Metaverse dalam Perspektif Fiqih
Fiqhislam.com - Teknologi digital kini memasuki fase baru yang disebut dengan metaverse. Suatu pergeseran teknologi ke alam virtual reality (VR). Lewat alam imaji ini, aktivitas manusia dapat berpindah dari dunia nyata ke dunia fiksi.
Meski dapat memudahkan aktivitas manusia, hadirnya metaverse ini sejatinya merupakan pedang bermata ganda. Selain menghadirkan kebermanfaatan, kehadirannya juga bisa membuka ruang mudharat.
Bagaimana kemudian perspektif fikih muamalah di alam metaverse ini? Wartawati Republika Imas Damayanti mewawancarai Pendiri Rumah Fikih Ustaz Ahmad Sarwat Lc melalui aplikasi WhatsApp. Berikut kutipannya
Bagaimana alam metaverse dalam perspektif Islam?
Apa yang disebut sebagai metaverse sebenarnya kita sudah melaksanakannya. Hanya belum 100 persen, hanya parsial saja lah. Ketika kita main Youtube, bermedsos, itu alam maya.
Kita sudah belanja dan meeting online, pada prinsipnya ini metaverse. Tapi kenapa metaverse ini rada unik, karena kan orang main game misalnya bukan lagi 3D tapi dia sudah pake VR kan, virtual reality, sehingga dia seolah-olah merasa ada di situ.
Nah, dalam beberapa konsep gim realistis itu kita masukkan sesuatu yang lebih realistis yang lebih nyata. Misalnya kita masuk ke perpustakaan terus milih-milih buku secara VR. Nah yang seperti gitu-gitu tuh bukan sesuatu yang mustahil. Bagaimana hukumnya? Ya pasti banyak dampaknya? Penipuan online kan banyak. Anonomitas kan juga rawan.
Kita punya avatar-avatar di alam metaverse, apakah robot atau gimana itu kan? Tapi kalau misalnya ada peraturan ketat, misalnya kita kan tiap hari bermuamalah dengan bank nih, kita mengelola uang kita secara virtual kan dan kita mulai bertransaksi. Itu menurut saya metaverse yang sudah sangat secure.
Nah ke depannya kalau kita mau bicara metaverse yang lebih benar maka harus ada enkripsi yang lebih bagus. Jadi kalau metaverse ini mau dihidupkan ya nggak apa-apa. Cuma memang kalau mau dibicarakan sisi syariatnya, saya rasa hampir sama lah dengan syariat dan muamalah internet. Tapi kan di metaverse itu mungkin lebih rentan hoaks lah ya dibanding dengan alam yang realistis.
Bagaimana bermuamalah di alam metaverse?
Terkait bermuamalah di dunia metaverse yang paling realistis yang kita lihat sekarang tuh kita belum masuk ke sana. Kalau kita dengar-dengar sudah ada yang beli tanah di sana, ya nggak masalah. Ya bisa jadi kita memang pasang iklan dan punya tanah di sana itu sah-sah saja.
Dan gambarannya berdasarkan yang sudah terjadi saja, (kalau) ada yang melanggar pasti banyak. Seperti UU ITE kan, mengawasi itu kan.
Cuma bedanya gini saja, di metaverse itu semuanya sudah realistis. Tetapi akad-akad muamalah bisa dengan sangat mudah terjadi, hukumnya hampir mirip-mirip dengan yang sudah ada di internet saat ini.
Ibaratnya kan gini deh, di SD kan kita sudah main game tuh, nah sekarang game-nya sudah kelasnya bagus sekali, kecanggihan teknologi ini seolah-olah dunia baru, padahal sama saja (main game juga). Padahal ya memang itu nggak baru, kita tetap saja berinteraksi dengan orang, bukan dengan alien.
Semua hukum interaksi tentang muamalah tetap basisnya adalah fikih muamalah. Cuma yang harus dijaga adalah security-nya, jangan sampai ada jahalah (ketidakjelasan akad), gharar (mendatangkan kerugian transaksi), dan itu kerumitannya jauh lebih tinggi.
Di zaman nabi kan gharar tidak boleh jual janin unta. Sebatas itu saja. Nah kalau di kita lebih rumit.
Bagaimana jika promosi ziswaf muncul di metaverse?
Soal zakat ya, orang yang masuk ke alam metaverse itu yang Islam-Islam jarang ya menurut saya. Saat ini umat Islam adanya masih di medsos, dan jualan produk mengampanyekan lewat medsos itu masih sangat efektif, dan kalau metaverse masih belum banyak. [yy/republika]