Fiqhislam.com - Secara etimologi, qurban atau kurban berarti mendekatkan diri. Secara terminologi kurban berarti berjuang secara benar atas dasar takwa dan sabar, baik harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya. Kerapkali harta, tenaga, dan jiwa menjadi ‘korban’, belum menjadi ‘kurban.’ Hal ini lantaran dikeluarkannya bukan atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah.
Dalam Ibadah kurban, juga bukanlah semata-mata rangkaian ritual yang hanya berdimensi spiritual. Ibadah Kurban tidak semata-mata upacara penyembelihan, tetapi merupakan ibadah yang menempa diri menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Kesempurnaan ibadah dapat diraih apabila persyaratan formal –syariahnya terpenuhi dan tumbuhnya akhlak sebagai manifestasi dari ibadah.
Secara formal-syar’iyyah, ibadah Kurban yang kita laksanakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, secara fisik hewan Kurban yang disembelih adalah binatang ternak yang sehat, sempurna jasadnya dan cukup usianya.
Kedua, penyembelihan dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga hewan yang disembelih tidak tersiksa.
Ketiga, daging kurban harus dibagikan kepada orang-orang miskin. Keempat, dan ini yang paling penting, Kurban dilaksanakan dengan ikhlas karena iman dan taqwa kepada Allah. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an surah (22 : 36-37).
Disamping nilai spiritualnya, Kurban memiliki nilai-nilai sosial-kemanusiaan yang luhur.
Pertama, Kurban mengajarkan kepada kita untuk bersikap dermawan, tidak rakus dan kikir. Kurban mendidik kita untuk peduli dan mengasah sikap sosial. Seseorang tidak pantas kenyang sendirian dan bertaburan harta, sementara banyak sesama manusia membutuhkan bantuan dan uluran tangan. Persyaratan hewan Kurban yang sangat ketat sesungguhnya merupakan tuntunan agar kita memberikan yang terbaik untuk sesama. Sebagaimana Firman Allah (Qs. 3: 92).
Kedua, secara simbolis Kurban mendidik kita untuk membunuh sifat kebinatangan. Diantara sifat-sifat kebinatangan yang harus kita kubur adalah sikap mau menang sendiri dan berbuat dengan hanya dibimbingan nafsu. Manusia adalah makhluk yang paling utama. Tetapi jika tingkahlakunya dikuasai nafsu, maka pendengeran , penglihatan dan hati nuraninya tiada bergunan. Jika sudah demikian, maka jatuhlah derajat kemanusiaannya, bahkan lebih hina dibandingkan dengan binatang. Dalam Al-Qur’an digolongkan sebagai orang-orang yang lalai. (Qs. 7: 179).
Ketiga, Kurban mengingatkan kita agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, harkat dan martabat kemanusiaan. Digantinya Ismail dengan domba menyadarkan kita bahwa mengorbankan manusia di atas altar adalah perbuatan yang dilarang Allah. Ibadah yang kita laksanakan harus menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak manusia. Bahkan, hewan kurban yang akan disembelihpun harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Karena itulah, maka perbuatan semena-mena, keji dan kejam sangant dilarang oleh Islam. Dalam pandangan Islam, membunuh sesama manusia tanpa dasar yang benar sama nilainya dengan membunuh seluruh umat manusia, (Qs. 5: 32)
yy/jurnalhaji.com