Islam memberikan solusi dalam menjaga kekayaan alam negara bagi kemakmuran rakyat.
Pangkal persoalan berkuasanya VOC gaya baru di Indonesia adalah regulasi. Mereka bisa leluasa menjalankan aksinya karena didukung oleh legalisasi aturan yang menguntungkan mereka. Apalagi bukan rahasia jika draft aturan perundang-undangan yang kini menjadi UU adalah hasil kerja VOC tersebut.
Suatu yang sulit menghilangkan dominasi asing bila tidak ada perubahan regulasi secara fundamental. Hanya pertanyaannya, mungkinkah regulasi tersebut diubah 'melawan' dominasi sementara para penguasa dan wakil rakyat telah ikut merasakan 'nikmat' adanya regulasi tersebut? Dan ini bagi penguasa adalah sebuah bahaya karena VOC bisa menjatuhkannya seperti yang terjadi pada Soekarno maupun Soeharto.
Solusi Islam
Memang harus ada perubahan regulasi secara mendasar terkait penguasaan itu sendiri. Bolehkah harta/barang yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada individu atau perusahaan swasta? Dalam hal seperti ini, Islam memiliki jawaban yang sangat jelas. Islam mengatur persoalan kepemilikan secara tegas.
Islam membedakan kepemilikan menjadi tiga yakni milik pribadi; milik umum; dan milik negara. Pribadi/swasta tidak boleh memiliki milik umum atau milik negara.
Kepemilikan umum mencakup: pertama, fasilitas umum; meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebabkan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan; Kedua, barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll. Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi; meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.
Pengelolaan milik umum sepenuhnya dilakukan oleh negara sebagai wakil umat. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Ada prasyarat dalam pengelolaan harta/barang milik umum ini yakni semaksimal mungkin tidak menimbulkan kerusakan baik lingkungan, ekosistem maupun sosial.
Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal Al Mazini. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.
Berdasarkan hadits tersebut, diperbolehkan individu menguasai area tambang jika luas dan depositnya sedikit. Hasil eksploitasi barang tambang yang diperoleh individu tersebut dikenakan khumus atau seperlimanya untuk dimasukkan ke dalam Baitul Mal (kas negara) sebagai bagian dari harta fai.
Sebaliknya, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas tidak boleh dikuasai individu karena termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api.” (HR Abu Dawud). Hadits ini juga menegaskan, yang termasuk harta milik umum adalah sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya.
Dengan demikian, penguasaan sumber daya alam di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada kemananan penyediaan komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian negara, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum.
Kalau negara membatasi demikian rupa kepemilikan, maka tidak akan ada perusahaan multinasional yang akan seenaknya masuk layaknya VOC. Jika negara membutuhkan mereka dalam hal tertentu seperti eksploitasi misalnya, mereka hanyalah sebagai operator yang dikontrak.
Itu pun masih dibatasi oleh hubungan diplomatik antar negara. Islam memandang tidak boleh ada hubungan sama sekali dengan negara yang memusuhi umat Islam. Haram mengadakan hubungan dengan mereka termasuk dengan perusahaan-perusahaannya.
Pengaturan seperti itu tidak ada dalam sistem ekonomi liberal yang berlaku sekarang. Batas kepemilikan tidak jelas. Pembatasan kepemilikan terhadap suatu barang hanya ditentukan oleh kemampuan individu. Walhasil, siapa yang kuat dialah yang bisa menguasai barang apapun. Sedangkan yang lemah tersingkir. Inilah yang menyebabkan munculnya eksploitasi manusia atas manusia lainnya.
Walhasil, kehancuran ekonomi yang terjadi sekarang sebenarnya sangat jelas sumbernya yakni sistem kapitalisme-sekuler itu sendiri yang meliberalkan sektor ekonomi. Islam tidak ada andil sedikitpun dalam kerusakan ekonomi tersebut. Justru Islam menawarkan solusi bagi penyelesaian masalah itu.
Hanya saja, sistem ekonominya Islam akan mampu menyejahterakan umat—baik Muslim maupun non Muslim—di bawah naungan khilafah yakni
negara yang menerapkan Islam secara kaffah. [mujiyanto]
Diatur Syariah, Pendapatan Melimpah
Dominasi asing menyebabkan kekayaan alam Indonesia mengalir ke luar negeri. Rakyat Indonesia hanya mendapatkan sisanya. Andai saja, semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola sendiri oleh negara, hasilnya akan lain.
Dengan produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd) dan asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp 202 trilyun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10 persen dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 trilyun. Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal (kas negara).
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25 persen harga minyak. Nilainya sekitar Rp 297 trilyun atau nett profitnya sekitar Rp 268 trilyun.
Produksi batubara setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak. Nilainya sekitar Rp 212 trilyun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Trilyun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 trilyun setahun, dan ini baru 20 persen dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp 30 trilyun per tahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 ton emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain- lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp 50 trilyun per tahun. Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 691 trilyun.
Untuk produksi laut, menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 milyar atau Rp 738 trilyun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen, maka ini sudah sekitar Rp 73 trilyun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan Indonesia sekitar 100 juta hektar. Siklusnya 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, minimalnya ada 400 pohon, berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profitnya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 trilyun. Itu belum termasuk hasil hutan lainnya.
Jumlahnya fantastis. Indonesia tak perlu utang dan memeras rakyat lewat pajak.
mediaumat.com