pustaka.png
basmalah2.png


16 Jumadil-Awwal 1445  |  Kamis 30 Nopember 2023

Jangan Ambil Keputusan Karena Ego

Fiqhislam.com - Setelah meniti karier selama 11 tahun di Bank Niaga, Arwin Rasyid malang melintang menerus kan kariernya di berbagai perusahaan dan BUMN.
Akhirnya, sejak November 2008, pria yang selalu tampil rapi ini kembali ke lembaga keuang an yang kini bernama PT Bank CIMB Niaga Tbk sebagai presiden direktur.
Di bawah kepemimpinannya, bank yang kini sahamnya dikuasai CIMB Group Malaysia ini telah berkembang menjadi bank universal yang melayani hampir semua segmen usaha dan menjadi bank nomor lima terbesar dari segi aset.
Kepada Bisnis, dia berbagi mengenai filosofi dan gaya kepemimpinannya dalam mengembangkan bisnis, hingga beberapa obsesinya yang masih belum terwujud. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana kisah perjalanan karier Anda?
Karier saya terus berubah-ubah. Ketika kuliah di Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saya bercita-cita ingin bekerja di Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional], atau Departemen Keuangan. Namun nasib menentukan lain.
Bagaimana perkembangan CIMB Niaga?
Sekarang aset CIMB Niaga sudah Rp166 triliun, jauh lebih besar dibandingkan dengan Niaga yang waktu itu hanya Rp60 triliun. Ketika Bank Niaga dan Bank Lippo merger asetnya mendekati Rp100 triliun dan sekarang sudah Rp166 triliun.
Sebagai bank nomor 5 terbesar di Indonesia, CIMB Niaga saat ini memiliki hampir 1.000 ca miliki hampir 1.000 cabang yang terdiri sekitar 300 cabang mikro serta 700 cabang bank konvensional dan syariah.
Bank ini diposisikan menjadi bank universal, artinya bank yang melayani semua segmen dengan berbagai produk mulai corporate, komersial, ritel, konsumer, hingga mikro.
Pernahkah mengambil keputusan yang sulit dan dilematis?
Saya memiliki referensi dari orangtua bahwa hidup itu yang penting bisa tidur enak. Keputusan sulit menjadi tidak sulit apabila diambil dengan pikiran jernih. Jadi, keputusan dan perasaan kita harus menyatu. Kalau mau dibilang apakah pernah membuat keputusan sulit, maka saya bersyukur karena tidak ingat. Kalau keputusan kompleks itu banyak.
Kita harus kembali kepada referensi, yakni ketika mengambil keputusan harus berpikir kenapa keputusan itu diambil. Tentunya harus menempatkan kepentingan yang lebih besar. Kalau itu berge rak untuk referensi yang kita pegang, jelas mengambil keputusan tidak akan sulit karena kita tahu tujuannya.
Pernahkah mengambil keputusan yang keliru?
Saya percaya keputusan yang saya ambil bukanlah selalu yang terbaik. Saya percaya dan itu saya pegang sebagai prinsip. Untuk itu, saya mempersiapkan diri untuk kesalahan, karena manusia tidak sempurna.
Salah satu yang sulit adalah ketika menjabat di PT Telkom. Waktu itu saya harus menggantikan orang yang posisinya kuat sekali. Backing-nya juga kuat. Saya pikir saya menggantikan dia karena ada kepentingan yang lebih besar.
Meskipun ada resistansi yang besar, saya menganggapnya sebagai tugas. Jadi no hard feelings. Nah, untuk itulah setiap keputusan yang diambil jangan masuk ke perasaan.
Apa keputusan yang dianggap paling monumental?
Tugas kami di manajemen adalah mengambil langkah strategis. Jadi, saya melakukan brainstorming pada tim besar yang menghasilkan keputusan. Setelah jadi ke mudian harus melangkah dan tidak boleh ada keraguan.
Kalaupun salah maka harus diperbaiki. Lebih baik kita berbuat sesuatu salah daripada tidak berbuat sesuatu sama sekali.
Kalau tidak berbuat sesuatu itu statis, padahal kemajuan itu berdasarkan pergerakan yang arahnya benar. Setiap keputusan itu sifatnya berkelanjutan sehingga kalau ditanya keputusan paling monumental, secara objektif saya katakan tidak ada.
Kalau CIMB Niaga labanya terus meningkat dan pada 2011 diharapkan mencapai di atas Rp4 triliun, itu hasil dari beberapa keputusan yang diambil. Seperti, kami buka gadai, mikro, multifinance, membesarkan bank syariah, dan melakukan bisnis investasi.
Selain itu kami juga mengajak orang-orang profesional untuk bergabung, mengembangkan Internet banking, mobile banking hingga membesarkan private banking.
Bagi saya, jangan mengambil keputusan karena ego. Contohnya, selagi saya menjadi pimpinan maka saya harus membangun gedung kantor yang tinggi. Akan tetapi, kalau saya tidak pakai ego maka kami mau bangun gedung kantor yang terbaik, karena wajar bagi perusahaan kami memiliki gedung yang bagus. Kedua hal tersebut tujuannya sama tapi dasarnya beda. Yang satu dasarnya ego dan satu lagi karena kondisi.
Jika terjadi situasi krisis, prioritas apa yang akan Anda lakukan?
Setiap krisis itu tidak sama kadarnya. Ada yang berat dan berat sekali. Namun, yang harus kita jaga adalah kelangsungan bisnis perusahaan itu sendiri. Kalau ada krisis sis ndiri. Kalau ada krisis sistemik, daripada mengeluarkan orang lebih baik potong gaji bersama-sama.
Kalau krisisnya tidak siste mik dan hanya menyangkut satu perusahaan, maka saya memilih untuk melakukan amputasi. Ini kembali lagi pada dasar kepentingan yang lebih besar.
Bagaimana memersepsikan nasabah?
Menurut saya, nasabah itu yang membayar gaji kita. Dalam segmen nasabah yang kami tuju harus diberikan pelayanan yang terbaik. Kalau kami berhasil membuat nasabah puas maka dengan sendirinya bank akan maju. Akibatnya, laba akan meningkat dan akan menaikkan pendapatan karyawan. Jadi harus dimulai dengan melihat nasabah sebagai sumber kenaikan pendapatan.
Namun, itu khusus bagi pelanggan yang kami bidik. Sebab sebagai perusahaan yang bukan terbesar, apabila kami membidik semua orang termasuk bukan nasabah kami, itu akan melemahkan kami.
Persepsi soal pesaing?
Pesaing adalah referensi dari kemajuan kami. Kalau kami punya target peningkatan 20% dan tercapai, saya tetap tidak puas jika pesaing berhasil meningkat 30%. Berbeda kalau kami menetapkan target 20% dan tercapai 10%, namun ternyata pesaing hanya tercapai 2%, maka itu saya anggap berhasil.
Persaingan itu adalah variabel yang saya hormati dan segani. Persaingan itu layaknya vitamin yang membuat kami makin peka dan tanggap. Jadi, saya tidak mau membetengi diri dari persaingan.
Kepemimpinan model apa yang Anda terapkan?
Kalau saya memilih kepemimpinan yang fleksibel saja. Ada kalanya saya di belakang sebagai pelatih, di samping sebagai fasilitator dan harus di depan sebagai pemimpin.
Kalau seseorang sedang bekerja dengan bagus kenapa saya harus ganggu. Lebih baik saya mendukung penuh agar dia bisa optimal sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan dari kinerjanya.
Kalau ada yang kinerjanya di bawah target maka saya masuk untuk tukar pikiran dan memberikan dorongan. Kalau ada yang kurang dinamis maka saya akan masuk agar makin maju. Kalau sudah maju maka saya akan diam saja. Ada momentum untuk melepas kendali dan ada juga untuk memegang kendali. Kita harus bisa bermain di tengah-tengah itu semua, tergantung situasi saja.
Siapa orang di balik sukses Anda?
Banyak. Di mana saya berada maka di situ saya akan belajar. Contohnya, ketika di Bank Niaga saya terkesan dengan kepemimpinan Pak Robby Djohan. Kemudian soal kepekaan, tanggap dan dedikasi saya kagum pada Ibu Gunarni Soeworo.
