Fiqhislam.com - Tanah Suci Makkah menjadi pusat spritual ibadah haji seluruh umat Islam. Pada masa kini ada beberapa kebiasan baik jamaah dimanfaat oleh warga setempat, baik imigran atau warga asli Arab Saudi yang menjual barang atau jasa di sekitar Masjidil Haram.
Yang diuntungkan dari kebiasaan baik jamaah haji atau umroh ini adalah pengusaha yang menjual barang dagangan berupa makanan dan minuman di sepanjang jalan menuju Masjidil Haram Makkah al Mukaramah. Mereka para pedagan Arab yang memperkerjakan kebanyakan orang imigran itu bisa meraup keuntungan dalam sekejap, karena barang yang mereka tawarkan ludes terjual dengan cepat dengan cara memanfaatkan kebiasaan baik dari jamaah.
Berdasarkan pengamatan saya, ketika umrah tahun 2017, kebiasaan baik jamaah ini lahir dari beberapa faktor terutama karena aktivitas spritual religius yang kental pascatawaf dan sa'i dan faktor sosial yang padat ini menjadi ladang amal untuk bersedekah bagi jamaah.
Yang melakukan kebiasan baik beramal shalih individu (faktor spiritual religius) itu dilakukan oleh masyarakat haji dan umroh seluruh negara, utamanya masyarakat haji umroh asal Indonesia yang dikenal padangan setempat royal dan kalaf ketika belanja.
Maka tak malu-malu dan segan para imigran yang direkrut secara ilegal oleh pengusaha Arab itu menawarkan kepada jamaah yang terlihat perlente, necis atau berduit untuk beramal, caranya dengan membeli dagangan mereka. Membeli barang dari mereka bukan seperti membeli barang pada umumnya, di mana pembeli bisa membawa barang yang dibelinya, tapi kebiasaan mereka, ketika kita membeli barang yang dijualnya, barangnya tidak bisa dibawa pulang karena barang yang dibeli itu akan langsung mereka bagikan untuk disedekahkan.
Kesannya pedagangnya itu baik kan? Bagikan barang-barang dagangannya.
Kebiasaan pedagang di Makkah ini saya sebutnya jualan sedekah. Cara mereka mengajak kita bersedekah memang cukup unik, laiknya menjual barang dagangan, kita dituntun ketempat jualannya, dengan gaya bak sudah kenal lama (sok akrab gitu) mereka nawarkan barang dagangannya dan berkata.
"Mari haji mau sedekah berapa orang? Pilih paket di sini 50 riyal bisa 100 riyal bisa nanti langsung kita bagikan. Sudah banyak yang ngantri tuh," katanya.
Sebelumnya saya mengira mereka (para pedagang) itu memang membagi-bagikan barang dagangannya itu ikhlas untuk sedekah. Dan ternyata tidak. Barang berupa makanan dan minuman yang mereka bagikan itu ternyata barang yang sudah dibeli jamaah (perlente).
Berdasarkan pantau itu setiap kios yang kurang lebih berukuran 5x5 m diisi oleh dua atau empat pekerja. Masing-masing dari mereka memiliki tugas sendiri-sendiri di antara mereka ada yang menghadang orang melintas untuk menawarkan jual amal, ada yang khusus khidmat atau melayani setiap pembeli (yang bersedekah) yang ngantri, ada kasir dan tukang masak jika prodaknya harus dimasak sebelum dijual.
Jadi bagi jamaah yang tak suka sedekah harus hati-hati jika didekati para pedagang di sekitar Masjidi Haram, karena makanan dan minuman yang kita beli gak bisa kita bawa, karena langsung mereka (penjual) bagikan lagi kepada setiap orang yang sudah antri di depan kiosnya. Kebanyakan mereka yang ngantri merupakan imigran dari negara-negara konflik.
Selain jual barang, warga setempat juga jualan jasa, mulai dari jasa dorong kursi roda dan membantu mencium hajar aswad. Jasa dorong kursi roda yang berada di luar masjidil haram ini rutenya mulai dari keluar hotel sampai masuk pintu masjidil haram dan penjual jasa dorong kursi roda juga ada di dalam Masjidil Haram untuk melayani jamaah yang tak kuat tawaf dan sa'i.
Bayaran mereka bervariasi, ada yang menentukan tarif ada juga yang tak ditarif alias Lilalahitaala. Dan informasinya jasa mereka dibayar 10, 15 sampai 20 riyal.
Kebiasaan baik jamaah juga dimanfaat oleh para penyapu jalanan di luaran Masjidil Haram. Jika kita ingin membagi uang kepada di antara mereka harus dalam keadaan sendiri, karena jika penyapu jalanan tahu temannya dikasih, maka kita akan terus di ikuti agar dia juga dikasih uang.
Konon cerita dari sesama jamaah yang sudah bolak balik ke Makkah kebiasan baik para jamaah yang dimanfaatkan para pedagang di sekitar Makkah awalnya dari orang Indonesia, di mana orang Indonesia ingin beramal di Makkah karena termotivasi perkataan Al Hasan Al Bashri. Beliau berkata, “Barangsiapa sholat di tanah Haram, maka dicatat baginya pahala puasa 100.000 hari. Begitu pula barangsiapa bersedekah di tanah haram dengan satu dirham, maka akan dilipatgandakan pahala sedekah dengan 100.000 dirham.” (Akbar Makkah, Al Fakihiy, 2/292). [yy/ihram]
Artikel Terkait: