pustaka.png
basmalah2.png


16 Jumadil-Awwal 1445  |  Kamis 30 Nopember 2023

Biasakan Berbuat Jujur

Fiqhislam.com - Satu dari tiga pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2011 adalah wanita dari Yaman bernama Tawakkul Karman. Di usianya yang baru 32 tahun ia menjadi salah satu peraih Nobel termuda sepanjang sejarah. Aktivis yang juga wartawati ini menjadi perhatian dunia atas perlawanannya pada rezim Presiden Ali Abdullah Saleh.

Tawakkul dikenal juga sebagai "Wanita Besi" atau "Ibu Revolusi" karena kegigihannya menegakkan demokrasi di negaranya. Sebagai wartawati, ia memperjuangkan kebebasan pers yang jujur tidak dikekang oleh penguasa. Sebagai perempuan, ia mendorong agar kaum perempuan lebih berperan dalam kegiatan pembangunan sehingga sejajar dengan kaum laki-laki.

Ia tak takut dengan ancaman penjara dan kematian atas gerakan yang ia gagas. Karena itu, keberanian, kejujuran, dan gerakan perdamaian yang ia jalankan telah menarik para juri Nobel untuk menempatkannya menjadi salah satu dari tiga pemenang Nobel Perdamaian 2011 bersama Presiden Liberia Ellen Johnson-Sirleaf dan aktivis Liberia Leymah Gbowee.

Tekanan berat sering kali membuat kita tak berani berbuat jujur. Tekanan berat itu bisa apa saja. Bisa berupa ancaman dari penguasa, penjahat, keadaan, atau hal lain, bisa juga datang dari ambisi yang membabi buta. Karena ingin cepat kaya dan untung besar, misalnya, ada pihak-pihak yang mengelabui konsumen dengan menyebutkan hal yang tidak sebenarnya mengenai produk atau layanannya. Karena ingin cepat kaya, ada pula orang yang berusaha mengelabui pemerintah, masyarakat, dan melakukan korupsi. Intinya, ketidakjujuran sudah menjadi masalah sehari-hari. Kita akan dengan mudah menemukan praktik-praktiknya di lingkungan kita.

***

Namun seberapa kecil pun suatu ketidakjujuran, tetap saja ketidakjujuran. Sebaliknya dengan kejujuran. Ada kata-kata bijak yang menyebutkan bahwa kejujuran adalah "mata uang" yang berlaku di mana-mana. Dengan kejujuran, hidup kita akan terbebas dari perasaan waswas, takut, dan cemas. Dengan kejujuran, kita akan menikmati kehidupan dengan tentram, damai, dan bahagia. Oleh sebab itu, mari biasakan berbuat jujur dalam keseharian kita.

Tim AndrieWongso
andriewongso.com
 

Tawakkul Karman, Perempuan Arab Pertama Raih Nobel Perdamaian

Tawakkul Karman, wartawati dan pegiat hak asasi manusia (HAM) asal Yaman, Jumat (7/10/2011), ditetapkan Komite Nobel meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2011. 

Tawakkul Karman (32) tercatat sebagai perempuan Arab pertama yang meraih hadiah bergengsi itu berbagi dengan dua perempuan pegiat Liberia, yaitu Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan pejuang perdamaian Liberia, Leymah Gbowee.    

Tawakkul dikenal penentang hebat rezim Yaman yang dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh, yang sedang menghadapi prahara politik di negeri paling selatan jazirah Arab itu.    

Sejumlah stasiun televisi Arab menunda sementara siaran regulernya untuk membuat breaking news pada Jumat saat Komite Nobel mengumumkan bahwa Tawakkul meraih Hadiah Nobel.    

Namun, televisi Pemerintah Yaman mengecam putusan Komite Nobel yang menganggap bahwa "pemberontak" itu tidak layak memperoleh Hadiah Nobel.    

Selain dikenal sebagai pegiat HAM, Tawakkul juga merupakan wartawati yang kritis. Ibu dari tiga orang anak itu pada 2005 mendirikan Perhimpunan Wanita Jurnalis Tanpa Belenggu.    

Dalam status terbarunya di jejaring sosial, Tawakkul menulis, "Kalian tak bisa membelenggu kebebasanku."    

Belakangan, perempuan berjilbab itu bergabung dengan Partai At Tajammu Al Yamani Lil Ishlah (Perhimpunan Yaman untuk Reformasi), oposisi utama Yaman.    

Perempuan pegiat HAM Mesir, Marwah Sameer, menyambut hangat penetapan Tawakkul sebagai penerima Hadiah Nobel. "Ini merupakan penghormatan terhadap dedikasi perempuan Arab," kata Marwah kepada jaringan televisi Nile TV. (kompas.com)


Tawakkul Karman dalam Revolusi Yaman

Memasuki bulan kesepuluh, gerakan revolusi di Yaman mendapatkan injeksi moral yang sangat luar biasa. Yaitu, terpilihnya Tawakkul Karman, aktivis revolusi Yaman, sebagai salah seorang penerima Nobel Perdamaian 2011 bersama Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowee. Tiga  sosok tersebut dinilai sebagai perempuan yang berjuang untuk mewujudkan revolusi damai.

Tawakkul Karman, 32, merupakan sosok yang sangat istimewa dalam revolusi Yaman yang dimulai pada Januari 2001.

Sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan Partai Islah, partai oposisi, Karman dikenal sebagai perempuan garda depan yang mengkritik Ali Abdullah Saleh, presiden Yaman. Bersama para aktivis oposisi yang lain, Karman berdemonstrasi di depan istana mendesak presiden Yaman meninggalkan kursi empuk kekuasaannya, mengikuti jejak para sahabatnya, yaitu Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir.

Demonstrasi yang dilakukan Karman bersama puluhan aktivis pro-HAM dan prodemokrasi tersebut direspons oleh Ali Abdullah Saleh dengan menangkap dan memenjarakan Karman. Sikap represif Saleh bukan menghentikan gerakan perlawanan di Yaman, melainkan justru menarik perhatian kalangan perempuan dan rakyat Yaman untuk mendongkel kekuasaan Saleh. Seperti presiden Tunisia dan Mesir, Saleh yang memimpin Yaman selama 33 tahun dianggap telah memapankan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakibatkan negara yang bersejarah tersebut berada dalam keterbelakangan dan kemiskinan yang ekstrem.

Faktanya, Yaman merupakan salah satu negara Teluk yang pendapatan per kapitanya terendah, sekitar USD 900.

Menurut Karman, keterbelakangan Yaman bukanlah takdir, melainkan akibat kekuasaan yang korup dan represif. Satu-satunya jalan untuk bangkit dari keterpurukan ialah meletakkan kembali demokrasi pada relnya. Pembatasan dan pergantian kekuasaan merupakan hal yang mutlak dalam demokrasi. Karena itu, kini saat yang tepat bagi rakyat Yaman untuk melengserkan Saleh dari kekuasaannya. Apalagi, revolusi di dunia Arab sedang berlangsung sehingga dia dan para aktivis lainnya mendapatkan momentum yang tepat. Maka dari itu, Karman menjadi sosok yang penting dalam revolusi di Yaman. Setidaknya ada tiga hal yang menonjol dalam sosok Karman.

Pertama, Karman telah memastikan bahwa revolusi damai merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh untuk melawan rezim yang korup. Meskipun revolusi di Yaman telah memasuki bulan kesepuluh dengan masa depan yang tidak jelas, Karman telah mengajarkan bahwa perjuangan damai akan memberikan pelajaran yang sangat berharga. Perubahan tidak selamanya ditempuh dengan menggunakan kekerasan, tetapi juga bisa ditempuh dengan cara-cara yang damai. Dia belajar banyak dari perjuangan Martin Luther King di Amerika, Mahatma Ghandi di India, dan Nelson Mandela di Afrika Selatan.

Kedua, Karman merupakan perempuan muslimah yang aktif dalam politik praktis. Sebagai seorang perempuan muslimah yang taat, tidak mudah baginya untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Apalagi, konteks sosial-politik di Yaman tidak mudah bagi perempuan untuk menjadi politikus. Tetapi, Karman telah memilih jalan politik sebagai aktivis Partai Islah, partai oposisi yang selama ini getol mengkritik kebijakan Saleh. Bahkan, sejak tiga tahun lalu, dia melepas cadarnya dan memilih mengenakan jilbab yang sebenarnya tidak lazim di Yaman.

Karman telah membuktikan kepada dunia bahwa perempuan muslimah tidak mempunyai hambatan untuk mewujudkan perubahan dan terlibat aktif dalam demokrasi. Bersamaan dengan perubahan zaman, peremupuan muslimah merupakan kekuatan yang sangat luar biasa untuk mewujudkan perubahan. Meskipun aktif di partai yang beraliran konservatif, tidak tertutup spiritnya untuk melawan rezim otoriter. Buktinya, dia memimpin demonstrasi melawan Saleh. Bahkan, selama berbulan-bulan dia tinggal di tenda bersama para demonstran yang lain.

Ketiga, Karman merupakan sosok yang penting dalam menegaskan demokrasi sebagai sistem alternatif di Yaman. Saleh dikenal di dunia Arab sebagai salah seorang pionir demokrasi karena telah melaksanakan pemilu yang dikontrol oleh pemantau asing. Tetapi, Saleh menjadi sosok yang menghambat demokrasi karena dia secara sepihak menghapus undang-undang pembatasan masa kekuasaan yang mestinya hanya memimpin selama dua periode. Apalagi, kepemimpinan Saleh tidak mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Pemberian Nobel Perdamaian 2011 kepada Karman merupakan dukungan moral bagi revolusi Arab. Tidak bisa dimungkiri, revolusi di sejumlah negara Arab semakin mendapatkan momentum seperti yang sedang bergejolak di Syria, Bahrain, dan Jordania. Kalangan perempuan mendapatkan motivasi untuk terlibat aktif dalam revolusi.

Khusus untuk Yaman, Saleh merupakan pemimpin yang unik karena mempunyai dukungan politik yang solid dari militer dan para pendukungnya yang besar, terutama dari suku Al Ahmar. Meski demikian, Saleh tidak bisa menutup mata karena pihak yang menghendaki pergantian kekuasaan juga tidak kalah banyak. Jika tidak direspons dengan baik dan cepat, situasi tersebut akan mengakibatkan krisis sosial, ekonomi, dan politik yang sangat negatif bagi Yaman. Krisis ekonomi yang menjerat Yaman sebelum revolusi akan memperburuk ekonomi yang sudah buruk itu.

Jika krisis politik di Yaman berkepanjangan, tidak tertutup kemungkinan adanya perang saudara yang melibatkan kelompok pro-Saleh dan anti-Saleh. Potensi ke arah itu sangat besar karena Saleh mempunyai pengikut yang sangat fanatik, terutama dari suku yang selama ini mendukungnya. Satu-satunya cara yang harus dilakukan Saleh ialah meletakkan kekuasaan, mengikuti jejak Ben Ali dan Hosni Mubarak. Kepentingan bangsa Yaman harus diutamakan daripada kepentingan pribadi dan kelompok. Memang terasa pahit. Tetapi, itulah harga politik yang harus dibayar untuk mengembalikan stabilitas politik yang diterpa gonjang-ganjing sejak awal tahun ini.

Zuhairi Misrawi, Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah

radarjogja.co.id