Memutuskan Itu Mengambil Risiko
Fiqhislam.com - Setiap saat kita membuat keputusan. Tentu saja, keputusan ini terkait dengan persoalan yang kita hadapi dan membutuhkan penanganan. Ada yang mendesak, tapi tidak penting. Ada yang penting, namun tidak mendesak.
Ada pula yang mendesak dan penting. Memilah-milah persoalan menurut derajat kepentingan dan kemendesakan itu adalah bagian dari cara membuat prioritas, mana persoalan yang harus lebih dulu diatasi dan mana yang dapat dibelakangkan.
Sebagian keputusan dapat diambil dengan relatif sederhana dan cepat, misalnya jam berapa kita rapat? Yang lain mungkin sedikit lebih sukar: mana calon pegawai yang akan kita terima di antara sejumlah calon yang berbakat—keputusan diambil setelah calon-calon ini melewati beberapa tahap seleksi. Yang lain lagi niscaya jauh lebih kompleks: apakah perusahaan akan ditransformasikan, mengapa itu harus dilakukan, ke arah mana, bagaimana langkah-langkahnya?
Pengambilan keputusan adalah langkah pertama untuk bertindak. Tapi, tidak mengambil keputusan sesungguhnya juga merupakan keputusan, yang artinya mengambil langkah untuk diam. Bergeming. Mengambil keputusan secara sadar merentang hingga berbagai aspek organisasi bisnis, mulai dari pengaturan jam kerja, lembur, dan cuti, penetapan anggaran, perekrutan tenaga kerja baru, sampai kepada urusan-urusan besar semacam akuisisi, merger, dan penawaran perdana saham publik (IPO).
Keputusan yang sulit secara tipikal melibatkan sejumlah isu. Di antaranya ketidakpastian karena banyak fakta yang mungkin belum atau tidak diketahui. Berikutnya kompleksitas, mengingat Anda harus mempertimbangkan banyak faktor yang saling terkait. Ada pula kemungkinan berisiko-tinggi, sebab dampak dari keputusan itu mungkin signifikan bagi perusahaan maupun karyawan.
Selain itu, keputusan juga terkait dengan alternatif-alternatif dan masing-masing alternatif memiliki ketidakpastian dan konsekuensinya sendiri. Belum lagi isu interpersonal, yakni sulitnya memprediksi bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap keputusan itu: mungkin resisten, barangkali acuh tak acuh, walau tak sedikit yang proaktif mendukung.
Tak heran bila kemudian orang yang sudah dipercaya menjadi manajer dan eksekutif puncak sekalipun kerap gamang mengambil keputusan. Orang-orang seperti ini mungkin terlampau banyak menimbang-nimbang atau berandai-andai, karena mencemaskan risiko yang mungkin dihadapi. Sebelum memutuskan, manajer yang gamang kerap membayangkan: bagaimana kira-kira reaksi bos saya; kalau keputusan ini yang saya ambil, marah gak ya anak buah saya?
Manajer yang kukuh akan mengerti bahwa memahami risiko yang mungkin timbul dan bagaimana mengelolanya merupakan cara terbaik untuk membuat pilihan keputusan yang mungkin. Kita tidak akan mampu memprediksi dampak dari suatu keputusan dengan akurasi 100 persen. Tapi, kita bisa bekerja secara cermat dan sistematis untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi konsekuensi yang mungkin muncul.
Pengambilan keputusan sesungguhnya memang bukan hanya menyangkut proses-proses kognitif, yakni memilih suatu tindakan di antara sejumlah alternatif-yang-mungkin secara rasional. Ada yang menyebut pengambilan keputusan kuat mengandung unsur seni. Barangkali karena sebagian orang mengandalkan intuisinya dalam mengambil keputusan, misalnya di saat-saat genting ketika dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Sejumlah manajer kelas kakap dalam momen-momen tertentu lebih mengandalkan intuisinya daripada perhitungan logis yang mungkin disodorkan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Contohnya Howard Schultz, pendiri Starbucks. Ketika konsultannya memberi rekomendasi agar ia tidak membuka kedai kopi di Tokyo, Schultz tetap membuka kedai Starbucks di ibukota Jepang itu. Terbukti dia benar karena ternyata orang-orang Jepang mengantri panjang di depan kedainya agar bisa menikmati secangkir kopi Starbucks. Kendati ditentang oleh bawahannya, Akio Morita tetap jalan terus dengan idenya untuk membuat pemutar kaset yang bisa dibawa kemana-mana. Itulah kisah yang melahirkan Walkman, yang kini perannya dilanjutkan oleh iPod dan pemutar MP3 lainnya.
Sekolah-sekolah manajemen memang kerap mengajarkan proses membuat keputusan, langkah demi langkah, dan apa hal-hal yang mesti dipetimbangkan. Begitu pula, para mahasiswa diajar mengenal dan menggunakan alat-alat untuk membuat keputusan. Namun di dalam praktek, gaya kepemimpinan seseorang dalam suatu organisasi kerap mewarnai bagaimana suatu keputusan diambil. Ada yang otoriter, demokratis, egaliter, tak kurang banyaknya pemimpin yang gamang mengambil keputusan. Bila gaya berbicara, alat biasanya tersingkirkan.
Andy Grove, pendiri dan mantan CEO Intel, mencontohkan tentang bagaimana mengambil sebuah keputusan tak ubahnya menentukan arah mana yang hendak ditempuh ketika sebuah jalan kemudian bercabang: ke kiri atau ke kanan? Ketika Jepang menjejakkan kakinya di pasar memory chip, nasib Intel berada di ujung tanduk. Pilihan yang mungkin di tengah situasi bisnis yang genting ketika itu hanyalah dua: tetap di bisnis memory chip atau keluar. Grove memilih yang terakhir dan fokus pada prosesor mikro karena pertimbangan memory chip terbatas untuk menyimpan memori, sedagkan prosesor mikro untuk melakukan kalkulasi—sebuah masa depan.
Grove tidak keliru mengambil keputusan penting. Setelah beberapa tahun yang menyakitkan, Intel kemudian menjadi pemimpin produsen di industri prosesor mikro. Konsekuensi dari suatu keputusan tak bisa dihindari, tetapi risiko dapat dikelola. Dan Grove telah memperlihatkan bahwa berani mengambil risiko membuat hal baru menjadi kenyataan.