Fiqhislam.com - Tak ada kota mana pun setelah Makkah lebih afdal daripada Madinah, kota Rasulullah SAW. Semua amalan di sana dilipatgandakan pula pahalanya.
Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini, lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram.”
Demikian pula setiap amal kebaikan, sama dengan seribu di tempat lainnya.
Dan setelah kota beliau itu, yang paling afdal ialah Baitul Maqdis (di Palestina). Shalat di sana sama dengan lima ratus kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram (di Makkah) dan Masjid Nabawi (di Madinah). Demikian pula derajat amal-amal lainnya.
Dirawikan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda, “Satu kali shalat di Masjid Madinah sama dengan sepuluh ribu kali (di tempat lain) dan shalat di Masjidil Aqsha sama dengan seribu kali, sedangkan shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu kali shalat di masjid lain.”
Sabda beliau lagi, “Barangsiapa bersabar menahan kesulitan hidup di dalamnya (yakni Madinah), maka saya akan bersyafaat baginya, pada Hari Kiamat.”
Sabda beliau lagi, “Barangsiapa berkesempatan (tinggal dan) wafat di Kota Madinah, hendaknya ia berusaha untuk itu. Tidak seorang pun wafat di sana, kecuali aku akan beri syafaat untuknya pada Hari Kiamat.’’
Adapun setelah ketiga tempat tersebut, semua tempat adalah sama saja tingkat kemuliaannya, kecuali daerah-daerah perbatasan (yakni yang berbatasan dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh musuh-musuh kaum Muslim).
Berdiam di daerah-daerah itu, untuk menjaga keamanan daerah Muslim, adalah perbuatan yang amat besar pahalanya. Karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah perlu memberangkatkan kendaraan (yakni bepergian jauh untuk menziarahi masjid-masjid) kecuali untuk tujuan tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.”
Sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil tentang larangan bepergian untuk berziarah ke makam-makam serta tempat-tempat peninggalan para ulama dan orang-orang saleh. Namun, yang tampak bagi dari pemahaman hadis tersebut, tidaklah demikian.
Bahkan melakukan ziarah ke tempat-tempat tersebut tetap dianjurkan. Sabda Nabi SAW, “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan-kuburan; kini ziarahilah, tapi jangan mengucapkan kata-kata tak karuan.”
Hadis tersebut, dalam kenyataannya, berkaitan dengan masjid. Jadi, tidak termasuk di dalamnya, masyhad atau makani orang-orang saleh.
Sebab, semua masjid selain ketiga masjid yang paling utama itu, adalah sama saja tingkatannya. Tak ada suatu kota, kecuali pasti ada masjidnya. Maka tak ada artinya melakukan perjalanan ke suatu masjid lainnya.
Adapun masyhad-masyhad (makam-makam) tidaklah sama. Bahkan, berkah yang diperoleh ketika menziarahinya berbeda sesuai dengan perbedaan kedudukan mereka yang dimakamkan, di sisi Allah SWT.
Dan juga dikecualikan tentunya, seandainya ia berada di suatu tempat yang tidak ada masjidnya. Dalam keadaan seperti itu, ia boleh saja melakukan perjalanan, meskipun jauh, ke suatu tempat yang ada masjidnya. Atau bahkan pindah sama sekali ke sana.
Selain itu, adakah orang yang melarang hal itu, juga melarang seseorang melakukan perjalanan jauh untuk berziarah ke makam-makam para nabi. Seperti makam Nabi-nabi Ibrahim, Musa, Yahya dan lainnya?
Rasanya amat mustahil hal seperti itu dilarang! Maka jika itu dibolehkan, demikian pula yang berkaitan dengan makam-makam aulia, ulama dan orang-orang saleh. Tidaklah mengherankan jika yang demikian itu termasuk di antara tujuan suatu perjalanan. Sama halnya seperti perjalanan untuk mengunjungi ulama yang masih hidup, juga termasuk di antara tujuan perjalanan seseorang.
Adapun mengenai tempat bermukim, maka sebaiknya bagi seorang murid (yaitu seorang yang sedang melatih diri menempuh jalan menuju kesempurnaan batin) tetap saja berdiam di tempatnya semula. Yakni, selama ia tidak berniat melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, dan juga selama di tempat asalnya itu, tetap terjamin keselamatan dirinya (secara lahir-batin).
Akan tetapi, sekiranya keselamatan dirinya itu terancam, maka sebaiknya ia mencari tempat yang paling memungkinkan dirinya tidak terlalu dikenal, paling aman bagi agamanya, paling tenang untuk hatinya dan paling mudah untuk beribadah.
Itulah tempat yang paling afdal. Dalam hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Semua negeri adalah milik Allah SWT dan semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Maka tempat yang mana pun yang engkau anggap lebih memudahkan dan lebih meringankan, berdiamlah di sana dan bersyukurlah kepada Allah SWT.”
Dalam hadis lainnya disebutkan, “Apa saja yang seseorang memperoleh berkah darinya, hendaknya jangan ia lepaskan. Dan barangsiapa memperoleh, nafkah hidupnya dari sesuatu, janganlah ia menjauhkan diri darinya, sampai suatu saat hal itu telah berubah baginya.”
Abu Nu‘aim juga pernah berkata, ”Aku pernah bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri. Waktu itu ia sedang mengangkat tas bungkusan pakaiannya di atas pundaknya dan menjinjing sandalnya. Lalu kutanyakan kepadanya, ‘Hendak ke mana, wahai Abu Abdillah?’
“Ke suatu tempat di mana aku dapat memenuhi tasku ini barang dengan uang satu dirham.” (Dalam versi lainnya, Sufyan menjawab) “Ke suatu desa yang aku dengar bahwa segalanya di sana murah. Dan karena itu, aku berniat untuk berdiam di sana untuk seterusnya.”
Dengan agak heran Abu Nu’aim bertanya lagi, “Adakah anda benar-benar bermaksud begitu, wahai Abu Abdillah?”
“Ya.” jawabnya.
“Apabila anda mendengar tentang harga-harga yang murah di suatu tempat, sebaiknya anda pergi ke sana. Sebab, hal itu akan lebih selamat bagi agamamu dan lebih sedikit merisaukanmu.”
Diberitakan pula bahwa Sufyan biasa berkata, “Ini adalah zaman yang rusak. Orang biasa yang lugu dan yang tak dikenal pun belum tentu dapat menyelamatkan agamanya, apalagi orang-orang yang terkenal. Ini adalah zaman yang mengharuskan orang agar selalu berpindah-pindah, lari dari satu desa ke desa lainnya, demi menyelamatkan agamanya dari segala fitnah.”
Dalam riwayat lain, ia juga pernah berkata, ”Sungguh aku tidak tahu, di kota manakah aku harus bermukim?”
”Di Khurasan,” kata seseorang kepadanya.
”Ah, di sana terdapat berbagai mazhab yang saling bertentangan di samping pendapat-pendapat yang menyimpang.” jawabnya.
”Kalau begitu negeri Syam. Di sana engkau akan menjadi termasyhur,” kata yang seorang lagi.
’Tidak! Irak adalah negeri kaum tiran yang congkak dan zalim,” kata Sufyan.
”Kalau begitu Makkah,” timpal seseorang yang lain kepadanya.
“Makkah akan melumerkan kantung dan badan,” jawab Sufyan.
Seorang berkata lagi kepada Sufyan, ”Saya telah berniat mujawarah (berdiam dekat dengan Ka‘bah) di Makkah. Berilah nasihat untuk saya!”
Maka berkatalah Sufyan kepadanya, ”Saya berpesan agar anda memerhatikan tiga hal: Jangan sekali-kali shalat di saf terdepan, jangan sekali-kali dekat dengan seorang dari suku Quraisy dan jangan sekali-kali menampakkan sedekahmu!”
Hal itu disampaikan Sufyan agar ia tidak shalat di saf terdepan, tujuannya adalah agar ia tidak dikenal. Sehingga tidak dicari-cari jika ia tidak hadir. Dan jika demikian, maka amalannya dapat bercampur dengan riya dan pura-pura.
-
Inilah Keutamaan Kota Madinah, Semoga Kita Bisa Mengunjunginya
-
Masjid-Masjid Bersejarah di Madinah: Masjid Quba
-
Masjid-Masjid Bersejarah di Madinah: Masjid Al-Jum’ah
-
Orang yang Umrah di Bulan-Bulan Haji Kemudian Pergi ke Madinah dan Berniat Ihram Haji dari Bir Ali
-
Madinah Kota Bersejarah nan Damai dan Bersahabat
-
Tempat Ziarah di Madinah