Fiqhislam.com - Haji memang hanya wajib bagi yang mampu (istitha'ah) baik raga, jiwa, dan harta. Di luar itu Muslim tidak wajib menunaikan rukun Islam ke lima.
Fiqh dan ajaran Islam terkait soal tersebut semua Muslim pasti sudah paham. Semua Muslim sudah mafhum. Mereka semua ingin naik haji meski harus menabung dan menunggu antrean hingga puluhan tahun. Bayangkan antrian bila mendaftar haji tahun ini banyak yang baru bisa berangkat ke tanah suci pada 2040.
Kehebohan ini kali ini makin seru dengan adanya wacana pemangkasan uang saku atau 'living cost' jamaah haji. Pihak kementerian agama (Kemenag) mewacanakan uang saku para jamaah haji akan dipangkas dari 1.500 riyal atau sekitar Rp 5,4 juta menjadi 1.000 riyal setara Rp 3,6 juta.
Dan tentu saja, adanya niatan ini membuat kaget para calon jamaah yang kini diperkirakan jumlahnya mencapai 2,5 juta orang. Apalagi belakangan terdengar kabar bila pemerintah enggan menaikkan biaya perjalanan haji (BPIH) 2020. Dan ini masuk akal, sebab bila BPIH tahun ini akan naik maka akan menjatuhkan kredilitas pemerintah yang kini harus dijaga sebaik mungkin.
Pada sisi lain, alasan pemangkasan uang saku juga mengisyaratkan bila ada masalah dalam soal pembiayaan operasional haji. Ini makin menarik karena dana yang terkumpul dari para jamaah haji kini sudah mencapai sekitar Rp 100 triliun. Maka optimalasasi dana untuk pembiayaan haji tentu lumayan besar dan bisa menutup biaya penyelenggaraan ibadah haji yang setiap tahunnya berkisar mencapai angka di sekitar Rp 10 trilun.
Uniknya pada sisi lain, saat ada rencana untuk memotong uang saku jamaah, Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Kemenag, Maman Saepulloh menyampaikan dengan arahan menteri agama (menag) bila tahun ini Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) atau direct cost tidak naik. BPIH 2020 minimal sama dengan BPIH 2019, yakni sebesar Rp 35.235.602. Ini bisa disimpulkan uang saku akan dipotong dengan tujuan agar BPIH tidak naik.
Namun, Ia menambahkan, penentuan BPIH tergantung nanti hasil rapat dengar pendapat dan rapat kerja bersama DPR RI. Di samping itu BPIH 2020 juga tergantung dengan masukan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Besaran BPIH akan disesuaikan dengan nilai manfaat yang diperoleh BPKH.
"Kalau perolehan nilai manfaat tahun ini (oleh BPKH) besar, kemungkinan (Bpih) tidak naik, tapi kalau nilai manfaat yang diperoleh tahun ini tidak terlalu besar bisa jadi hal-hal lain akan dikurangi, misalnya biaya living cost yang dulunya 1.500 Riyal menjadi 1.000 Riyal," jelasnya.
Nah, adanya wacana pemotongan living cost membuat para calon jamaah haji bertanya ada apa dengan dana haji kita yang sudah terkumpul ratusan triliun itu? Apakah dana ini optimalisasi berkurang drastis sehingga harus memotong uang saku itu. Padahal kurs rupiah dengan dolar AS setahun terakir cenderung menguat. Harga Avtur pesawat terbang yang lazimnya menjadi faktor utama yang menyedot pembiyaan haji, kini harganya cenderung stabil, bahkan turun.
Situasi ini tentu mengundang tanda tanya sebab pada saat yang sama berbagai soal yang melilit keuangan negara -- misalnya kasus Jiwasraya dan Asabri-- begitu menguncang kepercayaan publik. Rakyat bertanya bagaimana para pihak yang ada di pemerintah bisa menjaga amanah bahwa dana haji yang sangat besar itu benar-benar aman dan bermanfaat bagi jamaah haji.
Suara kegilasahan mulai muncul seiring dengan maraknya kasus gagal umrah seperti dilakukan Firts Travel itu. Akibat sistem jualan umrah dengan memakai skema seperti multi level marketing itu, para jamaah yang tergiur umrah murah menjadi korban. Dan soal seperti ini jangan sampai terjadi pada penyelenggaraan perjalanan ibadah haji oleh Kemenag atau pemerintah.
Kalau ini sampai terjadi, maka habislah kepercayaan publik kepada pemerintah. Segala janji bahwa dana haji yang kini sudah terkumpul akan dipakai optimal untuk kepentingan jamaah dan membuat murah serta mudah, semuanya harus dibuktikan. Salah satunya adalah mulai merebaknya suara keras publik yang prihatin bila uang saku (living cost) kepada jamaah haji tahun ini akan dipotong. Ingat, ini isu dan wacana yang sangat tidak populer.
Akhirnya nanti isu pemotongan bisa menjadi isu politik yang liar. Ingat juga sampai kapanpun soal penyelenggaraan jamah haji selalu terkait politik. Tak peduli era kekalifahan Otoman (untuk Indonesia era kolonial Hindia Belanda), hingga era masa kini yakni pada era dinasti Ibnu Saud: haji selalu terkait politik!
Dan ingat pula bila dana haji bukan milik negara atau pemerintah, melainkan milik umat Islam, yakni para individu calon jamaah haji. [yy/republika]
Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika dan Pengamat Haji
Artikel Terkait:
Penyesuaian Ongkos Haji Jadi Prioritas Tahun Ini
Penyesuaian Ongkos Haji Jadi Prioritas Tahun Ini
Fiqhislam.com - Pembahasan penyesuaian ongkos haji atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) untuk 2020 sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah tengah melihat secara komprehensif terkait pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji ke Tanah Suci.
“Pertama, kita tahu inflasi setiap tahun sekitar tiga persen. Kedua, kualitas pelayanan terus meningkat dan jenis pelayanan juga meningkat,” kata Deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Sartono dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (16/1).
Menurut Agus, idealnya biaya penyelenggaraan ibadah haji juga mengalami penyesuaian. Ia mengatakan, jika per tahun inflasi tiga persen, maka selama lima tahun seharusnya disesuaikan sekitar 15 persen.
Agus menambahkan, sementara itu biaya penyelenggaraan ibadah haji sebagian dibayar oleh jemaah haji dan sebagian dari nilai manfaat atas setoran yang sudah dilakukan beberapa tahun.
Dikatakan Agus, sejak beberapa tahun Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah melakulan pengelolaan dana haji lebih baik. Di antaranya, nilai manfaat didistribusikan ke masing-masing jamaah haji yang masih dalam daftar tunggu. Nilai manfaat tersebut masuk ke dalam virtual account masing-masing jamaah.
Menurut Agus, pada saatnya nanti jamaah haji tiba gilirannya untuk berangkat, diharapkan kekurangannya tidak terlalu besar. Jadi, memang tidak tepat kalau nilai manfaat dihabiskan untuk "mensubsidi" jemaah haji yang berangkat lebih awal. BPKH sudah mulai membenahi pengelolaan dana haji tersebut.
"Tugas kita semua untuk mengedukasi masyarakat. Sebenarnya berapa besar total biaya per jamaah. Kemudian berapa nilai "tabungan haji" sejak setoran awal hingga jamaah haji mendapat giliran untuk berangkat,” kata Agus.
Agus mengatakan, kekurangannya itulah yang mestinya dibayar masing-masing jamaah haji. Memang perlu waktu untuk melakukan pembenahan. Selain itu, BPKH juga terus berupaya untuk tidak sekedar menempatkan dana haji dalam bentuk deposito yang nilai manfaatnya relatif rendah.
BPIH mencapai Rp 70,6 juta per orang pada tahun lalu. Biaya tersebut diambil dari Direct Cost dan Indirect Cost. Direct Cost merupakan biaya yang dibayarkan langsung oleh calon jemaah haji. Sedangkan, Indirect Cost diambil dari investasi dan pengelolaan uang.
Sudah tiga tahun terakhir, BPIH tidak mengalami penyesuaian. Padahal, setiap tahun biaya real haji terus naik yang dipengaruhi oleh inflasi, fluktuasi mata uang, biaya penerbangan, makan, penginapan, dan lain-lain. Jika tahun ini tidak ada penyesuaian BPIH, maka dikhawatirkan akan memberatkan beban Indirect Cost atau subsidi nilai manfaat.
Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan akan mengupayakan tidak ada kenaikan untuk besaran BPIH tahun ini. Fachrul memastikan, meski ada kenaikan biaya komponen haji yakni pesawat dan visa, jamaah haji tetap membayar sebesar biaya haji tahun sebelumnya.
Karena itu, Fachrul mengatakan, pembahasan tentang BPIH 2020 saat ini sedang dibahas berikut penambahan pelayanan haji. Ia memastikan penetapan akan dilakukan segera setelah selesai. [yy/republika]Artikel Terkait:
Anggota DPR Tolak Pemangkasan Uang Saku Jamaah Haji 2020
Anggota DPR Tolak Pemangkasan Uang Saku Jamaah Haji 2020
Fiqhislam.com - Anggota Komisi VIII DPR RI Muhammad Fauzi menolak rencana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk memangkas uang saku jamaah haji tahun 2020. Usulan ini belum pernah dibahas secara resmi di Komisi VIII DPR.
Fauzi mengatakan sebelumnya BPKH dan Kemenag telah berkomitmen untuk meningkatkan layanan dan tidak menaikkan biaya haji. “Ini sama saja mempermainkan jamaah kalau ada usulan seperti itu. Di satu sisi biaya tidak kita naikkan tapi uang saku yang mau dipotong,” kata anggota fraksi Partai Golkar ini, Jumat (17/1).
Dijelaskannya, rencana tersebut memang masih bersifat wacana. Pernah ada pembahasan secara resmi di komisi VIII. “Saya pribadi dan saya yakin juga teman teman di komisi VIII akan menolak rencana ini. Sebab tidak sesuai dengan semangat kita menaikkan layanan ke jamaah haji,” ungkap Fauzi.
Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Kemenag, Maman Saepulloh, beberapa waktu lalu menyampaikan beberapa alasan pengurangan jatah uang saku. Salah satunya karena alasan penambahan fasilitas makan untuk jamaah.
Tahun lalu jamaah haji mendapat 40 kali katering makan selama di Makkah. Sedang tahun ini jamaah mendapatkan 50 kali jatah makan. Jadinya penambahan katering itu, otomatis menambah biaya perjalanan ibadah haji. “Inikan baru usulan dan masih akan dibahas bersama dengan DPR. Untuk mengurangi BPIH, usulan pengurangan ini akan dimasukkan. Agar tak ada kenaikan,” paparnya. [yy/ihram]Artikel Terkait: