Fiqhislam.com - Masyarakat perlu mewaspadai tiga hal sumber penularan Covid-19 yang biasanya dilupakan dan dianggap remeh. Padahal, ketiga sumber tersebut dekat dalam kehidupan.
Ketua Aliansi Telemedia Indonesia, Purnawan, menyebut tiga sumber penularan Covid-19 yang biasanya tak disadari. Ketiga sumber tersebut meliputi barang-barang yang dikirim secara daring, uang tunai, serta interaksi cucu dengan kakek atau neneknya.
"Barang-barang yang kita terima secara online itu kan kita tidak tahu bagaimana prosesnya, bagaimana yang ngantar. Ini harus kita lakukan sebagai benda terinfeksi," kata Purnawan dalam dialog di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Ahad (29/3).
Purnawan menjelaskan, uang tunai dianggap sumber kedua penularan karena uang dipegang oleh banyak orang, berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Dengan demikian, uang tunai bisa menjadi perantara penularan Covid-19. Oleh karena itu, uang tunai perlu perlakuan khusus saat digunakan.
"Uang cash itu akan menular dari orang ke orang. Jadi, itu harus ada caranya. Kalau saya, saya pegang pakai plastik dan saya taruh di tempat khusus di rumah," ujar Purnawan.
Kemudian, pada interaksi kakek dan nenek dengan cucu juga berisiko terjadi penularan karena kakek dan nenek termasuk kelompok berisiko, yakni usia lanjut. Karena itu, untuk mencegah penularan, kakek atau nenek perlu menerapkan protokol kesehatan selama berinteraksi.
"Yang ketiga ini memang agak riskan juga ya. Itu cucu dari segi kesehatan. Kalau kakek itu rentan, cucu itu biasanya tahan," ucap Purnawan. "Tapi, dia (cucu) menjadi (carrier), jadi sementara hati-hati jika berhubungan dengan cucu. Jadi, kita harus selalu berhati-hati waspada. Cuci tangan, pakai masker, begitu."
Pemerintah melalui gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 meminta masyarakat tetap tinggal di rumah dan melakukan kegiatan produktif dengan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Selama di rumah, masyarakat diminta tetap menjaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan. Hal ini sebagai langkah pencegahan penyebaran virus corona sekaligus memutus mata rantai penularan penyakit Covid-19 itu. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Pentingnya Berpikir Positif Selama Jaga Jarak
Pentingnya Berpikir Positif Selama Jaga Jarak
Fiqhislam.com - Berpikir positif selama menjalankan social and physical distancing atau jaga jarak dengan tinggal di rumah dapat membantu menjaga kesehatan. Pasalnya, banyak hal yang bisa
"Makanya saya bilang, berpikir positif itu bagus, karena banyak hal yang bisa kita lakukan selama di rumah," kata Prof dr Purnawan Junaidi, MPh, PHd, dalam dialog di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Ahad (29/3).Purnawan juga memberikan kiat-kiatu ntuk menghalau kebosanan selama melakukan isolasi diri maupun 'physical distancing' di rumah. Menurutnya, agar tidak bosan, sebaiknya menjaga pikiran tetap positif, bertindak positif dan bersikap positif.
"Sikap positif ini baik terutama bagi kelompok usia lanjut yang tidak memiliki aktivitas kerja sehari-hari di rumah," katanya.
Untuk menjaga pikiran tetap positif, salah satu caranya adalah menyaring informasi yang diterima tentang Covid-19. Kemudian, dengan mendengarkan nasehat dan arahan dari pemerintah sebagai sumber terpercaya sehingga terhindar dari kabar-kabar bohong yang berseliwiran.
"Kita dengarkan nasehat dari pemerintah, banyak hoaks miliaran, tapi coba dengarkan nasehat yang bisa kita pegang salah satunya," kata Purnawan.
Untuk mendapatkan informasi yang benar, Purnawan menyarankan agar masyarakat mengikuti aplikasi kesehatan yang disediakan oleh 'start up' seperti Halodoc dan sebagainya. Menurutnya, seluruh 'start up' telemedis tersebut telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan BNPB untuk membantu masyarakat mendapatkan informasi yang akurat tentang COVID-19.
"Karena saya Ketua Aliansi telemedis Indonesia ikuti saja seluruh 'start up' yang ada karena kita sudah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan juga dengan BNPB," katanya.
Emeldah, Psikolog Klinis dari Ikatan Psikolog Klinis dan juga anggota Halodoc menyebutkan, kecemasan yang dialami oleh masyarakat selama menjalani 'social distancing' atau 'physical distancing' adalah hal yang normal. Menurut dia, situasi tersebut berdampak pada psikologis masyarakat menimbulkan rasa gelisah, hingga susah tidur dan sulit mengendalikan emosi, sampai suka marah-marah di rumah.