Selain itu, saya juga terkesan dengan kepintaran Pak Nono Zainudin dalam mengambil hati orang lain. Saya banyak belajar dari mereka. Di mana pun pergi saya ingin selalu belajar.
Bagaimana mempersiapkan masa pensiun?
Saya memiliki pandangan seperti di Amerika Serikat bahwa umur prima seorang eksekutif dimulai pada 55 tahun. Jadi, masa prima itu 55 hingga 75 tahun.
Pada umur 55 terakumulasi pengalaman, kematangan, wisdom, rekam jejak, dan kesuksesan dalam karier. Kebetulan pada bulan ini umur saya 55 tahun, maka saya ingin membangun paradigma dan mengucapkan `selamat datang pada masa yang paling prima'.
Jadi, saya tidak memikirkan untuk pensiun. Bahkan saya sedang mempersiapkan diri dalam lembaran baru karier saya.
Soal keseimbangan urusan keluarga dan pekerjaan?
Sejak bekerja di Bank of America saya beruntung membaca sebuah buku yang saya lupa judulnya. Buku itu menjelaskan bahwa hidup itu terdiri atas enam kotak, yakni keluarga, kerja, kesehatan, sosial, spiritual, dan mengasah diri.
Jadi, waktu kita juga terbagi enam kotak. Kita sendiri yang akan memilih kotak mana yang didahulukan.
Inti yang saya peroleh hidup jangan difokuskan pada satu atau dua kotak, karena itu bisa bahaya. Saya penganut prinsip bahwa kita harus mengalokasi waktu untuk setiap kotak meskipun persentasenya bisa berubah-rubah.
Siapa tokoh idola Anda?
Dulu saya pernah ditanya dan saya jawab spontan Nelson Mandela. Dia menjalani penjara yang begitu lama, namun ketika keluar dia bisa memaafkan semua musuhnya. Dia tidak memiliki rasa dendam dan itu bagus sekali.
Cita-cita Anda waktu kecil?
Waktu kecil saya ingin sekali jadi prajurit karena saya suka senjata, tank, dan pesawat tempur. Bahkan sampai sekarang saya masih suka menembak meskipun hanya sebagai hobi.
Waktu saya remaja saya ingin jadi arsitek, karena suka mengambar. Saya masuk Fakultas Ekonomi UI bukan direncanakan tetapi karena tidak ada pilihan lain. Ketika lulus SMA, nilai matematika saya tidak kuat untuk masuk fakultas teknik. Ilmu pasti alam saya juga kurang kuat untuk masuk kedokteran.
Jadi, pilihan saya waktu itu hanya masuk ilmu sosial, hukum, dan ekonomi. Saya tidak minat hukum dan ilmu sosial kurang menarik, sehingga saya pilih ekonomi.
Pernahkah Anda menghadapi situasi tender yang bernuansa KKN?
Sering dong. Itulah pentingnya kita harus punya referensi. Waktu saya di Telkom banyak sekali desakan untuk memenangkan si A atau B atau C. Saya tidak peduli siapa yang menang asal caranya benar dan itu yang terbaik bagi perusahaan.
Dengan referensi itu saya mudah mengambil keputusan dan tidur nyenyak tiap malam. Namun, kalau kita sudah tidak merasa cocok, maka kita harus tahu diri untuk mundur. Kita enggak boleh egois untuk terus tinggal.
Misalnya, ketika di Telkom saya mengundurkan diri karena merasa peranan saya tidak efektif sebab banyak benturan kepentingan. Akibatnya, saya merasa kurang optimal. Buat saya daripada tidak maksimal berkontribusi lebih baik saya manis-manis mengundurkan diri.
Walau cerita di pasar saya diganti tetapi sayalah yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi no hard feelings karena perusahaan itu tetap dijaga utuh kesinambungannya dan saya tetap dijaga reputasinya. Jadi everybody happy.
Oleh Donald Banjarnahor & Gung Pangodo Supryanto
bisnis.com