Fiqhislam.com - Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim menolak usulan deklarasi halal mandiri. Menurut dirinya, jika hal tersebut dilakukan, sertifikasi halal seolah-olah sudah tidak memiliki pengaruh apapun.
‘’Makanya, itu harus diubah dulu UU JPH No 33 tahun 2014. Karena itu kan menyatakan bahwa sertifikasi halal adalah mandatori,’’ujar dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (9/7).
Dia menambahkan, maksud mandatori dalam sertifikasi halal merupakan pandangan yang tidak boleh membedakan lingkup usaha. Baik itu usaha mikro, kecil menengah dan lainnya.
Sambungnya, persoalan halal bagi pengusaha harus mengacu ke aturan tersebut. Terlebih, ketika tidak disebutkan secara spesifik usaha yang dimaksud. Sehingga UMKM pun ia sebut tak luput dari kewajiban sertifikasi halal.
‘’Lalu, halal itu kan masalah hukum, dan masalah itu sudah ada pakem dan ada tahapannya. Kalau sesorang menyatakan untuk dirinya sendiri ya mungkin bisa saja. Tapi, kalau untuk kepentingan lain ya ga bisa,’’ tambah dia.
Lukman menegaskan, deklarasi mandiri bahkan sebenarnya tidak bisa dilakukan. Utamanya, menyangkut keyakinan kandungan halal suatu produk. Oleh sebab itu, setiap pelaku usaha, termasuk tukang bakso dan buah, kata dia, juga diharapkan menggunakan sertifikasi halal.
Langkah itu ia sebut untuk mematuhi mandatori dari aturan halal. ’’Kalau mereka mendeklarasikan sendiri, ya itu seakan mereka menunjukkan tidak butuh sertifikasi halal,’’ tuturnya.
Dia menyatakan, sebagai hukum Islam, menghalalkan suatu hal harus mengacu pada hukum Islam. Salah satunya adalah melalui isbat hukum yang dilakukan lembaga islam, seperti MUI.
‘’Sekarang tanpa isbat hukum, itu namanya tahakum, menghukum-hukumi diri sendiri. Dan itu dilarang dalam agama Islam,’’ ucapnya.
Dirinya tak menampik, langkah dan maksud dari Menteri Agama Fachrul Razi memang ditujukan untuk memudahkan usaha mikro yang memiliki omset di bawah Rp 50 juta rupiah. Namun demikian, bukan dengan mendeklarasikan sendiri proses halal-nya suatu peroduk, kata dia.
‘’Pasti ada solusi, tanpa harus menggugurkan kaidah hukum itu sendiri. Dan secara hukum ini tidak bisa diterima,’’ ungkap dia. [yy/ihram]
UMK Bisa Deklarasi Halal Mandiri
UMK Bisa Deklarasi Halal Mandiri
Fiqhislam.com - Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menuturkan, memang harus ada kebijakan yang mengatur tentang nol risiko dan rendah risiko pada produk yang dikeluarkan Usaha Mikro Kecil (UMK). Sebab kata dia, jumlah UMK di Indonesia itu mencapai puluhan juta.
"Jumlah UMK itu total 64 juta dan masa berlaku sertifikasi ini 4 tahun. Maka 64 juta dibagi 4 tahun itu berarti ada 16 juta unit UMK per tahun," tutur dia kepada Republika, Kamis (9/7).
Sukoso menambahkan, jika satu UMK memiliki satu produk maka total produknya berjumlah 64 juta dan setiap tahunnya ada 16 juta produk yang harus disertifikasi halal. Dari 16 juta itu, jika dirinci kembali secara bulanan, berarti ada 1.330 produk dalam satu bulan yang mesti mendapat sertifikat halal.
"Bila mengikuti skema normal (sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal), kapan urusan sertifikasi ini selesai. Maka harus ada kebijakan yaitu yang zero risk dan low risk dilakukan self declare dengan mekanisme dan pembinaan serta pengawasan," kata dia.
Sukoso menjelaskan, mekanisme deklarasi halal secara mandiri bagi UMK itu ada di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang memang memuat beberapa pasal dalam UU JPH. "(Skema normal) ini kan diajukan untuk self declare di RUU Cipta Kerja," kata profesor bioteknologi kelautan dan perikanan Universitas Brawijaya itu.
Namun, Sukoso enggan menanggapi soal apakah deklarasi halal secara mandiri bagi UMK itu sudah boleh dilakukan. Mengingat, RUU Cipta Kerja sendiri masih belum rampung pembahasannya.
Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan bahwa ada beberapa jenis dagangan yang tidak perlu disertifikasi halal sehingga bisa langsung mendeklarasikan sendiri kehalalannya. Ini dia sampaikan dalam rapat dengan Komisi VIII DPR pada Selasa (7/7).
Fachrul menjelaskan itu saat menyinggung Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur sertifikasi halal. "Sebetulnya ada yang tidak perlu menunggu RUU Cipta Kerja, yaitu yang self declaration, atau deklarasi mandiri, untuk yang berisiko rendah dan juga zero risiko," ujar dia saat itu.
Contoh yang nol risiko itu, kata Fachrul, adalah penjual buah-buahan karena menurutnya tidak ada risiko apa-apa dalam dagangan tersebut. "Dia bisa mendeklarasikan langsung dia halal. Atau, yang risikonya rendah, sebagai contoh pisang goreng, minyaknya sudah jelas halal, pisangnya halal, maka dia bisa mendeklarasikan langsung bahwa dia tidak berisiko," terangnya. [yy/republika]Artikel Terkait: