator untuk alat bantu napas. Sementara, 20 persen pasien lainnya yang mengalami kondisi mendekati kritis juga demikian.
"Apa yang kamu lihat benar-benar luar biasa," ujar Peter Horby, selaku akademisi yang terlibat dalam penelitian, dilansir VOA, Rabu (17/6).
Kepala petugas medis Inggris, Chris Whitty mengatakan hasil dalam uji coba terbaru menjadi yang paling penting untuk Covid-19. Para ilmuwan di seluruh dunia telah berlomba untuk menemukan pengobatan penyakit infeksi virus corona jenis baru tersebut, yang menjadi pandemi global sejak awal tahun ini.
Dexamethasone adalah steroid generik yang telah digunakan selama 60 tahun untuk mengurangi peradangan dari berbagai kondisi lain, termasuk radang sendi dan asma. Harga obat ini terjangkau di banyak negara dunia, biasanya bernilai satu dolar AS untuk per dossi.
Ilmuwan Oxford menguji dexamethasone sebagai bagian dari upaya kolektif di seluruh dunia oleh laboratorium komersial, perusahaan farmasi dan universitas untuk obat-obatan yang ada untuk melihat apakah ada yang dapat bekerja untuk Covid-19
"Ini adalah satu-satunya obat yang sejauh ini terbukti mengurangi angka kematian secara signifikan," jelas Horby.
Dalam studi Oxford 2.104 pasien diberi obat dan 4.321 tidak dengan hasil yang dibandingkan. Universitas mendaftarkan lebih dari 11.500 pasien secara keseluruhan untuk menguji obat yang ada, menjadikannya sebagai uji klinis terbesar di dunia.
Tim peneliti dari Oxford University juga mengatakan jika dexamethasone telah digunakan lebih cepat di Inggris bisa menyelamatkan sekitar 5.000 dari lebih dari 40.000 warga di negara itu, yang sejauh ini meninggal karena Covid-19. Mereka menilai pasien harus diberi obat tersebut tanpa penundaan.
Tetapi satu yang perlu diperhatikan adalah dexamethasone tidak membantu pasien Covid-19 dengan gejala yang lebih ringan dan tak memiliki masalah pernapasan. Sementara, obat lainnya yang telah terbukti menunjukkan manfaat terhadap pasien dengan kondisi yang parah adalah remdesivir, obat anti-virus yang diciptakan untuk melawan Ebola, yang dapat mengurangi durasi gejala yang buruk.
Pejabat kesehatan pemerintah Pakistan mengatakan negaranya akan mempertimbangkan menggunakan obat yang ditemukan peneliti Inggris. Hal ini disampaikan saat jumlah kasus kematian harian Covid-19 di Pakistan menyentuh angka tertingginya.
Penasihat perdana menteri Pakistan dalam isu kesehatan Zafar Mirza melaporkan ada sebanyak 136 pasien Covid-19 yang meninggal dunia pada Rabu (17/6). Demi menahan laju penyebaran pemerintah Pakistan sudah menutup titik-titik wabah paling parah di negeri itu.
Sementara jumlah kasus infeksi bertambah 5.839 kasus, sehingga totalnya menjadi 154.760 kasus dan sebanyak 2.975 pasien diantara meninggal dunia.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, obat itu merupakan terobosan terbesar dalam mengobati Covid-19. Pakar penyakit menular Amerika Serikat (AS) Anthony Fauci menyebutnya ini menjadi peningkatan signifikan dalam pilihan perawatan pasien virus corona.
Inggris membuat dexamethasone tersedia untuk pasien di Layanan Kesehatan Nasional (NHS). Departemen Kesehatan Inggris mengatakan, obat itu telah disetujui untuk mengobati semua pasien Covid- 19 yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, yang efektif segera. Inggris dikabarkan telah memiliki pasokan cukup untuk merawat 200 ribu pasien, dilansir dari AP.
Di Indonesia upaya menemukan obat bagi Covid-19 juga terus dilakukan. Tim peneliti Universitas Airlangga (Unair), Surabaya mengatakan menemukan lima kombinasi regimen obat yang diklaim efektif lawan virus corona.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, dr Purwati, menjelaskan, kombinasi obat temuannya terdiri atas Lopinavir/ritonavir dengan azithromicyne; Lopinavir/ritonavir dengan doxycyline; Lopinavir/ritonavir dengan chlaritromycine; Hydroxychloroquine dengan azithromicyne; dan Hydroxychloroquine dengan doxycycline. Regimen kombinasi obat Covid-19 tersebut, kata dia, tidak untuk diperjualbelikan secara bebas.
"Belum diperjualbelikan. Ini kolaborasi antara Unair, BNPB, dan juga Badan Intelijen Negara," kata Purwati saat dikonfirmasi, Senin (15/6).
Kombinasi regimen obat tersebut diakui Purwati memiliki potensi dan efektivitas cukup bagus terhadap daya bunuh virus. Dosis setiap obat dalam kombinasi tersebut adalah 1/5 dan 1/3, lebih kecil dibandingkan dosis tunggalnya, sehingga mengurangi efek toksik dari obat tersebut bila diberikan sebagai obat tunggal.
“Kini sudah ada ratusan obat yang sudah diproduksi dan akan disebarkan kepada rumah sakit yang membutuhkan,”ujar Purwati.
Selain mendapatkan regimen kombinasi obat, tim peneliti Unair juga menemukan potensi dalam penelitian stem cell. Menurut Purwati, pihaknya menemukan dua formula, yaitu Haematopotic Stem Cells (HSCs) dan Natural Killer (NK) Cells.
“Dari hasil uji tantang HSCs ditemukan bahwa setelah 24 jam virus SARS-CoV-2 isolat Indonesia sudah dapat dieliminasi oleh stem cells tersebut. Sedangkan, hasil uji tantang NK Cells terhadap virus, setelah 72 jam didapatkan sebagian virus dapat diinaktivasi oleh NK Cells tersebut,” ujarnya. [yy/republika]
oleh Dwina Agustin, Puti Almas, Lintar Satria, Dadang Kurnia

Fiqhislam.com - Upaya untuk terus mencari pengobatan bagi Covid-19 mendapat titik terang dari temuan Oxford University. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun memuji hasil uji klinis dexamethasone yang dilakukan oleh Oxford, Selasa (16/6). Temuan ini menjadi berita besar yang bisa membantu menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 yang sakit kritis.
"Ini adalah pengobatan pertama yang ditujukan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.
Ghebreyesus pun menyampaikan ucapan selamat bagi pemerintah Inggris, Oxford University, dan banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah tersebut. Upaya ini akan membantu menyelamatkan nyawa banyak orang di seluruh dunia karena obat tersebut mudah ditemukan dan berharga terjangkau.
WHO telah menerima hasil awal dari uji coba yang dilakukan Oxford University. Ghebreyesus mengatakan, lembaga yang berada dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa ini pun sedang menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang.
"WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. Pedoman klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19," ujar Ghebreyesus, dikutip dari Reuters.
Pada Selasa (16/6), para ilmuwan dari Oxford University, Inggris, mengatakan berdasarkan uji coba, obat dexamethasone ditemukan mengurangi tingkat kematian sebesar 35 persen untuk pasien Covid-19 dalam kondisi kritis dan membutuhkan ventilator untuk alat bantu napas. Sementara, 20 persen pasien lainnya yang mengalami kondisi mendekati kritis juga demikian.
"Apa yang kamu lihat benar-benar luar biasa," ujar Peter Horby, selaku akademisi yang terlibat dalam penelitian, dilansir VOA, Rabu (17/6).
Kepala petugas medis Inggris, Chris Whitty mengatakan hasil dalam uji coba terbaru menjadi yang paling penting untuk Covid-19. Para ilmuwan di seluruh dunia telah berlomba untuk menemukan pengobatan penyakit infeksi virus corona jenis baru tersebut, yang menjadi pandemi global sejak awal tahun ini.
