Hukum Kartu Kredit Dalam Jual Beli
Definisi Kartu Kredit Secara Terminologis:
Kartu kredit yaitu: kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.
Kalau kita terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman. Atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman.
MACAM-MACAM KARTU KREDIT
Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerja sama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:
1. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
Di antara keistimewaan paling menonjol dari kartu ini adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.
2. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.
PENDUDUKAN MASALAH SECARA FIQIH SEPUTAR KARTU KREDIT
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.
Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita ulas secara berurut sebagai berikut:
Pertama: Kaitan Antara Kartu Tersebut Dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya Dalam ‘Transaksi Pengeluaran Kartu’.
Banyak sudah kajian fiqih seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang mengeluarkannya, atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk berhubungan dengan pihak lain.
Kemungkinan gabungan antara jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan, kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan penjamin dalam arti sesungguhnya.
Kedua: Hubungan Antara Kartu Ini Dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak Pedagang.
Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak yang mengeluarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraan kartu tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang mengeluarkan kartu itu dalam hubungannya dengan jual beli. Jadi yang dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan kepada nasabah untuk dijual. Jual beli ini mirip dengan jual beli dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta dibelikan barang.
Kemungkinan pendudukan masalah paling menonjol terhadap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah pendudukan masalah yang membuka peluang disyariatkannya transaksi atau pendebatan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara di sini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang memberikan jaminan. Adapun upah dalam sistem jual beli dengan penjaminan, dibolehkan dalam kondisi apapun.
Ketiga: Hubungan Antara Pemilik Kartu dengan Pedagang
Hukum Kartu Kredit (Credit Card)
Oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
1. Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Di Amerika terdapat semacam transaksi antara orang-orang yang ikut tergabung dalam transaksi sebagai pihak pertama dan perusahaan penyelenggara sebagai pihak kedua. Transaksi ini berisi.
1). Perusahaan akan mengeluarkan kartu yang memuat nomor dan nama peserta, di mana seseorang dapat menggunakan kartu ini di berbagai tempat bisnis (merchant) untuk membayar barang yang dibeli. Demikian juga untuk pembayaran di rumah makan dan hotel. Juga bisa untuk membeli tiket pesawat dari perusahaan penerbangan, dan lain-lain. Selanjutnya, pihak yang menarik bayaran dengan memakai kartu ini akan mengirimkan rincian tagihan ke perusahaan yang mengeluarkan kartu tersebut, untuk kemudian membayarkan tagihan bagi pemegang kartu.
2). Pada akhir bulan, perusahaan yang mengeluarkan kartu ini akan memberikan laporan kepada pemegang kartu dan meminta darinya untuk membayar seluruh tagihan yang harus dia bayar selama satu bulan dan juga tagihan yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pemilik tempat-tempat perdagangan.
3). Perusahaan yang mengeluarkan kartu juga meminta kepada pemegang kartu untuk membayar tagihan yang harus dia bayarkan selama 1 bulan berlangsung dalam masa maksimal 15 hari dari tanggal pengiriman fakur tagihan. Jika dia tidak membayar selama masa 15 hari tersebut, maka pihak perusahaan akan mengirimkan faktur tagihan untuk yang kedua kali dengan tagihan yang sama dan yang belum dilunasinya dengan tambahan nilai 10 dolar, sebagai denda keterlambatan. Dan jika setelah pengiriman faktur yang kedua ini pemegang kartu belum melunasinya, maka pihak perusahaan akan mengirimkan faktur untuk yang ketiga kali dan terakhir kalinya, serta meminta kepadanya supaya melunasi tagihannya dengan tambahan senilai 2,5% dari dana tagihan sebagai denda keterlambatan, sebagaimana perusahaan juga akan membatalkan perjanjian dan menarik kartu dalam keadan ini.
4). Masa perjanjian itu berlangsung selama setahun. Bagi pemegang kartu harus membayar iuran tahunan sebesar 30 dolar sebagai biaya keikutsertaan dan penerbitan kartu untuknya.
