Jangan dikira, setiap sampah adalah limbah yang tidak berguna. Pak Slamet Riyadhi telah membuktikan sampah-sampah industri rumah tangga menjadi kreasi anyaman yang layak untuk dilirik dan dimiliki. Pada tahun 1998 krisis moneter membuatnya di-PHK. Sejak itu, ia mencari peluang melatih ibu-ibu lansia di Kampung Sudimara, Pinang, Tangerang, Banten, membuat anyaman.
"Usaha ini dinamakan Lumintu yang berarti filosofi masyarakat Jawa, yaitu menurunkan ke anak cucu, sedangkan untuk masyarakat Sunda yang berarti lumayan. Jika diperpanjang menjadi lumayan itung-itung menunggu tutup usia," ucap Slamet Riyadhi, saat menjadi partisipan di acara Green Festival di Jakarta.
Slamet mengatakan, Pondok Kreasi Daur Ulang Lumintu yang terletak di Jalan K.H Hasyim Ashari, Gang Kewuning, Sudimara, Pinang Ciledug, Tangerang, sudah dirintis sejak tahun 1998, bermula dari ide mengumpulkan sampah plastik yang berlapis aluminium foil, seperti bungkus makanan ringan dan dibuat dekorasi untuk anak-anak sekolah.
"Itu ide awalnya, tetapi setelah tahun 2000 banyak peminatnya, akhirnya kami buat inovasi baru dengan membuat produk dari pasta gigi. Dalam usaha ini, kami dibantu 6 orang lansia, pemulung, dan 64 karyawan yang terdiri dari ibu-ibu, anak remaja, dan lansia," ucap Slamet.
Kemudian tahun 2002, Lumintu melirik dunia fashion, akhirnya melakukan inovasi tiada henti dengan membuat tas dari anyaman dari bekas kemasan, seperti detergen. Kata Slamet, barang-barang hasil kerajinan anyaman dari tikar sudah sampai ke 11 negara, di antarnya Brunei, Singapura, Mesir, Nigeria, Belanda, Italia, Vatikam, Kanada, Hawai, dan Australia.
Lumintu didirikan Slamet benar-benar dari nol, dan hingga besar sekarang ini tujuannya adalah mendirikan usaha lantaran ingin memanfaatkan sampah. Slamet sudah sering menjadi pembicara di sekolah-sekolah, serta berkeinginan melakukan sosialisasi mengenai usahanya lewat sosialiasi kepada guru dan melakukan ekskul daur ulang.
"Dari sampah yang ada di sekeliling kita, kita bisa menghasilkan dan mendidik kreativitas anak, dengan sampah sebagai medianya. Saya sudah ke 138 sekolah di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi, dan dari 138 sekolah hanya ada 7 sekolah yang gurunya memiliki kemampuan untuk membuat kreasi daur ulang," tandas Slamet.
Selain itu, Lumintu juga mengumpulkan barang rongsokan dan dijadikan apa pun bisa. "Dari barang rongsokan bisa dikreasikan apa saja, itu tergantung kreativitas anak, dan bisa dijual dari Rp 50.000-Rp 300.000, tergantung ciptaan kreasinya," imbuh Slamet.
Lumintu menawarkan dua paket, yaitu hasil produk kreasi dan produk jasa pelatihan ke sekolah. "
Sekarang harapan saya adalah mudah-mudahan ada dermawan yang peduli terhadap pengusaha sosial, dan bagi kami diberi kemudahan karena sekarang limbah sudah dikuasai oleh mafia-mafia limbah. Serta kegiatan ini saya rasa penting jika bisa dijadikan ekskul di Sekolah dan melakukan inovasi tiada henti," ucap pria kelahiran Cirebon, 21 September 1951 ini.
Sebelumnya, program lingkungan Medan Green and Clean (MDGC) yang disponsori PT Unilever Indonesia Tbk bekerjasama dengan Yayasan Bumi hijau Lestari, Pemko Medan, Badan Lingkungan Hidup dan Harian Waspada dan didukung penuh oleh Komunitas Ibu-ibu pengrajin produk daur ulang di Medan, Sabtu pagi, menggelar Medan Green & Clean 2009 mengajak kepada masyarakat mengenai kiat berwirausaha dengan pemanfaatan sampah kering di Lapangan Merdeka Medan.
Sinta Kaniawati, General Manager PT Unilever Indonesia,Tbk, mengatakan kepada wartawan, program ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab bersama masyarakat yang merupakan realisasi dari fokus utama dan komitmen kami dalam program Medan Green & Clean (MDGC). Dalam hal ini berupa pemberian edukasi melalui pendampingan dan monitoring program kebersihan dan pengelolaan sampah di masyarakat. Misi penting di balik kegiatan ini adalah upaya menggali potensi yang luar biasa dari para ibu rumah tangga untuk merintis usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga mereka dapat memberikan kontribusi lebih bagi keluarga dan lingkungannya melalui serangkaian program pemberdayaan perempuan.
“Pada akhirnya mereka mampu menjadi panutan dan dapat memberikan motivasi bagi ibu-ibu lainnya untuk lebih maju.” katanya.
Sinta menambahkan, pengelolaan sampah didaur ulang menjadi produk trashion telah membuka pintu peluang ekonomi, memungkinkan ibu-ibu mendapat penghasilan tambahan bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Salah satu pengrajin produk daur ulang, Yanti mengatakan, setiap hari membutuhkan rata-rata 10 kilogram sampah plastik sisa kemasan berbagai produk pembersih. Satu kilogram plastik setidaknya terdiri atas 60 kantong kemasan.
Yanti menambahkan, mengawali wirausaha ini dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh Unilever.
“Senang dan bangga sekali bisa bergabung dengan komunitas ini, selain bisa memiliki penghasilan sendiri, usaha ini juga bisa menolong ibu-ibu lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan, dan yang terpenting lagi adalah kami turut serta menggerakkan kepedulian masyarakat di sekitar kami, untuk menciptakan lingkungan yang asri bersih dan nyaman”, ujarnya. (fn/km/ant/suaramedia.com)