Fiqhislam.com - Mabes Polri belum berani menyimpulkan adanya keterkaitan jaringan terorisme global, seperti ISIS dalam gelombang kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Namun kepolisian mengetahui adanya jejaring kelompok terorisme yang sedang membangun kekuatan di provinsi paling timur Indonesia tersebut.
“Kalau keterkaitan ISIS dalam kerusuhan (di Papua dan Papua Barat) ini, masih didalami ada atau tidak keterkaitannya,” ujar Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, di Gedung Humas Polri, Jakarta, Jumat (6/9).
Namun terkait ISIS di Papua dan Papua Barat, kata Dedi, deteksi kepolisian menyimpulkan adanya jaringan terorisme lokal yang terafiliasi dengan ISIS. Mereka mencoba melakukan rekrutmen di Bumi Cenderawasih.
Dedi menerangkan, kepolisian sudah menganalisa rekam jejak dan pergerakan sejumlah anggota Jamaah Ansarut Daulah (JAD) di Papua dan Papua Barat dalam dua tahun terakhir. JAD, selama ini menjadi kelompok ekstrem agamis yang mendaulat diri ke jaringan ISIS. “Setahun belakangan ini, aktivitas kelompok ini meningkat,” terang Dedi.
Sejumlah wilayah yang terdeteksi menjadi medan perekrutan kelompok tersebut, ada di Jayapura, Wamena, Manokwari, Fakfak, dan Marauke.
“Sel-sel dari kelompok ini, memang ada. Dalam arti mereka melakukan rekrutmen-rekkrutmen untuk penguasaan,” terang Dedi.
Namun ia mengatakan, sampai saat ini, kepolisian belum punya analisa yang cukup untuk membuktikan adanya keterlibatan jaringan dan simpul terorisme global di dalam negeri itu, dengan rentetan kerusuhan di kota-kota utama Papua dan Papua Barat yang terjadi sejak Senin (19/8).
Tudingan adanya kelompok ISIS yang ‘bermain’ dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat, awalnya dilontarkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, Kamis (5/9).
Ryamizard mengatakan, analisa intelijen mengatakan ada tiga kelompok yang sengaja membuat kerusuhan di Bumi Cenderawasih. Pertama kelompok pemberontak bersenjata. Yang kedua kelompok sayap politik prokemerdekaan, dan jaringan pemberontak rahasia atau klandestin.
Namun di luar tiga itu, kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) 2002 itu, ada kelompok lain yang terafiliasi dengan ISIS. “Terdapat kelompok lain yang terafiliasi dengan ISIS (yang) telah menyerukan jihad di tanah Papua,” kata Ryamizard, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (5/9).
Analisa yang spesifik, namun berbeda, disampaikan oleh Kepala Polri (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian. Tito, yang sejak Selasa (3/9) memilih berkantor sementara di Papua, pada Kamis (5/9) dalam konfrensi pers menyebutkan dua kelompok yang menginisiasi gelombang kerusuhan di Bumi Cenderawasih. Yakni, Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULM-WP), bersama Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
“ULM-WP dan KNPB bertanggung jawab ata insiden ini, dan akan saya kejar mereka,” tegas Tito.
ULM-WP diketahui organisasi prokemerdekaan Papua Barat yang saat ini dipimpin oleh Benny Wenda. Tito, tak sekalipun menyebutkan adanya kelompok atau tokoh ekstremis beragama yang dianggap atau diduga sebagai dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
“Siapa yang main (dalang kerusuhan)? Benny Wenda,” tegas Tito.
Bahkan Tito meyakini, kerusuhan di Papua dan Papua Barat sengaja dibuat untuk mencari perhatian internasional dalam Sidang Dewan HAM PBB pada 9 dan 23 September di Jenewa, Swiss mendatang. [yy/republika]
Benarkah Veronica Koman di Australia?
-
Benarkah Veronica Koman di Australia?
Fiqhislam.com - Polisi telah menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka. Ia dianggap telah menyebarkan pernyataan bernada provokatif dan hoaks lewat media sosial terkait kisruh Papua.
Namun kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka, polisi belum bisa memeriksa atau menahannya. Polisi telah meminta bantuan interpol untuk memulangkan Veronica yang dikabarkan berada di luar negeri.
Lantas dimana Veronica berada? Theaustralian.com.au dalam tubuh artikelnya meyakini keberadaan Veronica di Australia. Namun media tersebut tidak menjelaskan lebih jauh di mana letak persis ia berada.
"Indonesian police have asked Interpol to help track down an Indonesian human rights lawyer — understood to be living in Australia — who is facing charges of having “incited” recent violent protests across West Papua," tulis thaustralian belum lama ini.
Masih dikutip media tersebut, pekan lalu, Veronica Koman yang pernah aktif dukung Ahok ini meminta Australia untuk mendukung Papua Barat. Ia mengatakan, hak untuk penentuan nasib sendiri berdasarkan hukum internasional harus berdiri atas perjanjian.
Mabes Polri menyatakan sudah mengetahui di mana keberadaan pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Veronica Koman. Veronica diduga berada di luar negeri. Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan, Polri saat ini sedang dalam komunikasi dengan Interpol untuk dapat memulangkan aktivis pro kemerdekaan Papua Barat itu ke Indonesia.
“Untuk VK (Veronica) sudah diketahui keberadaannya. Tetapi belum dapat disampaikan karena ini proses penyidikan,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/9).
Ada dugaan lain pegiat hukum asal Medan, Sumatra Utara (Sumut), itu berada di Singapura. Namun, Dedi tak membenarkan, ataupun tak menyalahkan dugaan tersebut. “Nggak boleh disebutin. Kalau disebutin, kabur ke mana-mana,” kata dia.
Yang pasti, Dedi menjelaskan, kepolisian tetap akan mengejar Veronica untuk dapat dipulangkan ke Indonesia, untuk pertanggungjawaban hukum. Saat ini, kata Dedi, tim penyidik dan intelijen di Polda Jawa Timur (Jatim), pun tim siber di Mabes Polri sedang berkomunikasi dengan Interpol.
“Dari Interpol, nantinya juga akan ada red notice dan pemberitahuan kepada negara di mana yang bersangkutan berada,” ujar Dedi.
Jika negara tersebut, kata Dedi, punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, pemulangan Veronica akan lebih cepat. Kepolisian Dearah di Jawa Timur (Polda Jatim) menetapkan Veronica sebagai tersangka dalam kelanjutan penyidikan kasus rasialisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, Jumat (16/8).
Kepolisian menuduh Veronica melakukan aksi penyampaian kabar bohong atau hoaks, dan provokasi lewat media sosial (medsos) yang memicu gelombang unjuk rasa di Papua dan Papua Barat sejak Senin (19/8) lalu. Polda Jatim menjerat Veronica dengan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang ITE. Kemudian Pasal 160 KUHP, Pasal 14 ayat (1), (2), dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Pada peristiwa di Papua yang terjadi tanggal 18 dan 19 Agustis 2019, sangat kuat sekali saudara VK ini ikut terlibat secara langsung di media sosial Twitter-nya,” kata Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan di Surabaya, Rabu (4/9).
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyebutkan, interpol saat ini tengah memburu Veronica Koman. Veronica sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka penyebar provokasi yang berujung anarkistis di Papua.
"Saya kira sudah viral toh apa yang dia ucapkan sebagai provokasi-provokasi dan menghasut untuk terus melakukan perlawanan dan demonstrasi anarkis," katanya, saat konferensi pers terkait situasi Papua dan Papua Barat, di Jakarta, Kamis (5/9).
Saat ini, Veronica sedang berada di luar negeri, sehingga pemerintah bekerja sama dengan interpol untuk menangkap yang bersangkutan. Wiranto mengatakan, kuasa hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur. "Ini sekarang sedang diburu oleh interpol karena berada di luar negeri, tetapi sudah tersangka," katanya.
Amnesty menilai jika kepolisian menuduh Veronica melakukan provokasi maka analisa kasusnya menjadi rancu, bahkan berujung pada bentuk kriminalisasi.
“Kriminalisasi terhadap Veronica Koman akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang terkait Papua,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam pernyataan pers yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (4/9).
Menurut Usman, ada sejumlah pelanggaran hak asasi serius yang dilakukan oleh kepolisian dalam kasus yang dituduhkan terhadap Veronica. Tuduhan tersebut dianggap berkelindan dengan kejadian di Papua dan Papua Barat.
Usman menerangkan apa yang disampaikan Veronica merupakan bagian dari hak sipil untuk menyampaikan informasi ketika pemerintah menutupi fakta peristiwa dan gagap menyelesaikan masalah utama terkait yang terjadi di asrama mahasiswa Papua Surabaya, Jumat (16/8) dan Sabtu (17/8).
Usman menerangkan, hal yang dilakukan oleh Veronica lewat jejaring media sosial (medsos) pun bukan bagian dari aksi provokasi yang dianggap sebagai pemicu gelombang massa di Papua dan Papua Barat. “Kalau tuduhan polisi memprovokasi, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh polisi adalah siapa yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat dari unggahan di Twitter?” kata Usman.
Ia menegaskan, jika informasi yang disampaikan Veronica dianggap tak akurat maka menjadi kewajiban bagi aparat kepolisian melakukan pelurusan dan klarifikasi fakta. “Bukan malah dengan melakukan kriminalisasi terhadapnya,” terang Usman. [yy/republika]
Benny Wenda Desak PBB, Indonesia Tolak Referendum
-
Benny Wenda Desak PBB, Indonesia Tolak Referendum
Fiqhislam.com - Benny Wenda yang dituduh oleh pemerintah Indonesia sebagai 'kekuatan asing' yang menggerakkan aksi di Papua belakangan telah meminta PBB dan Australia untuk mengecam Indonesia mengenai situasi di sana.