5). Pembayaran atas faktur yang dikirimkan itu dalam bentuk mata uang Amerika (dolar). Jika seorang pemegang kartu menggunakan kartu di luar Amerika, maka perusahaan akan mengirimkan faktur tagihan dalam bentuk mata uang Amerika. Hal itu dengan cara memindahkan nilai tagihan dalam bentuk mata uang negara lain ke dalam mata uang Amerika (dolar). Dan nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar pada hari dikirimkannya faktur tagihan kepadanya, bukan dengan nilai tukar pada hari digunakannya kartu untuk pembelian di luar Amerika. Dan perusahaan juga meminta supaya pemegang kartu membayar tagihan dengan dolar dengan tambahan nilainya 1%, sebagai ongkos transfer dan penukaran mata uang.
6). Bagi masing-masing pihak boleh membatalkan akad kapan pun setelah adanya pemberitahuan dari pihak yang akan membatalkan.
Kami mengharapkan kemurahan hati Anda untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah akad ini boleh atau tidak ? Jika boleh bagi orang muslim untuk ikut serta dalam akad ini, kami mengharapkan penjelasan spesifikasi akad ini dan sebab-sebab kebolehannya. Dan apakah ia merupakan akad perwakilan, jaminan atau sewa menyewa antara seseorang dengan perusahaan yang mengeluarkan kartu? Dan jika tidak boleh, kami tetap mengharapkan penjelasan mengenai sebab yang menjadikan akad itu gugur dan batal.
Jawaban:
Jika masalahnya seperti yang disebutkan di atas, maka tambahan yang diambil perusahaan merupakan salah satu bentuk riba, sehingga tidak diperbolehkan untuk mengambilnya, karena riba itu diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Akad ini jika tanpa bunga, maka ia termasuk akad jaminan. Dan jika memakai bunga saat pemegang kartu melakukan keterlambatan, maka akad tersebut tidak diperbolehkan.
Demikian juga dengan pembayaran tahunan 30 dolar untuk iuran keikutsertaan, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu merupakan pengambilan ongkos untuk suatu jaminan.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
2. Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Kartu Kredit (Credit Card) diberikan oleh beberapa perusahaan dengan pinjaman tertentu yang bisa diajukan ke pihak mana pun juga, di mana seseorang bisa mengambil dana yang ada pada kartu tersebut. Kemudian bank yang akan membayar tagihan itu kepada perusahaan yang memberikan kartu dan mengambil yang menjadi haknya. Pinjaman ini dengan tenggang waktu tertentu yang disebutkan di dalam kartu. Jika pemegangnya membayar sebelum jatuh tempo maka tidak ada denda baginya. Dan jika terlambat maka dia harus membayar denda 1%. Dan sebagian perusahaan ada yang meberikan sejumlah uang atas pelayanan ini sebagai imbalan peberian kartu.
Jawaban:
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, yaitu adanya kesepakatan bahwa jika peminjam melunasi pinjaman sebelum jatuh tempo maka tidak akan dikenakan denda apapun adanya. Dan jika terlambat maka dia harus membayar tambahan 1% dari dana yang ada. Maka yang demikian itu termasuk akad yang berbau riba, di mana di dalamnya masuk riba fadhl, yaitu tambahan tersebut. Juga riba nasa’ yaitu pemberian penangguhan. Demikian juga dengan hukum, jika perusahaan membayar uang dan mengambil tambahan padanya sebagai imbalan atas pelayanan ini, bahkan yang kedua ini lebih jelas mengandung riba daripada yang pertama.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
3. Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Ada kartu yang dikeluarkan untuk memberikan kemudahan dalam aktivitas keuangan di negara-negara barat, dimana seseorang tidak perlu membawa uang tunai. Dengan kartu ini dia bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Kemudian pada setiap akhir bulan, dia akan mendapatkan faktur yang menjelaskan beberapa dana yang telah dibelanjakannya. Lalu dia akan melunasi semuanya tanpa bunga riba sedikitpun. Program ini memberikan perlindungan bagi setiap orang dari pencurian hartanya. Tetapi ada persyaratan untuk mengambil kartu ini, yaitu jika terjadi keterlambatan dalam membayar tagihan selama masa lebih dari 25 hari, maka mereka (pihak penyelenggara) berhak mengambil suku bunga riba dari setiap hari keterlambatan. Apakah boleh mengambil kartu seperti ini? Perlu diketahui, sangat mungkin untuk terjatuh ke dalam riba dengan melunasi faktur tagihan selama 20 hari itu.
Jawaban:
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka tidak dibolehkan berhubungan dengan mu’amalah tersebut, karena di dalamnya mengandung unsur riba dengan diberikannya persyaratan bunga yang harus dibayar nasabah atas dana yang harus dibayarkan oleh pemegang kartu jika melakukan keterlambatan
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’]
almanhaj.or.id
Hukum Utang Kartu Kredit
Adapun dalil Hadits adalah dari Adi Dzar yang mengatakan,”Aku bersama Nabi saw dan tatkala aku diperlihatkan Uhud, beliau saw bersabda,”Aku tidak ingin Uhud ini dirubah dengan emas serta masih ada padaku diatas tiga dinar kecuali satu dinar yang aku simpan untuk melunasi utangku.” (HR. Bukhori)
Islam meminta kepada orang yang berhutang dan memiliki kesanggupan membayar agar segera melunasinya hingga waktu yang telah disepakati pembayarannya karena penangguhan dalam hal ini adalah kezaliman sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman. “ (HR. Bukhori)
Penangguhan diperbolehkan jika orang yang berhutang tidak memiliki kesanggupan melunasinya sebagaimana firman Allah swt : “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 280)
Jika anda sudah berusaha keras untuk melunasi utang kepada pihak yang memberikan utang (bank) namun terus menemui jalan buntu, terlebih lagi anda sudah pastikan bahwa catatan utang anda di bank tersebut sudah terhapus maka anda dapat melunasinya dengan cara mensedekahkannya dengan memisahkan antara utang pokok dan bunga yang ada pada utang anda (jika anda mengetahuinya).
Untuk utang pokoknya anda bisa sedekahkan ke tampat-tempat kebaikan, seperti : masjid, pesantren, anak yatim, fakir miskin dan lainnya. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya harta yang ada pada manusia adalah milik Allah swt, sebagaimana firman-Nya,”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah (sebagian) dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadid : 7)
Adapun bunga yang ada pada utang anda adalah harta yang diharamkan Allah swt maka tidak bisa disedekahkan ke tempat-tempat kebaikan seperti diatas, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wahai manusia sesungguhnya Allah swt baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan orang-orang beriman yang mana juga telah diperintahkan kepada para Rasul dengan firman-Nya,”Wahai para Rasul makanlah oleh kalian yang baik-baik dan beramal sholehlah. Sesungguhnya Aku Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan.” Dan firman-Nya,”Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang telah Kami rezekikan kepadamu.’… (HR. Muslim).
Dari para ulama, termasuk Syeikh Yusuf al Qorodhowi, berpendapat bahwa bunga bank itu bukanlah milik si penabung juga bukan milik bank namun milik umum. Jadi bunga itu haruslah diberikan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat umum, seperti : pembangunan MCK, perbaikan sarana-sarana umum di sekitar rumah anda, keindahan taman umum, atau yang lainnya.
Tekad (niat) anda untuk membayar hutang mudah-mudahan menjadi bukti kesungguhan anda sehingga akan mendatangkan pertolongan dari Allah swt kepada anda termasuk pelunasan hutang anda kepada pihak bank.
Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa mengambil harta manusia dan ingin membayarnya, maka Allah akan (menolong) untuk membayarnya; dan barangsiapa mengambilnya dan ingin membinasakannya maka Allah akan (menolong) untuk membinasakannya.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits diatas didalam bukunya “Fathul Bari” mengatakan : “Apabila seorang berniat untuk membayar dengan apa yang akan dianugerahkan Allah kepadanya, maka hadits tersebut telah menyatakan bahwa Allah akan menolongnya untuk membayar hutangnya baik dibukakan rezeki kepadanya di dunia atau Dia menanggungnya di aktherat.” (Fathul Bari juz V hal. 62) Wallahu A’lam.
Ust. Sigit Pranowo | eramuslim.com