Menilai Motivasi Sebuah Perbuatan

“Kasih ibu, kepada beta.
Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali.
Bagai sang surya, menyinari dunia “.
Tidak dapat disangkal, bahwa suatu cinta kasih tulus, yang “ hanya memberi, tak harap kembali “ adalah cinta kasih ibu terhadap sang anak. Cinta kasih ibu kepada sang anak adalah cinta kasih nan mulia. Mulai dari sang anak lahir, bayi kemudian menjadi kanak-kanak, lalu dewasa dan memiliki anak sendiri, sang ibu senantiasa setia menumpahkan kasih kepada sang anak, dalam suka dan duka.
“Hanya memberi, tak harap kembali?” Tanpa niat untuk mengurangi rasa hormat terhadap kemuliaan kalimat itu, ada sesuatu yang musti diperjelas. Karena pada hakikatnya, semua manusia memiliki keinginan, mempunyai kehendak. Keinginan itu kalau di-bahasakan secara umum, adalah: pada setiap kondisi dan situasi, manusia selalu mempertanyakan, “Apa sih untungnya buatku ?”, “ What is in it for me ? “. Manusia mempunyai pamrih dalam segenap kehidupan masing-masing. Dalam kalimat lain, setiap perbuatan pasti mempunyai motivasi tertentu.
Sebagai ilustrasi, kebanyakan orang bekerja bertujuan untuk mendapatkan nafkah. Bahwa ada kemudian tingkat kebutuhan lain di luar nafkah, misalnya soal kenyamanan kerja, itulah memang pamrih yang bisa berujud aneka rupa. Para penjual bersikap manis kepada para pembeli tentulah disertai harapan sang penjual agar transaksi jual-beli akan terjadi dengan sukses dan menguntungkan.
Dalam hal ini, pelbagai teori tentang motivasi dikenal dalam dunia psikologi. Diantaranya adalah teori yang amat populer, Teori Maslow mengenai 5 Tingkat (Hirarkhi) Kebutuhan Manusia dari Abraham Maslow. Juga teori dari Douglas Mc. Gregor dalam The Human Side of Enterprise, mengenai jenis-jenis orang dilihat dari motivasinya ( juga dikenal sebagai Teory X dan Y). Lalu ada Teori Herzberg (ada faktor ‘motivator’ dan faktor ‘penyehat’/ hygiene dalam perilaku manusia).
What is in it for me adalah kodrat alami manusia. Semua memiliki pamrihnya masing-masing. Tiada perbuatan yang berlangsung begitu saja tanpa dilandasi motivasi apapun. Terdapatlah suatu pepatah yang relevan dalam konteks ini yang cenderung bernuansa negatif - ada “ udang di balik batu “, ada suatu tujuan atau ‘agenda’ (udang) yang tersembunyi di balik suatu perbuatan ( di balik batu ).
Sebagai contoh, bisa kita tanyakan kepada para politisi, khususnya. Mengapa mereka demikian giat mendekat ke masyarakat, khususnya di saat menjelang pemilu atau pilkada? Mengapa sekarang mereka demikian ramah, murah senyum dan banyak menyapa, tidak seperti hari-hari sebelumnya? Apakah segenap usaha mereka sungguh-sungguh untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, atau hanya sekedar perjuangan demi periuk nasi sendiri?
Apakah benar si Badu mengirim bunga semata-mata karena ia mencintai sang kekasih? Karena ingin membuat kekasih bahagia dan demikian si Badu bahagia? Atau karena semata-mata Badu takut kehilangan, padahal selama ini sang kekasih terlalu sering dibuatnya menderita?
Tantangan Utama
Sesungguhnya tantangan utama topik perbincangan ini adalah sifat dari motif atau pamrih itu. Bila sifat motif itu mengarah kepada hal yang positif, akan terjadilah berkah demi berkah bagi kehidupan. Motif ibu yang hanya memberi, tak harap kembali sesungguhnya adalah suatu tindakan bukan tanpa motif, bukan sikap tanpa pamrih.
Dalam hal ini pamrih ‘awal’ sang ibu adalah: sang anak bahagia. Bila sang anak bahagia, tercapailah pamrih ‘akhir’ ibunda yakni sang ibunda pun bahagia (Sebaliknya, kalau anak menderita, sang ibu pun akan menderita; dan kejadian itu bukanlah sesuatu yang diharapkan para ibu ). Dan demikianlah sejatinya pamrih manusia dalam kehidupan, meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Bila benar motif Warren Buffet atau Bill Gates mendonasikan separoh harta kekayaan mereka semata-mata untuk kepentingan kemanusiaan (demi kemanfaatan bagi sesama), itu adalah hal yang sungguh-sungguh mulia. Namun sebaliknya bila pendonasian itu hanya sekadar untuk kepentingan politik, misalnya (saya percaya, bukan yang ini motif mereka), tentulah nilai kemuliaannya sangat tercoreng.
Sifat positif atau negatiflah yang menentukan mulia atau tidaknya motif atau pamrih itu. Kalau pamrih itu bersifat positif, selalu dalam konsep kemanfaatan bagi sesama terjadilah berkah dan mulialah pamrih itu. (Catatan: kemanfaatan bagi sesama itu dikenal dalam pelbagai format, diantaranya: menjadi berkat bagi sesama atau become man for others ataupun rahmatan lil’ alamiin. Dimana dengan kemanfaatan itu, manusia mengharapkan ampunan dan kasih Nya agar bahagia pula di akhirat kelak, sebagaimana secara lengkap disarikan dalam pepatah China, “ Cintailah Yang di Bumi Agar Dicintai Yang di Langit”).
Sebaliknya bila pamrih itu bersifat negatif, hanya berpura-pura baik tetapi sejatinya tidak, cepat atau lambat akan lunturlah rasa saling percaya satu sama lain, akan terjadilah pelemahan nilai-nilai kerja sama, yang pada ujungnya akan memunculkan kerusakan kehidupan dan penderitaan. Dan kondisi pamrih semacam itulah yang nampaknya benar-benar layak disebut sebagai ada udang di balik batu, yang sepatutnya kita hindarkan.
Dan pepatah “ udang di balik batu “ itulah suatu pertanyaan yang menantang kita untuk mengevaluasi motif dasar kita dalam bertingkah laku. Adakah udang di balik batu terhadap tindakan-tindakan kita ? Itu sungguh pepatah yang sangat konstruktif agar kita senantiasa ‘eling lan waspodo’ ( sadar dan berhati-hati ). Agar kita menyadari benar, apa sesungguhnya motif dasar kita dalam bertindak, apa sesungguhnya nurani kita. [bisnis]
Oleh Pongki Pamungkas
Ketua Asosiasi Perusahaan Rental Kendaraan Indonesia/Asperkindo