Fiqhislam.com - Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata-kata kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain agar (pahala) amalanmu tidak hilang, sedangkan kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al Hujurat: 2).
Saat berziarah adalah detik-detik untuk mengenang guru sekaligus pelopor dakwah Islam, meneguhkan hati untuk selalu mengikutinya, mengingat perjuangan para syuhada yang merelakan nyawa mereka demi Islam di muka bumi.
Seorang yang datang berziarah ke Masjid Nabawi hendaklah merenungkan sumbangan apa yang sudah dia berikan terhadap kelestarian warisan Islam kepadanya. Apa yang sudah kita persembahkan untuk membentengi akidah Islam dari serangan pihak luar. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk persatuan dan kesatuan umat dalam rangka melindungi ajaran agama kita.
Untuk itu, para peziarah hendaknya bersikap baik, khusyuk, larut dalam doa, serta berakhlak mulia dengan tamu-tamu Allah dan para peziarah lainnya.
Kadang sering dijumpai para peziarah perempuan yang keluar dari tatacara islami saat berziarah. Mereka berteriak-teriak histeris, menangis, mengaduh, dan bahkan mencari-cari barangnya yang hilang.
Fenomena seperti ini tentu bertentangan dengan perintah Allah dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.” (QS. Al Hujurat: 2).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kita agar selalu menjaga perilaku di hadapan Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.
Selain itu, perbuatan tersebut bertentangan dengan naluri perempuan yang seharusnya mengedepankan rasa malu. Dalam hal shalat dan membaca talbiyah, misalnya. Kaum perempuan dianjurkan untuk melirihkan suara karena suaranya termasuk aurat yang harus ditutupi.
Untuk itu, saat berziarah hendaklah membentengi diri dengan sunah Rasulullah sehingga tidak terjatuh ke dalam perbuatan bid’ah dan kesesatan. Wallahu’alam.