Kenali Kembali Karakteristik Ekonomi Islam
Fiqhislam.com - Ekonomi Islam merupakan salah satu jenis perokonomian yang kini telah digunakan oleh banyak orang. Sistem yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam ini adalah salah satu perokonomian terbaik untuk menghindari adanya ketidak sesuaian dengan ajaran Islam. Sehingga, ekonomi Islam dipercaya kebersihannya dari segala hal yang mengandung hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari sini bisa dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam.
1. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya memberi kepuasan pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” (QS. Al Baqarah: 30). Kemudian dilanjutkan dengan ayat, “Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,” (QS. Hûd: 61). Ditambah lagi dengan firman-Nya, “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya,” (QS. Al Hadid: 7).
Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi Islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.
2. Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.
3. Fleksibilitas (murûnah)
KAIDAH-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam agama dan furu’nya (cabang), (Ibid, hal. 57). Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada (Hukum-hukum fiqh tidak akan pernah lepas dari wajib, mandub, haram, makruh, mubah).
Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islam-lah yang menyesuaikan keadaan, dan bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan zaman, (Dr. Rif’at Audhy, Mausu’ah al Hadhoroh al Islamiyah atas naungan Dr. Mahmud Hamdy Zaqzuq, dengan judul at Tasyri’ al Iqtishâdy , al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet. 2005, , hal. 280).
Dr. Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan ahkam taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al ‘afwu dalam hadis Rasul,
وما سُكّت عنه فهو عفو
Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan oleh Allah tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang oleh-Nya, (Dr. Rif’at Audhy, ibid, hal. 276).
Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
4. Keseimbangan (tawâzun)
ISLAM dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebagaimana tersirat dalam firman Allah surat al Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” Dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian, sesuai firman Allah, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,” (QS. Al A’raf: 96). Serta keseimbangan antara boros dan kikir, hal itu bisa dilihat dari firman Allah, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian,” (QS. Al Furqan: 67). Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya, seperti yang diperintahkan oleh Allah tentang masalah perniagaan di hari Jum’at dalam firman Allah, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung,” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi, (Dr. Muhammad Syauqi Finjary, ibid, dengan judul al Hurriyah al Iqtishodiyah, hal. 306).
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda dengan Islam yang mengatur hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah, (Menurut Dr. Finjary, terkadang kedudukan negara bisa menjadi fardhu kifayah seperti pada permasalahan perbaikan jembatan. Dan bahkan terkadang menjadi fardhu ‘ain seperti di saat ketiadaan lembaga pendidikan dan lembaga kesahatan. Lihat kembali ibid, hal. 308).
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin, sesuai dengan firman Allah surat al Hasyr ayat 7, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
5. Keuniversalan (‘âlamiyyah)
KONSEP keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, al-Qur’an surat al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun 2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama L’osservatore Romano edisi 6 Maret 2009. Diantara kalimat yang tertera pada surat kabar tersebut adalah “Pendidikan mental dan akhlaq yang mana Islam berkonsentrasi di dalamnya memiliki pendekatan antara bank dan nasabah dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Ditambah lagi dengan prinsip-prinsip kokoh perbankan yang mempunyai spirit khusus, dimana seharusnya dimiliki setiap lembaga keuangan.”
Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis. Kalimatnya berbunyi seperti ini “Sepertinya pada masa krisis ini kita membutuhkan untuk lebih banyak membaca Qur’an ketimbang Injil untuk memahami apa yang terjadi dengan bank-bank kita. Karena andai saja para ekonom dan bankir kita memperhatikan apa yang tersirat dari ajaran-ajaran serta hukum Qur’an tidak akan terjadi bencana serta krisis seperti yang kita jumpai sekarang. Karena uang tidak akan pernah melahirkan uang.” Hal itu tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le Journal des Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap untuk menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari pendapat dia tentang pentingnya penerapan hukum Islam di ranah perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru dunia.
yy/islampos