Fiqhislam.com - Dialog antara akal dan taat berlanjut terus, terutama dalam menunaikan ibadah haji. Terkadang akal pikiran orang tertegun di kala sedang menunaikan manasik haji, baik pada waktu bertawaf, bersa’i, mencium batu yang ini dan melempar batu yang itu, dan lain-lain.
Sekali lagi kami katakan, masalah itu melampaui batas akal manusia karena memang masalahnya adalah masalah disiplin atau ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini Allah SWT tidak memberikan taklif secara ngawur, akan tetapi memerintah dengan hikmah yang maha tinggi.
Ketika melempari setan pasti yakin bahwa ia tidak akan pernah membiarkan masalah imaniyah, kecuali bila diusahakan untuk dirusaknya. Setan sudah mengejar-ngejar Sayyidina Ibrahim AS. Setiap kali diusir, setiap kali itu pula setan kembali hendak memaksakan bujuk rayunya. Namun, dia tidak berhasil menggelincirkan Ibrahim. Maka dia pun pergi menggoda Hajar dan Ismail tapi juga menemui kegagalan.
Kita melakukan jumrah, pertama, karena hendak mematuhi perintah Allah. Kedua, untuk menghidupkan sunnah nenek moyang kita, Ibrahim AS, yang telah menamakan kita kaum Muslimin sebagai ungkapan rasa setia kita terhadap orang yang sangat setia kepada Rabb-nya.
Allah SWT telah berfirman, “Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan (apa-apa yang diperintahkan kepadanya).” (QS. An-Najm: 37).
Ketika sedang melempari iblis dalam haji maka kita harus membulatkan tekad bahwa kita tidak akan menaatinya sepulang dari haji. Kita akan tetap mengibarkan bendera kemenangan melawan bujuk rayu dan bisikannya sampai sesudah ibadah haji usai.
Kita akan masih tetap beriman kepada Allah SWT, meskipun setan amat sangat tidak menyukainya. Kita akan tetap tidak menyekutukan-Nya, meskipun setan amat gusar kepada kita. Kita akan menunaikan perintah-Nya dengan ridha dan taat, meskipun setan dan iblis tidak senang!
Sesungguhnya rajam adalah simbol kemenangan kita kepada setan. Pada hari itu, hari jahanam bagi setan. Setan terkutuk dari Allah, dari para malaikat dan segenap kaum mukminin. Kutukan Allah ghaibiyah bagi kita, namun ia ada dan berkesinambungan. Kutukan para malaikat pun ghaibiyah bagi kita, namun ia ada dan berlanjut terus. Sedangkan di Mina kita juga telah memaklumkan kutukan kepada setan dengan cara materi, yaitu dengan melemparinya dalam bentuknya yang paling hina dan nista.
Hari itu adalah hari pembalasan dendam seluruh jamaah terhadap setan yang selama ini bersimaharajalela menggoda seluruh umat manusia tanpa perlawanan yang berarti.
Hari ini adalah hari kemenangan terhadap musuh yang paling jahat. Dia harus senantiasa menjadi musuh bebuyutan, tidak boleh berubah jadi sahabat. Jangan diberi kesempatan dia bisa menundukkan kembali. Jadikanlah pelajaran itu sebagai pelajaran terakhir menjelang akhir hayat.
Terimalah semua perintah Allah dengan senang dan ridha. Kalau telah melakukannya dengan baik, maka telah menutup semua peluang setan yang hendak menggelincirkan, jangan diberi kesempatan dia menguasai diri lagi. Tidak semua ujian Allah diartikan sebagai tanda kemarahan-Nya, karena kita tidak tahu apa yang disembunyikan dalam qadha-Nya.
Mungkin saja ujian-Nya itu untuk meningkatkan ketaatan dan Dia hendak melimpahkan pahala-Nya. Ganjaran akan melimpah-ruah bila kita menjauhkan diri dari kemaksiatan kepada-Nya. Dengan demikian derajat kita di sisi-Nya semakin meningkat pula.
Bulatkanlah kejujuran dalam menyambut semua perintah dan larangan-Nya, sekaligus bulatkanlah tekad untuk memenuhinya dengan sebaik-baiknya, dengan senang hati dan puas diri sehingga memberikan alasan kepada-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal dengan disiplin dan ketaatan.
Sesudah melempari Jumrah Aqabah yang pertama, atau jumrah iblis yang besar, kini sudah bisa melakukan tahallul yang kecil dengan pergi ke Makkah dan melakukan thawaf ifadhah di sana yang merupakan rukun terakhir dari rukun hafi. Sesudah itu barulah menyelesaikan tahallul yang besar yang memperkenankan melakukan apa-apa yang diharamkan sebelumnya.
Perlu selalu diingat, kalau sudah menunaikan sa’i antara Shafa dan Marwa dalam thawaf haji, maka tidak wajib lagi menunaikan sa’i dalam tawaf ifadhah. Akan tetapi kalau belum melaksanakannya, maka bersa’ilah sesudah thawaf ifadhah.
Ada pula thawaf tathauwu’ dan sa’i tathauwu’ bagi orang yang ingin melipatgandakan pahala. Tidak ada orang yang paling disukai Allah SWT lebih dari yang melakukan ibadah yang difardhukan-Nya, baik shalat, shaum, sedekah, atau ajaran agama lainnya. Pekerjaan itu merupakan pembuktian bahwa kita tidak melakukan apa-apa yang difardhukan Allah saja, tetapi kita menambahnya dengan berbagai pekerjaan tathauwu’ (sukarela) sebagai ungkapan rasa cinta kita pada peribadahan kepada Allah SWT.