Dalam wawancara dengan media Australia SBS News, Selasa (3/9/2019), Benny Wenda yang tinggal di Oxford (Inggris) meminta PBB untuk melakukan intervensi.
"Berapa banyak orang yang perlu dibunuh agar PBB melakukan intervensi, untuk datang ke Papua Barat dan melihat apa yang terjadi?" ungkapnya.
Benny Wenda juga meminta Perdana Menteri Australia Menteri Scott Morrison untuk mengutuk tindakan keras Indonesia terhadap demonstran pro-kemerdekaan.
Tindakan Indonesia berisiko menjadikan Papua sebagai "Timor Timur berikutnya".
"Saya berharap Perdana Menteri Australia akan membuat pernyataan tentang situasi saat ini. Kita perlu Australia untuk bersuara dan membuat pernyataan publik tentang krisis kemanusiaan di Papua Barat. "
Ia mengatakan situasi di Papua Barat saat ini "sangat mirip" dengan perjuangan berdarah untuk kemerdekaan yang terjadi di Timor Timur atau sekarang Timor-Leste - 20 tahun yang lalu.
Tidak ada kemungkinan adanya referendum
Dalam reaksinya pemerintah Indonesia kembali menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan adanya dialog mengenai kemerdekaan dan referendum di Papua.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menyatakan wacana referendum yang muncul pasca kerusuhan di sejumlah kawasan di Papua pekan lalu tidak mungkin terjadi.
Wiranto menyatakan secara hukum opsi referendum sudah tidak dimungkinkan, karena kedua wilayah itu sudah pernah digelar referendum pada tahun 1969 melalui mekanisme Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
"(Hasilnya) Papua Barat waktu itu Irian Barat, sah sebagai wilayah NKRI, bulat, sah, dan didukung oleh banyak negara oleh keputusan PBB," kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (3/9./2019).
Wiranto menambahkan lantaran status hukum ini juga yang membedakan Papua dan Papua Barat dengan Timor Leste.
"Opsi referendum bagi warga Timor Leste dimungkinkan karena Timor Leste ketika itu masih menjadi wilayah perwalian atau non-pemerintahan sendiri (non-governing territories) yang terdaftar pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)." kata Wiranto.
"Kalau bicara referendum, maka sebenarnya hukum internasional sudah tak ada lagi tempat untuk Papua (dan) Papua Barat kita suarakan referendum. Sebab, dalam hukum internasional, referendum itu bukan untuk wilayah yang sudah merdeka," jelasnya.
Wiranto juga menegaskan kalau sejumlah alasan yang sering dijadikan alasan desakan referendum di Papua dan Papua Barat juga tidak benar.
"Jadi tidak ada seperti berita yang disampaikan Benny Wenda di luar negeri bahwa Indonesia mengebiri hak rakyat Papua dan Papua Barat. Kalau setiap hari ada pembunuhan, pelanggaran HAM, Papua dianaktirikan, itu tidak benar!" kata Wiranto.
"Kalau berbicara hak-hak dasar warga papua tidak dipenuhi, hak politik, ekonomi, sosial, budaya merasa dikebiri oleh pemerintah misalnya itupun tidak benar dengan UU otonomi khusus (otsus) hak-hak dasar itu sudah diberikan silakan diatur sendiri oleh pemda disana dengan tetap mengacu hukum Indonesia. " tegasnya.
Wiranto membeberkan sejumlah pencapaian sebagai bukti komitmen pemerintah terutama sejak era Presiden Jokowi dalam membangun wilayah Papua dan Papua Barat.
"Pemerintah sudah cukup adil bahkan sangat adil karena khusus Papua dan Papua Barat dana yang digelontorkan [untuk pembangunan disana] cukup besar misalnya tahun lalu tercatat Rp 92 trilyun."
"Sementara dana pendapatan daerah yang tersedot [ke pusat] hanya Rp 26 trilyun, jadi ada subsidi dari pusat untuk pembangunan Papua dan Papua Barat," tegasnya.
Benny Wenda memprovokasi dari LN
Sebelumnya Wiranto secara terbuka menyebut Benny Wenda yang menjadi pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terlibat dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Benny Wenda, menurut pemerintah Indonesia menghasut dan memprovokasi sejumlah negara dengan menyebarkan informasi palsu terkait peristiwa tersebut.
"Benar bahwa Benny Wenda adalah bagian dari konspirasi masalah ini," ujar Wiranto.
Namun kepada CNN Indonesia, Benny Wenda menyangkal tuduhan itu dan balik menyerang Menkopohukam.
Menurutnya demonstrasi yang terjadi di Papua selama beberapa pekan terakhir ini terjadi secara spontan akibat ketidakadilan yang dirasakan warga di sana selama ini.
"Pemerintah Indonesia hanya berupaya mengalihkan perhatian dari kenyataan dengan menyalahkan saya," tuturnya.
Dia mendesak digelar referendum sebagai jalan keluar konflik di Papua. [yy/republika]