Bolehkah Perempuan Haid Masuk Masjid Nabawi
Fiqhislam.com - Setiap muslim sepakat bahwa masjid adalah salah satu tempat yang suci. Tentu orang-orang di dalamnya pun harus berada dalam keadaan suci. Begitu pun dengan Masjid Nabawi yang sering dikunjungi oleh para jamaah Haji. Tapi, bagaimana nasib seorang perempuan yang ingin masuk Masjid Nabawi dalam keadaan haid? Apakah boleh masuk ke dalamnya?
Hukum Masjid Nabawi sam dengan hukum masjid-masjid pada umumnya. Ulama-ulama fiqih berbeda pendapat tentang kebolehan orang junub, orang haid dan nifas masuk ke masjid, dan mereka terbagi kepada tiga golongan:
1. Golongan yang melarang secara mutlak (tanpa syarat).
2. Golongan yang melarang dengan mengecualikan perantau yang menyeberang, tetapi pengecualian itu tidak berlaku bagi yang telah muqim.
3. Golongan yang membolehkan bagi semuanya.
Golongan pertama, yakni yang melarang secara mutlak ialah Madzhab Maliki. Mereka mengatakan, “Orang haid dan nifas tidak boleh masuk masjid apalagi untuk tetap di dalam. Tidak boleh lewat dari satu pintu ke pintu lain, sekali pun masjid itu masjid pribadi yang berada di dalam rumah sendiri. Kecuali untuk berlindung karena takut kepada pencuri, binatang buas atau orang jahat, dia harus tayammum memaku masjid dan boleh bermalam.
Dalil bagi mereka ialah firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi,” (QS. An-Nisa: 43).
Yang dimaksud dengan shalat dalam ayat tersebut ialah ibadah yang telah kita kenal dan tempat shalat. Allah SWT telah berfirman, “Tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani gereja-gereja, rumah-rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid,” (QS. Al-Hajj: 40).
Dalam ayat tersebut tempat-tempat shalat disebut dengan kata “shalawaat”, dengan begitu kita boleh menta’wil ayat An-Nisa: 43 tersebut di atas dengan pengertian, “Orang-orang junub juga tidak dibolehkan menghampiri tempat-tempat shalat (masjid).”
Kemudian mereka mengambil dalil pula dengan mengarahkan pemikiran mereka terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Ummul Mukminin Aisyah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Masjid tidak halal bagi orang yang haid dan orang junub.”
Golongan kedua, imam-imam yang lain membolehkan orang junub, orang haid dan nifas masuk dan lewat masjid dengan beberapa syarat.
Hanafi: Orang haid, junub dan nifas tidak boleh masuk masjid, kecuali karena darurat (terpaksa). Umpamanya karena tidak mungkin mendapatkan air selain hanya dalam masjid, sedangkan dia wajib mandi. Atau karena pintu rumahnya melalui masjid dan tidak mungkin memindahkannya. Untuk pindah ke tempat lain dia tidak sanggup.
Syafi’i: Orang haid atau nifas haram masuk masjid, duduk atau pulang pergi di dalam masjid. Boleh menyeberangi masjid seperti di dalam ayat, apabila dia tidak takut dan tidak ragu akan mengotori masjid. Maruh melewati masjid walau pun aman, ketika hadatsnya sedang banyak, dan apabila dia yakin tidak akan mengotori masjid, disayaratkan masuk dari sebuah pintu dan keluar dari pintu lain. Artinya dia lewat dalam masjid karena hajat.
Hanbali: orang junub, orang haid dan nifas boleh lewat di masjid, tetapi tidak boleh duduk atau diam di dalam, ketika darahnya sedang turun, sekali pun dia percaya tidak akan mengotori masjid. Boleh tinggal atau diam di masjid apabila darahnya sudah berhenti.
GOLONGAN kedua, imam-imam yang lain membolehkan orang junub, orang haid dan nifas masuk dan lewat masjid dengan beberapa syarat.
