Pertolongan Pertama Saat Bayi Tersedak
Fiqhislam.com - Tersedak lazim terjadi pada bayi yang usianya di bawah enam bulan. Hal itu terjadi karena pada usia ini refleks menelan si bayi belum sempurna.
Rongga pernafasannya juga belum mampu membesar secara optimal sehingga ia belum bisa mengatur jalannya udara, cairan, atau makanan padat yang masuk ke mulut.
Urusan bayi tersedak, yakni masuknya benda asing ke dalam saluran pernapasan (tenggorokan) dan saluran paru-paru (bronkus), tak boleh diremehkan oleh orang tua. Bila dibiarkan terlalu lama, tersedak dapat menyebabkan radang paru-paru atau pneumonia. Saat tersedak, bayi mengalami batuk hingga muntah sebagai reaksi tubuh dalam usaha mengeluarkan benda yang tertelan. Bila sebagian dari cairan muntah atau benda asing yang tertelan tadi masuk ke paru-paru, dapat timbul radang paru.
Tak hanya itu, bila serpihan makanan atau cairan masuk ke saluran pernafasan, jalan udara bisa tertutup. Akibatnya, bayi dapat mengalami gagal nafas. Dampak dari gagal napas ini bermacam-macam, dari bayi membiru hingga ketidaksadaran.
“Karena itu orang tua harus sigap melakukan pertolongan pertama seusai anak batuk dan muntah setelah tersedak,” kata dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Nastiti Kaswandani, dalam workshop Emergency Fair and Festival (E-FAST) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu dua pekan lalu.
Menurut Nastiti, langkah pertama untuk mengatasi tersedak pada bayi adalah menghentikan pemberian makanan atau minuman yang terkadang menjadi penyebab utama tersedak. Kemudian, istirahatkan bayi untuk memantau kondisi apakah bayi dapat bernafas kembali atau tidak. “Bila setelah tersedak bayi tidak bisa bernafas sama sekali, yang ditandai dengan dada bayi tidak bergerak naik atau turun, orang tua perlu melakukan metode penyelamatan Heimlich sebagai pertolongan pertama,” katanya.
Metode Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat saluran pernafasan tanpa intervensi alat apa pun dari luar. Metode ini, menurut situs Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dapat diterapkan pada anak di atas satu tahun ataupun di bawah satu tahun. Agar berhasil, latihan dan keterampilan sangat diperlukan untuk menerapkan metode ini. Bila penolongnya tidak terlatih, bukan mustahil bila kondisi si anak malah lebih buruk.
Pada anak usia di bawah setahun, metode pertolongan Heimlich dilakukan seperti ini: Pertama, letakkan bayi di lengan penolong sehingga kepala bayi lebih rendah daripada badannya. Kemudian, sanggalah kepala bayi dengan telapak tangan. Dalam metode ini, jangan sampai tangan penolong menghalangi atau menutup mulut bayi.
Setelah itu, berikan lima tepukan pada punggung bayi. Jika benda penyebab bayi tersedak tidak dapat keluar, letakkan bayi pada paha penolong dengan muka menghadap penolong. Sangga kepala bayi dengan telapak tangan penolong, kemudian letakkan 2-3 jari penolong di bawah tulang iga bayi dan berikan lima sentakan ke arah dada. "Harus diperhatikan, jika benda di mulut bayi sudah terlihat, segera keluarkan dengan jari," kata Nastiti.
Sementara itu, menerapkan metode Heimlich pada anak di atas setahun dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Penolong berdiri di belakang anak dan peluk anak di bagian pinggangnya. Kemudian, beri sentakan pada perut atau di bawah bagian tulang iga. Lakukan sentakan ini beberapa kali sampai benda yang membuat anak tersedak keluar.
Nastiti mengingatkan agar penolong tidak mengambil benda yang membuat bayi tersedak dengan jari (mengorek) sebelum benda tersebut terlihat. Sebab, bila tindakan ini dilakukan, dikhawatirkan benda yang ada dalam mulut bayi justru terdorong lagi ke dalam.
Menurut Thamrin Machmud, dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) dari Rumah Sakit Khusus THT-Bedah Proklamasi, Jakarta, tersedak akan menghalangi keluar-masuknya udara di saluran pernafasan. Secara normal, saat mulut menelan makanan atau minuman, jalan udara menuju paru-paru akan tertutup oleh epiglotis alias anak tekak atau katup.
“Kerja epiglotis menjadi tidak sempurna bila makanan, minuman, atau benda lain masuk secara bersamaan dengan aktivitas mulut lainnya seperti berbicara atau menangis,” ujar Thamrin dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu. [yy/tempo]