Fiqhislam.com - Apa arti “Afadhah”? Ketika kita mengisi sebuah gelas dengan air atau apa pun sampai meluap dan tumpah keluar, maka tumpahan yang meluap dari gelas itulah yang dinamakan al-faidh, yang tertumpah dari kesatuannya.
Perhatikan firman-Nya: “… maka apabila kamu telah tumpah keluar dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (Muzdalifah)…” (QS. Al-Baqarah: 198).
Firman Allah di atas, “apabila kamu tumpah keluar dari Arafah” merupakan suatu hukum yang berlaku surut bahwa Padang Arafah akan penuh padat dengan para jamaah. Pada waktu mereka keluar meninggalkan padang itu, anda akan melihat jamaah haji bagaikan tumpahan yang meluap-luap dari sebuah wadah.
Itulah hukum Allah dalam haji. Kalau anda menyaksikannya, anda akan melihat para jamaah haji keluar dari Arafah persis seperti anda melihat sebuah wadah yang sedang menumpahkan kelebihan isinya. Anda akan tertegun tidak tahu dari mana datangnya jamaah haji sebesar itu. Mereka keluar berbondong-bondong menuju Muzdalifah dan terus ke Mina.
Jamaah kaum Muslimin di Arafah seolah-olah bagai suatu kesatuan umat manusia yang terikat erat lahir dan batinnya dan tidak terbilang jumlahnya. Namun ketika matahari terbenam pada sore hari, mereka semua mulai keluar meninggalkan padang Arafah bagaikan air bah yang meluap keluar dengan deras. Demikianlah Allah SWT melukiskan tumpahnya jamaah haji keluar meninggalkan Padang Arafah.
Anda akan heran dan takjub merenungi orang yang keluar menuju Muzdalifah. Dari mana saja datangnya manusia sebanyak itu? Semua lembah dan jalur jalan dipenuhi para jamaah, baik yang berjalan kaki maupun yang berkendaraan, bagaikan sebuah banjir yang dahsyat dan mengerikan.
Sesudah itu, terjadi lagi ifadhah yang kedua kali, sesudah ifadhah dari Arafah, yakni ifadhah dari Muzdalifah ke Mina.
Sebagaimana firman-Nya, “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199).
Para jamaah diperintahkan untuk memperbanyak dzikir dan fikir, meningkatkan syukur dan istighfar atas berbagai karunia Allah yang telah diberikan kepadanya, yang telah mempermudahnya sampai di tempat yang penuh berkah dalam keadaan mukmin, dan insya Allah dikembalikan dalam keadaan terampuni dari dosa-dosa yang lalu.
Allah juga memerintahkan kita untuk mengingat-Nya sebagaimana yang Dia tunjuki kepada kita. Petunjuk-Nya pasti merupakan jaian pintas menuju kebaikan dan ampunan-Nya. Allah telah memudahkan kepada Anda tiba di tempat itu dalam keadaan sehat rohani dan jasmani.
“… dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 198).
Orang-orang sebelum Islam berthawaf dalam keadaan telanjang. Mereka bertepuk tangan sambil bersiul mengelilingi Ka’bah. Maka Allah SWT berkenan memberi petunjuk kepada mereka bagaimana cara berhaji yang benar, yang berdaya guna mengampuni timbunan dosa.