Hanafi: Orang haid, junub dan nifas tidak boleh masuk masjid, kecuali karena darurat (terpaksa). Umpamanya karena tidak mungkin mendapatkan air selain hanya dalam masjid, sedangkan dia wajib mandi. Atau karena pintu rumahnya melalui masjid dan tidak mungkin memindahkannya. Untuk pindah ke tempat lain dia tidak sanggup.
Syafi’i: Orang haid atau nifas haram masuk masjid, duduk atau pulang pergi di dalam masjid. Boleh menyeberangi masjid seperti di dalam ayat, apabila dia tidak takut dan tidak ragu akan mengotori masjid. Maruh melewati masjid walau pun aman, ketika hadatsnya sedang banyak, dan apabila dia yakin tidak akan mengotori masjid, disayaratkan masuk dari sebuah pintu dan keluar dari pintu lain. Artinya dia lewat dalam masjid karena hajat.
Hanbali: orang junub, orang haid dan nifas boleh lewat di masjid, tetapi tidak boleh duduk atau diam di dalam, ketika darahnya sedang turun, sekali pun dia percaya tidak akan mengotori masjid. Boleh tinggal atau diam di masjid apabila darahnya sudah berhenti.
Mereka bersandar kepada dalil yang dikemukakan Ibnu Qaddamah di dalam al-Mughni, katanya: Mereka tidak boleh tinggal di masjid. Bagi kami firman Allah: illa ‘aabiri sabiili (terkecuali sekedar berlalu saja), pengecualian dari larangan berarti membolehkan. Dan hadis Aisyah yang mengabarkan, Rasulullah SAW bersabda, “Ambilkan tutup kepalaku di masjid. Jawab Aisyah, “Aku sedang haid.” Sabda Nabi, “Haidmu bukankah tidak di tanganmu?” (HR. Muslim).
Kemudian hadis Jabir RA, dia pernah mengatakan, “Kami pernah lewat di masjid, padahal kami sedang junub,” (HR. Ibnul Mundzir).
Dan hadis Zain bin Aslam RA, dia mengatakan, “Ada beberapa orang sahabat Rasulullah SAW lewat di masjid, padahal mereka junub,” (HR. Ibnul Mundzi juga).
Hadis-hadis tersebut semuanya seirama, menunjukkan mereka sepakat (ijma’).
Adapun hadis, “Tidak halal masjid bagi orang junub dan orang haid.”
Menurut Ibnu Rusyd di dalam Bidaayatul Mujtahid, hadis tersebut tidak mantap (tsabit) di kalangan ahli-ahli hadis. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan sanadnya dha’if. Sementara yang mengatakan shahih ialah Ibnul Qaththaan, bahkan dikatakannya hasan pula.
Ketiga, golongan yang membolehkan secara mutlak. Al-Muzani, Dawud dan Ibnul Mundzir membolehkan orang junub tinggal di masjid secara mutlak (tanpa syarat). Sebabnya, mereka membolehkan, karena di dalam ayat tidak ditegaskan larangan itu. Ayat surat An-Nisa ayat 43 adalah majaz, dan yang dikehendaki ialah “tempat-tempat shalat.” Begitu pula kata-kata, “aabiri sabiil” yang dimaksud adalah musafir yang ketiadaan air sedangkan ia junub. Dia tidak boleh shalat kecuali dengan tayammum.
Orang-orang kafir pun pernah masuk masjid Nabi SAW. Tidak diragukan lagi di antara mereka ada yang junub.
Kesimpulan
Orang haid, nifas dan junub boleh masuk masjid apabila yakin tidak mengotori masjid. Begitulah pendapat Hanbali, sebagian Zhahiriyah, Muzani, Ibnul Mundzir dan Al-Qadhi Abi Tayyib.
Maliki, Hanafi dan Syafi’i, mereka tidak membolehkan, kecuali karena darurat.
Kalau kita tilik pendapat-pendapat itu sebagaian berpegang kepada “azimah” (pemantapan yang kokoh), sebagian yang lain berpegang dengan “rukhsah” (keringanan). Masing-masing mereka mempunyai dalil sendiri-sendiri.