Dexamethasone adalah steroid generik yang telah digunakan selama 60 tahun untuk mengurangi peradangan dari berbagai kondisi lain, termasuk radang sendi dan asma. Harga obat ini terjangkau di banyak negara dunia, biasanya bernilai satu dolar AS untuk per dossi.
Ilmuwan Oxford menguji dexamethasone sebagai bagian dari upaya kolektif di seluruh dunia oleh laboratorium komersial, perusahaan farmasi dan universitas untuk obat-obatan yang ada untuk melihat apakah ada yang dapat bekerja untuk Covid-19
"Ini adalah satu-satunya obat yang sejauh ini terbukti mengurangi angka kematian secara signifikan," jelas Horby.
Dalam studi Oxford 2.104 pasien diberi obat dan 4.321 tidak dengan hasil yang dibandingkan. Universitas mendaftarkan lebih dari 11.500 pasien secara keseluruhan untuk menguji obat yang ada, menjadikannya sebagai uji klinis terbesar di dunia.
Tim peneliti dari Oxford University juga mengatakan jika dexamethasone telah digunakan lebih cepat di Inggris bisa menyelamatkan sekitar 5.000 dari lebih dari 40.000 warga di negara itu, yang sejauh ini meninggal karena Covid-19. Mereka menilai pasien harus diberi obat tersebut tanpa penundaan.
Tetapi satu yang perlu diperhatikan adalah dexamethasone tidak membantu pasien Covid-19 dengan gejala yang lebih ringan dan tak memiliki masalah pernapasan. Sementara, obat lainnya yang telah terbukti menunjukkan manfaat terhadap pasien dengan kondisi yang parah adalah remdesivir, obat anti-virus yang diciptakan untuk melawan Ebola, yang dapat mengurangi durasi gejala yang buruk.
Pejabat kesehatan pemerintah Pakistan mengatakan negaranya akan mempertimbangkan menggunakan obat yang ditemukan peneliti Inggris. Hal ini disampaikan saat jumlah kasus kematian harian Covid-19 di Pakistan menyentuh angka tertingginya.
Penasihat perdana menteri Pakistan dalam isu kesehatan Zafar Mirza melaporkan ada sebanyak 136 pasien Covid-19 yang meninggal dunia pada Rabu (17/6). Demi menahan laju penyebaran pemerintah Pakistan sudah menutup titik-titik wabah paling parah di negeri itu.
Sementara jumlah kasus infeksi bertambah 5.839 kasus, sehingga totalnya menjadi 154.760 kasus dan sebanyak 2.975 pasien diantara meninggal dunia.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, obat itu merupakan terobosan terbesar dalam mengobati Covid-19. Pakar penyakit menular Amerika Serikat (AS) Anthony Fauci menyebutnya ini menjadi peningkatan signifikan dalam pilihan perawatan pasien virus corona.
Inggris membuat dexamethasone tersedia untuk pasien di Layanan Kesehatan Nasional (NHS). Departemen Kesehatan Inggris mengatakan, obat itu telah disetujui untuk mengobati semua pasien Covid- 19 yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, yang efektif segera. Inggris dikabarkan telah memiliki pasokan cukup untuk merawat 200 ribu pasien, dilansir dari AP.
Di Indonesia upaya menemukan obat bagi Covid-19 juga terus dilakukan. Tim peneliti Universitas Airlangga (Unair), Surabaya mengatakan menemukan lima kombinasi regimen obat yang diklaim efektif lawan virus corona.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, dr Purwati, menjelaskan, kombinasi obat temuannya terdiri atas Lopinavir/ritonavir dengan azithromicyne; Lopinavir/ritonavir dengan doxycyline; Lopinavir/ritonavir dengan chlaritromycine; Hydroxychloroquine dengan azithromicyne; dan Hydroxychloroquine dengan doxycycline. Regimen kombinasi obat Covid-19 tersebut, kata dia, tidak untuk diperjualbelikan secara bebas.
"Belum diperjualbelikan. Ini kolaborasi antara Unair, BNPB, dan juga Badan Intelijen Negara," kata Purwati saat dikonfirmasi, Senin (15/6).
Kombinasi regimen obat tersebut diakui Purwati memiliki potensi dan efektivitas cukup bagus terhadap daya bunuh virus. Dosis setiap obat dalam kombinasi tersebut adalah 1/5 dan 1/3, lebih kecil dibandingkan dosis tunggalnya, sehingga mengurangi efek toksik dari obat tersebut bila diberikan sebagai obat tunggal.
“Kini sudah ada ratusan obat yang sudah diproduksi dan akan disebarkan kepada rumah sakit yang membutuhkan,”ujar Purwati.
Selain mendapatkan regimen kombinasi obat, tim peneliti Unair juga menemukan potensi dalam penelitian stem cell. Menurut Purwati, pihaknya menemukan dua formula, yaitu Haematopotic Stem Cells (HSCs) dan Natural Killer (NK) Cells.
“Dari hasil uji tantang HSCs ditemukan bahwa setelah 24 jam virus SARS-CoV-2 isolat Indonesia sudah dapat dieliminasi oleh stem cells tersebut. Sedangkan, hasil uji tantang NK Cells terhadap virus, setelah 72 jam didapatkan sebagian virus dapat diinaktivasi oleh NK Cells tersebut,” ujarnya. [yy/republika]
oleh Dwina Agustin, Puti Almas, Lintar Satria, Dadang Kurnia
Penggunaan Darurat Obat Malaria untuk Covid-19 di AS Disetop
Fiqhislam.com - Regulator AS pada hari Senin (15/6) mencabut izin penggunaan darurat obat malaria untuk merawat pasien Covid-19. Kebijakan itu dikeluarkan setelah meningkatnya bukti bahwa obat yang dipromosikan oleh Presiden AS Donald Trump ini tidak bekerja dan dapat menyebabkan efek samping yang serius.
Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA) mengatakan bukti terbaru dari studi klinis menunjukkan bahwa obat-obatan hidroksiklorokuin dan klorokuin tidak mungkin efektif dalam mengobati penyakit infeksi virus corona tipe baru. Studi klinis juga mengungkap bahwa obat malaria gagal mencegah orang terinfeksi.
Mengutip laporan yang menyebutkan adanya risiko komplikasi jantung, FDA mengatakan manfaat obat-obatan yang tidak terbukti ini tidak melebihi risiko yang diketahui dan potensial. Dilaporkan AP, dalam pengumuman terpisah, FDA juga memperingatkan dokter agar tidak meresepkan obat dalam kombinasi dengan remdesivir, obat tunggal yang saat ini terbukti membantu pasien dengan Covid-19.
FDA mengatakan obat anti-malaria dapat mengurangi efektivitas remdesivir yang disetujui FDA untuk penggunaan darurat pada bulan Mei. Hidroksiklorokuin dan klorokuin sering diresepkan untik lupus dan rheumatoid arthritis, dan dapat menyebabkan masalah irama jantung, tekanan darah sangat rendah, dan kerusakan otot atau saraf.
Badan itu melaporkan bahwa mereka telah menerima hampir 390 laporan komplikasi dengan obat-obatan, termasuk lebih dari 100 yang melibatkan masalah jantung serius. Laporan-laporan semacam itu mewakili gambaran lengkap komplikasi dengan obat-obatan karena banyak efek samping tidak dilaporkan.
Langkah FDA berarti bahwa pengiriman obat-obatan yang diperoleh oleh pemerintah federal tidak akan lagi didistribusikan kepada otoritas kesehatan negara bagian dan lokal untuk digunakan melawan virus corona. Obat-obatan yang sudah berusia puluhan tahun masih tersedia untuk penggunaan alternatif yang disetujui FDA, sehingga dokter AS masih dapat meresepkannya untuk Covid-19, sebuah praktik yang dikenal sebagai resep yang tidak terdaftar.
