Bayar Pakai Kartu Kredit Termasuk Riba?
Fiqhislam.com - Pemakaian kartu kredit kini mendominasi setiap lini perdagangan dan bisnis. Namun, bolehkah transaksi seperti ini dalam tinjauan syariatnya? Benarkah model pembayaran kartu kredit mengandung unsur ribawi?
Sebelumnya, perlu dikaji terlebih dahulu mekanisme cara kerja kartu kredit. Ada tiga pihak yang bertransaksi, yakni pengguna kartu kredit, pihak yang mengeluarkan kartu kredit (bank), dan pedagang yang menjual dagangannya dengan model pembayaran kartu kredit.
Pertama, transaksi yang terjadi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (bank) dengan pengguna kartu kredit (nasabah) disebut dengan transaksi kafalah (jaminan). Pihak bank diistilahkan sebagai kafil (penjamin) dan nasabah adalah makful (yang dijamin).
Kafil bertanggungjawab membayar seluruh transaksi yang dilakukan nasabahnya dengan pihak pedangang. Hal ini diperbolehkan mayoritas ulama selain mazhab Syafi'iyah dengan istilah "dhoman ma lam yajib 'alaihi" (menjamin sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi kewajibannya).
Namun, tentu saja para ulama masih berselisih ketika membawakan istilah ini pada kartu kredit. Dari segi tujuan, istilah "dhoman ma lam yajib 'alaihi" ini hanya semata-mata untuk membantu dengan azas tolong menolong.
Misalkan, seorang anak membeli sesuatu di sebuah toko dan menjadikan orang tuanya sebagai kafil. Selanjutnya, orang tuanya datang membayar semua barang-barang yang dibeli anaknya dari toko tersebut. Hal ini diperbolehkan karena tidak berorientasi pada keuntungan.
Berbeda dengan model transaksi kartu kredit. Pihak bank tentu ingin mengambil keuntungan. Misalnya, biaya bulanan/ tahunan dari kartu kredit, denda keterlambatan pembayaran tagihan kartu kredit, dan biaya-biaya lainnya. Disanalah pihak bank mengambil keuntungan.
Pakar fikih kontemporer lulusan Universitas Al Azhar Mesir, Dr Ahmad Zain An-Najah MA mengatakan, biaya yang dikeluarkan sebagai pengguna kartu kredit masih dipandang boleh oleh para ulama, selama masih dalam kategori wajar.
Misalkan, upah pembuatan kartu, biaya administrasi, dan sebagainya. Masalahnya, ketika pengguna kartu kredit menunggak dalam tagihannya. Kebanyakan bank memberlakukan bunga sebagai hukuman karena telat membayar.
Menurut Ahmad Zain, jumlah tagihan kartu kredit yang dibayar nasabah kepada bank harus sesuai dengan nilai barang yang ia beli dari pedagang, atau jasa yang ia manfaatkan dengan pembayaran kartu kredit.
Jika pihak bank mensyaratkan imbalan dari jasa atau jaminan yang diberikannya, disanalah jatuhnya riba.
Demikian juga bunga karena nasabah tidak melunasi tagihan kartu kreditnya lewat dari jatuh tempo atau menunggak. Tidak diragukan lagi, nasabah kartu kredit sudah jatuh pada praktik ribawi.
Mazhab Hanabilah menyebutkan, jika seorang nasabah kartu kredit yakin tidak akan menunggak tagihan kartu kreditnya kepada pihak bank, dan selama menjadi nasabah, memang dia selalu membayar tagihan kartu kredit tepat waktu, maka dia selamat dari riba.
Ketentuan yang dikeluarkan bank berupa bunga keterlambatan pembayaran yang menjadi riba tersebut tak akan terjadi jika nasabah tidak terlambat membayar tagihan. Jadi, selama praktik riba tersebut bisa dihindari, maka hukum transaksi tersebut tidak bisa disebut riba.
Selanjutnya, transaksi yang terjadi antara pihak bank dengan pedagang. Transaksi ini diistilahkan dengan hiwalah, yakni berpindahnya kewajiban untuk melunasi barang tersebut kepada pihak kafil, yakni bank. Sabda Rasulullah SAW, "orang yang menjamin adalah orang yang berhutang." (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Jadi wajib baginya untuk melunasi hutang orang yang ia jamin, yaitu nasabah.
Lantas, bolehkah pihak bank mengambil keuntungan sebagai kafil atau penjamin dari transaksi antara pedagang dan nasabahnya? Misalkan, diskon barang yang dibeli nasabah. Jadi pihak bank tidak membayar penuh harga yang dibeli nasabah.
Para ulama mengatakan, jika keuntungan pihak bank sebagai biaya administrasi atau upah dari jasa pengambilan uang dari nasabah, ini diperbolehkan. Namun, jika keuntungan yang diambil bank sebagai upah dari jasanya sebagai penjamin, kemudian upah dari jasanya yang telah membantu pedagang mencarikan pelanggan, maka hal ini tak bisa lagi disebut kafalah.
Pihak bank sudah berfungsi sebagai broker (samsarah). Ini diperbolehkan, tetapi sudah keluar dari model kafalah menjadi transaksi ijarah.
Jadi, bagaimanakah tuntunan syariat agar para pengguna kartu kredit tidak jatuh pada transaksi yang diharamkan?
Pihak bank biasanya selalu menerapkan denda jika tagihan kartu kredit menunggak. Jadi, pengguna kartu kredit disyaratkan harus benar-benar yakin bahwa ia sanggup secara finansial untuk melunasi tagihan kartu kredit sebelum jatuh tempo.
Namun, bagi bank penyedia kartu kredit yang tidak memberlakukan denda keterlambatan pembayaran tagihan, tentu hal ini boleh-boleh saja secara syariat.
Bagi umat Islam yang ingin menggunakan kartu kredit, diimbau untuk berhati-hati dan mempelajari dengan seksama aturan-aturan yang diterapkan bank penyedia jasa kartu kredit.
Yang terpenting, jangan terburu nafsu untuk berbelanja dengan kartu kredit. Perhatikan kemampuan finansial untuk melunasi tagihannya. Ciri seorang muslim adalah ihtiyath (kehati-hatian) kepada hal-hal yang menjatuhkannya pada yang haram. Wallahu'alam. [yy/republika]