pustaka.png
basmalah2.png


28 Jumadil-Awwal 1445  |  Selasa 12 Desember 2023

Apa Bukti Ketangguhan Sistem Keuangan Islam?

Fiqhislam.com - Krisis ekonomi ini merupakan salah satu bukti yang nyata bagi orang yang berakal bahwa akal manusia tidak mampu mengatur sistem kehidupan manusia. Akal tidak mampu menentukan baik-buruk, halal-haram, hasan-qabih. Andaikan akal mampu menentukan hal-hal tersebut dan mampu mengatur sistem kehidupan manusia, tentu Allah SWT tidak akan menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Rasulullah Muhammad SAW untuk manusia.

Setidaknya ada tiga cacat paradigmatik ekonomi kapitalis yang menyebabkan negara-negara yang menerapkan sistem ini harus masuk ke lingkaran krisis ekonomi:

Pertama, tujuan ekonomi kapitalis bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memuaskan keinginan manusia berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Disamping itu, keinginan manusia yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai Illahiyah, sifatnya menjadi tak terbatas. Sementara itu, kapasitas alam dan teknologi dalam menghasilkan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia berupa barang dan jasa berbeda di setiap negara dan ada batasnya.

Berdasarkan hal itu, mereka memandang kelangkaan alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal, sejatinya masalah ekonomi terletak pada distribusi alat pemuas di antara warga dunia yang selama ini tidak adil.

Para kapitalis hanya mengutamakan kepentingan individu atau kelompoknya dengan menindas pihak lain yang lemah. Filosofi hidup inilah yang mendasari perilaku liar, curang, dan jahat para investor keuangan dan korporasi multinasional AS, Eropa, dan negara-negara kapitalis lainnya.

Kedua, kehidupan kapitalisme modern digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan, bukan ekonomi berbasis sektor riil. Karena itu, keuntungan ekonomi diperoleh bukan dari aktivitas investasi dan usaha produktif dengan menghasilkan berbagai barang dan jasa, tetapi investasi spekulatif dan transaksi derivatif berisiko tinggi yang mengandung unsur MAGHRIB (MAysir/judi, GHarar dan RIBa).

Dengan kata lain, sistem kapitalisme menangguk keuntungan bukan melalui kreativitas dan kerja keras, melainkan melalui kegiatan ekonomi nonriil. Tak heran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pun tidak berkualitas, hanya sedikit menyerap tenaga kerja, dan menguntungkan kelompok atas yang umumnya tinggal di perkotaan.

Dalam buaian ekonomi berbasis moneter inilah, kapitalisme tak mungkin lepas dari praktik bunga (riba). Padahal perbedaan tingkat suku bunga yang signifikan antar negara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi uang panas. Aliran uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan berlangsung sangat cepat, selama ini menjadi biang kerok terjadinya kepanikan finansial yang acap kali berujung pada krisis ekonomi.

Ketiga, uang kertas yang menjadi basis ekonomi kapitalis sangat rapuh karena selalu terkena inflasi permanen. Uang kertas terdepresiasi akibat inflasi permanen. Uang kertas juga jauh dari keadilan, lantaran nilai intrinsiknya jauh lebih kecil ketimbang nilai nominalnya.

Adapun ketangguhan sistem keuangan Islam, antara lain :

Pertama, Menggerakkan Ekonomi Riil

Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi– yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor riil dan sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil. Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar secara luas .

Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain (non riil seperti pasar uang maupun pasar modal) dilarang dalam syariah . Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut juga akan dialirkan ke sektor riil bisa dalam bentuk kerjasama (syirkah Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh, Mufawadhah) , sewa menyewa maupun transaksi perdagangan halal di sektor riil lainnya .

Walhasil, tiap individu yang memiliki lebih banyak kelebihan uang bisa ia investasikan di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan judi secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

Kedua, Menciptakan Stabilitas Keuangan Dunia

Dengan diterapkannya sistem keuangan Islam (mata uang Islam dinar dan dirham, larangan riba dan penerapan ekonomi berbasis sektor riil yang melarang spekulatif di pasar keuangan derivatif ) akan tercipta stabilitas keuangan dunia. Setelah lebih dari 14 abad daya beli/nilai tukar Dinar memiliki nilai yang tetap. Hal ini terbukti dengan daya beli 1 Dinar pada zaman Rasulullah SAW yang bisa ditukarkan dengan 1 ekor kambing. Pada saat inipun 1 Dinar dapat ditukarkan dengan 1 ekor kambing (1 Dinar sekarang sekitar Rp 800.000) (Iqbal, 2007, hal. 55) .

Ketiga, Tidak Mudah diintervensi asing/mandiri

Negara yang menerapkan sistem keuangan Islam secara komprehensif -sebagaimana telah diuraikan – harus melaksanakan politik swasembada; mengurangi (meminimkan) impor; menerapkan strategi substitusi terhadap barang-barang impor dengan barang-barang yang tersedia di dalam negeri; serta meningkatkan ekspor komoditas yang diproduksi di dalam negeri dengan komoditas yang diperlukan di dalam negeri ataupun menjualnya dengan pembayaran dalam bentuk emas dan perak. atau dengan mata uang asing yang diperlukan untuk mengimpor barang-barang dan jasa yang dibutuhkan.

Dengan kondisi negara yang menerapkan sistem keuangan Islam global yang komprehensif menjadikan negara kuat dan mandiri. Niscaya hal tersebut akan menjadikan negara tidak mudah diintervensi oleh pihak asing .

Keempat, Tidak Menzalimi

Pada masa Khalifah Umar bin Khathtab, jazirah arab dilanda musim paceklik berkepanjangan sehingga penduduk daerah itu membutuhkan bahan makanan dalam jumlah besar. Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khathtab meminta bantuan gubernur Amru bin Ash yang berada di daerah Afrika, respon Al-Ash terlihat dari suratnya yang isinya memberitahukan kepada Khalifah bahwa ia telah mengirimkan unta (yang memuat bahan makanan) yang (jumlahnya ibarat) rombongan pertamanya ada di Khalifah (Madinah), sedangkan rombongan terakhirnya ada di Al-Ash (Mesir, Afrika). Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat . Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (sekitar Rp 8,5 juta/bulan) .

Sebaliknya, ketika masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Saad diutus Khalifah untuk mendistribusikan dana zakat di kas negara (baitul mal) untuk rakyat Afrika Utara namun beliau tidak menemukan seorang pun fakir miskin yang berhak menerima zakat dari kas negara itu .

Peristiwa ini menggambarkan bahwa di dalam sejarah sistem Islam (diterapkannya sistem keuangan Islam) dalam naungan khilafah, tidak ada penduduk Afrika yang fakir-miskin, tidak pernah ada yang terdzalimi. Namun sebaliknya, kita perlu mempertanyakan, mengapa negeri-negeri Afrika merasakan penderitaan, kemiskinan dan kesenjangan yang luar biasa sejak negara-negara imperialis Eropa menjajah berbagai negeri di Afrika (abad ke-18) sampai sekarang akibat kedzaliman para penguasa komprador yang patuh melaksanakan sistem keuangan kapitalis arahan negara-negara imperialis barat ?

Berdasarkan uraian tersebut, sistem Keuangan Islam mustahil dilaksanakan oleh individu atau sekelompok masyarakat saja. Kita tidak mungkin berharap negara kapitalis sekuler akan menerapkan sistem keuangan Islam tersebut. Hanya institusi negara khilafah yang mampu menerapkan sistem keuangan Islam secara komprehensif.

Berdasarkan Kaedah : “Ma la Yatimmul Wajib Illa bihi fa huwa Wajib” (Ketika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib), maka menjadi kewajiban kita bersama untuk mendirikan negara Khilafah Rasyidah yang mengemban dan menerapkan syariah Islam (termasuk sistem keuangan Islam), yang akan menghidupkan kita dalam kehidupan yang indah, aman dan menenteramkan dalam limpahan keberkahan Allah Azza Wajalla.

Namun, Allah tidak pernah menurunkan malaikat yang akan mendirikan negara untuk kita, sementara kita hanya berdiam diri. Justru mendirikannya merupakan kewajiban agung bagi kita. Rasulullah saw. telah mendirikan negara di Madinah, dan langkah baginda pun kemudian diikuti oleh para sahabat baginda, dan para tabiin, dengan sempurna.

jurnal-ekonomi.org