Steven Nissen, peneliti Cleveland Clinic yang telah sering menjadi penasihat FDA, setuju dengan keputusan itu. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak akan memberikan akses darurat sejak awal.
"Tidak pernah ada bukti berkualitas tinggi yang menunjukkan bahwa hidroksiklorokuin efektif untuk mengobati atau mencegah infeksi virus corona, tetapi ada bukti efek samping yang serius," kata Nissen.
Pada hari Kamis, panel ahli National Institutes of Health merevisi rekomendasinya untuk secara khusus merekomendasikan penggunaan obat kecuali dalam studi formal. "Itu saya yakin, memiliki pengaruh pada FDA," kata Nissen.
Tindakan oleh FDA dan NIH mengirimkan sinyal yang jelas kepada para profesional kesehatan untuk tidak meresepkan obat-obatan tersebut untuk pasien virus corona. Trump secara agresif mendorong hidroksiklorokuin dimulai pada pekan pertama wabah dan mengejutkan para profesional medis, ketika dia mengungkapkan bahwa dia telah menggunakan obat tersebut terlebih dahulu untuk melawan infeksi virus corna.
Setelah berulang kali dipromosikan Trump, peresepan untuk hidroksiklorokuin melonjak, berkontribusi terhadap kekurangan pasokan. Tidak ada penelitian besar dan ketat yang menemukan obat itu aman atau efektif untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Serangkaian penelitian baru-baru ini malah menjelaskan bahwa obat-obatan ini dapat melakukan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan.
Satu-satunya obat yang tersisa dengan otorisasi FDA dalam merawat pasien Covid-19 adalah remdesivir, obat intravena dari Gilead Sciences yang telah terbukti membantu penyakit parah, pasien yang dirawat di rumah sakit, dan pulih lebih cepat.
Pada Senin sore, FDA mengumumkan akan memperbarui label resep remdesivir dengan memperingatkan agar tidak menggabungkannya dengan hidroksiklorokuin atau klorokuin. Hasil dari tes laboratorium mengindikasikan obat itu mengganggu kemampuan remdesivir melawan virus dalam sel tubuh manusia. Terlepas dari risiko itu, regulator mengatakan mereka belum melihat masalah pada pasien.
FDA memberikan izin penggunaan darurat untuk obat anti-malaria pada akhir Maret berbarengan dengan diterimanya 30 juta dosis hidroksikloroquin dan klorokuin yang telah disumbangkan oleh dua produsen obat asing kepada Pemerintah AS. Jutaan dosis itu dikirim ke rumah sakit AS untuk merawat pasien yang tidak terdaftar dalam uji klinis.
FDA sebelumnya memperingatkan para dokter bahwa mereka telah melihat laporan tentang efek samping berbahaya dan masalah jantung yang dilaporkan ke pusat-pusat pengendalian racun dan sistem kesehatan lainnya.
Pencabutan izin penggunaan obat malaria untuk Covid-19, menurut FDA, dilakukan setelah berkonsultasi dengan Otoritas Penelitian dan Pengembangan Lanjutan Biomedis (BARDA), yang telah meminta penggunaan darurat. [yy/republika]
Apakah Mutasi Virus Corona Akan Mengubahnya Jadi Jinak?
Fiqhislam.com - Virus corona SARS-Cov-2 yang menyebar di Beijing baru-baru ini diduga varian baru hasil mutasi. Virusnya sedikit berbeda dari virus awal yang menyebar di Wuhan. Demikian Zeng Guang, pakar epidemiologi dari Komisi Kesehatan Nasional Cina seperti dikutip Global Times.
Klaster virus corona terbaru adalah pasar bahan makanan Xifandi di Beijing. Di pasar ini dilakukan pengolahan ikan salmon impor. Darimana salmon berasal, sejauh ini belum jelas. Cina mengimpor ikan salmon dari sejumlah negara, antara lain Norwegia, Chile, Australia, Kanada, dan Kepulauan Faroe.
Pemerintah di Beijing dengan cepat menutup pasar Xifandi, dan beberapa blok pemukiman di selatan ibu kota Cina itu. Sekitar 10.000 pedagang dan pekerja di pasar tersebut kini akan dites secepatnya untuk melacak infeksi SARS-Cov-2.
"Hasil pelacakan akan dibandingkan dengan analisa dari negara lain, untuk bisa melacak garis asal-usul virus corona bersangkutan," ujar pejabat kesehatan di Beijing
Apakah mutasi virus berbahaya?
Virus lazimnya selalu melakukan mutasi. Karena untuk berkembang biak, virus harus mencari sel inang, dan terus menerus melakukan adaptasi dengan cara melakukan mutasi. Ini tidak berarti virusnya akan makin berbahaya atau sebaliknya. Yang lebih penting adalah terus memonitor jalur evolusi mutasinya agar bisa mengembangkan vaksin corona atau obatnya, ujar para ilmuwan
Virus corona yang kini kembali menyerang Cina baru-baru ini, juga menunjukkan melakukan mutasi, dengan gejala lebih lambat dibanding gejala yang dipicu virus asal dari Wuhan. Jadi, tidak ada alasan panik di Cina. Sejumlah mutasi virus terbukti dapat melemahkan serangannya dan tidak lagi mematikan.
Christian Drosten, pakar virologi Jerman dari rumah sakit Charite di Berlin dalam podcastnya untuk stasiun penyiaran NDR juga melihat mutasi virus itu secara positif. "Karena dengan begitu virus bisa melakukan reproduksi lebih baik di ruang hidung," ujarnya.
Jika mutasi virus terutama menyerang bagian hidung, virus akan bisa berkembang biak lebih bagus dan akan membuat epidemi virus corona menjadi lebih ringan. "Virusnya tetap bisa menyerang selaput lendir di paru-paru, tapi efeknya orang hanya merasakan seperti flu biasa saja," ujar pakar virologi Jerman itu.
Lewat mutasi, virus corona juga bisa makin lemah dan menghilang. Misalnya virus corona SARS yang mewabah tahun 2002 dan menghilang tahun 2004. Walau begitu SARS-Cov-2, harus tetap diwaspadai, karena tidak ada yang tahu pasti, berapa lama waktu yang diperlukan untuk prosesnya hingga virusnya jadi jinak.
Mutasi Corona tingkatkan kemampuan infeksi
Sementara, hasil riset terbaru Scripps Research lembaga riset biomedik dan biokimia kenamaan AS yang dirilis belum lama ini menunjukkan, adanya mutasi yang meningkatkan secara signifikan kemampuan virus corona jenis baru itu untuk menginfeksi sel inang.
Hasil penelitian ini bisa menjelaskan, mengapa virus SARS Cov-2 di beberapa bagian dunia menginfeksi sangat banyak pasien dan membuat ambruknya sistem kesehatan. Virus yang diduga mengalami mutasi yang menyerang Italia, Spanyol, dan AS khususnya New York terbukti menyebar dengan cepat dalam skala besar.
Mutasi yang diberi nama D614G, meningkatkan jumlah "duri" pada virus corona SARS Cov-2 yang membuat penampakannya khas bagai bola penuh duri. Duri-duri inilah yang membuat virusnya memiliki kemampuan mengikat dan menginfeksi sel inang.
"Jumlah atau densitas dari duri fungsional pada virus corona, menjadi empat sampai lima kali lebih banyak akibat mutasi," kata Hyeryun Choe, salah satu peneliti dan penulis senior riset tersebut.
Para peneliti menyebutkan, sejauh ini belum jelas, apakah mutasi tersebut berdampak pada makin parahnya gejala pada orang yang terinfeksi atau meningkatkan kasus kematian. Disebutkan, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut termasuk uji coba laboratorium.
Riset dari Scripps itu saat ini sedang menjalani peer review, yakni kajian independen dari pakar dalam bidang ilmunya, untuk menjamin kualitas dan kredibilitas riset. [yy/news.detik]