"Sebenarnya dengan gejala ini menurut kami adalah situasi yang normal dan itu adalah respon normal di kondisi yang tidak normal. Sekarang kita kondisi pandemi di seluruh dunia sedang terkena bencana alam jadi otomatis ada ketidakpastian ketakutan itu menimbulkan kecemasan," katanya. [yy/republika]Artikel Terkait:
Penanganan Covid-19 Indonesia Andalkan Herd Immunity?
Penanganan Covid-19 Indonesia Andalkan Herd Immunity?
Fiqhislam.com - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) dr Eka Ginanjar SpPD-KKV mengingatkan bahwa Indonesia punya angka kasus kematian (CFR) Covid-19 yang sangat tinggi, yakni di atas delapan persen. Dengan jumlah kasus 1.115, Indonesia berada pada peringkat ke lima negara dengan CFR Covid-19 tertinggi di dunia.
Kemungkinan penyebabnya, menurut Eka, hanya ada dua. Pertama, denominator terlalu rendah.
"Maksudnya, banyak kasus tidak terdeksi atau penyebarannya masih bebas," jelas Eka.
Kedua, fasilitas kesehatan tidak sanggup melayani karena sudah melebihi kapasitas. Bisa jadi, menurut Eka, keduanya juga terjadi berbarengan.
"Tinggal tunggu ledakan kematian dan kasusnya, kita sedang menghadapi jutaan kematian dalam dua minggu ke depan," ungkap Eka ketika dihubungi Republika.co.id, Sabtu.
Eka mengatakan, fakta itu penting untuk disampaikan ke masyarakat. Ia memaparkan, jika memakai hipotesis pertama, yakni CFR dunia 4,3 persen sebagai CFR Indonesia, maka dengan jumlah kematian 87, jumlah kasus sebenarnya (87x100)/4,3=2.023 kasus."Jadi sebenarnya kasus kita saat ini ada 2.000 lebih kasus dan hal ini akan menjadi blunder terbesar dalam sejarah bangsa ini," kata Eka yang dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan kardiovaskular.
Herd immunity korbankan satu generasi
Eka mengatakan, SARS-Cov-2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 merupakan virus corona tipe baru. Masih belum diketahui akan seperti apa mutasi akhirnya.
Di lain sisi, normalnya, herd immunity baru bisa tercapai bila populasi terinfeksi sekitar 70 persen. Artinya, 70 persen dari 270 juta warga Indonesia perlu terjangkit Covid-19 untuk tercipta imunitas kelompok.
Persentase tersebut mewakili 189 juta jiwa. Apabila CFR 3 persen saja, yang merupakan rata-rata dunia, maka korban meninggal 3 persen dikalikan 189 juta, yaitu sekitar 5,67 juta jiwa.
"Apakah mau mengorbankan segitu banyak nyawa? Itu kalau pakai CFR 3 persen, sementara saat ini CFR kita 8 sampai 10 persen," ujar Eka.Andaikan memakai hipotesis kedua, CFR Indonesia tampak tinggi sekali. Artinya, fasilitas kesehatan tidak siap..
Eka menjelaskan, herd lmmunity berarti membiarkan imunitas alami tubuh muncul hingga terbentuk daya tahan terhadap virus dan penyebaran virus diharapkan reda dengan sendirinya. Risikonya, menurut Eka, kematian massal bisa terjadi di kalangan usia produktif, sehingga menghilangkan sebuah generasi.
"Bayangkan, saat ini episentrum Covid-19 ada di Jabodetabek yang relatif memiliki fasilitas kesehatan lengkap saja, CFR sudah cukup tinggi. Bagaimana kalau di daerah? Bagaimana Papua dengan fasilitas kesehatan yang minim," katanya.Seperti dikutip The Independent, The Vaccine Knowledge Project at Oxford University mengatakan, imunitas kawanan "hanya bekerja" kalau mayoritas populasi telah divaksinasi terhadap suatu penyakit. Konsep ini juga tak mempan untuk seluruh penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin.
Organisasi tersebut mengungkapkan herd immunity tidak seperti vaksinasi. Kekebalan komunitas tidak memberikan tingkat perlindungan individual yang tinggi, sehingga itu bukanlah alternatif yang baik untuk menjadi imun.Tonia Thomas selaku manajer The Vaccine Knowledge Project, menjelaskan bahwa prospek pengembangan kekebalan terhadap suatu kondisi melalui infeksi daripada melalui vaksinasi, bisa berbahaya. Ia mengatakan, orang mungkin akan berisiko mengalami komplikasi dari penyakit infeksi yang dideritanya.
“Vaksin adalah cara yang lebih aman untuk mengembangkan kekebalan, tanpa risiko yang terkait dengan penyakit itu sendiri,” kata Thomas.Kembali ke Indonesia, jika tidak ada intervensi, menurut Eka, maka asumsinya pemerintah mengandalkan herd immunity. Ia mengajak untuk membayangkan apabila kedua hipotesis tersebut berjalan secara bersamaan saat konsep herd immunity dijalankan, yakni banyaknya kasus yang tak terdiagnosis dan fasilitas kesehatan yang tidak siap.
Ketika itu terjadi, artinya masih banyak kasus positif secara aktif menularkan ke orang lain. Dengan kata lain, Indonesia tidak melakukan intervensi terhadap kontrol penyebaran.
Di saat itu berlangsung, populasi berisiko tinggi Indonesia akan rawan terinfeksi, yakni populasi usia lanjut dan orang dengan riwayat penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, autoimun dan sebagainya. Virus corona tipe baru jelas merupakan ancaman nyata bagi mereka.
Eka mengungkapkan, sebenarnya masyarakat bisa digerakkan secara swadaya maupun dikoordinir pemerintah. Malaysia bisa menjadi contoh. Tidak memakai istilah karantina atau lockdown, Malaysia menjalankan movement control order (MCO) alias Perintah Kawalan Pergerakan atau Instruksi Pembatasan Gerak yang dijaga aparat kepolisian dan tentara.
"Begitu ada klaster besar di kampung atau satu daerah, langsung diberlakukan EMCO (Enhanced MCO)," kata Eka.Solusi untuk Indonesia
Untuk mengakhiri wabah Covid-19, menurut Eka, kuncinya ada pada pemutusan rantai penyebaran, terutama ke daerah-daerah karena pencegahan di Jabodetabek sudah terlambat. Kalau memungkinkan, pemerintah perlu melaksanakan UU No. 6 Tahun 2018, yaitu karantina wilayah.
Di samping itu, pemerintah harus meningkatkan kapasitas sistem kesehatan dengan tes cepat, massif, dan akurat. Pakar genetika harus dilibatkan karena sudah ada 900-an alat yang ada."Ini bisa dikonfirmasi ke dokter patologi klinik atau mikrobiologi atau memakai metode apa pun yang bisa cepat. Tapi yang paling penting setelah dicek, harus dilakukan clustering-containing. Jadi, untuk memutus penyebaran, perlu dilakukan tracing (pendeteksian), clustering (pengelompokan), containing (karantina)," papar Eka yang alumnus Universitas Indonesia.
Selanjutnya, Eka mengingatkan agar pemerintah meningkatkan kapasitas rumah sakit dengan perbanyak intensive care unit (ICU) dan ruang isolasi, termasuk ventilatornya."Ini membutuhkan waktu dan biaya, tetapi tetap perlu dilakukan," kata Eka.
Menurut Eka, usaha pemerintah memfungsikan Wisma Atlet Kemayoran sebagai rumah sakit darurat atau pengadaan rumah sakit isolasi lainnya memang bermanfaat, tetapi sekarang Indonesia bekejaran dengan usaha pemutusan penyebaran.
"Jadi tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri," ujarnya. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Virus Bisa Hancur dengan Pelarut Lemak dan Suhu Panas
Virus Bisa Hancur dengan Pelarut Lemak dan Suhu Panas
Fiqhislam.com - Ahli virus atau Virologist Mohammad Indro Cahyono mengatakan bahwa bagian luar virus terdiri dari glikoprotein. Bagian ini mudah hancur dengan cairan pelaruk lemat.
Pelarut lemak tersebut diantaranya sabun atau hand sanitizer untuk kebutuhan membersihkan tangan atau anggota tubuh. Sementara untuk menghancurkan virus di lingkungan bisa menggunakan pembersih lantai, cairan pencuci piring, dan satu lagi yang biasa disebut disinfektan untuk lingkungan di luar rumah. Disinfektan sendiri memiliki bermacam-macam kandungan, salah satu adalah glutaraldehyde.
"Banyak sekali yang bisa dipakai karena virus ini sendiri akan gampang hancur," ujarnya.
Selain itu, virus akan mudah hancur di bawah suhu panas. Indro mencontohkan, seperti di Indonesia dengan suhu rata-rata 26-30 derajat Celcius, virus itu tidak akan bertahan di bawah satu menit.
"Termasuk di tempat terang yang banyak cahaya, ada sinar matahari dia akan hancur. Jadi buat negara seperti Indonesia pada saat masih ada Matahari dari pagi sampai sore, jumlah paparan virus di lingkungan itu sangat kecil," pungkasnya. [yy/okezone]
Artikel Terkait: