Fiqhislam.com - Jenderal tertinggi Amerika Serikat (AS) Mark Milley, menegaskan bahwa konstitusi Amerika memberi presiden kekuasaan tunggal untuk meluncurkan serangan nuklir terhadap musuh negara.
Pernyataan ketua Kepala Staf Gabungan AS itu muncul setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengkhawatirkan kondisi mental Presiden Donald Trump . Kekhawatiran Pelosi disampaikan dua hari setelah massa pendukung Trump, di bawah hasutannya, menyerbu Gedung Capitol AS dan menutup Kongres yang sedang mengesahkan kemenangan Presiden terpilih Joe Biden pada Rabu lalu.
Pelosi, yang merupakan politisi Partai Demokrat, mengaku telah menghubungi panglima militer AS Jenderal Mark Milley untuk mendesaknya agar mencegah presiden mangakses kode rahasia peluncuran senjata nuklir.
Seperti yang diduga sudah dikatakan kepada Pelosi, Jenderal Milley Milley menyatakan bahwa konstitusi AS memberi presiden kekuasaan tunggal untuk meluncurkan senjata nuklir.
Kongres tidak boleh ikut campur, dan para pemimpin Pentagon, para jenderal dan warga sipil, terikat untuk menyampaikan perintahnya, apakah mereka setuju atau tidak.
Ke mana pun dia bepergian, presiden ditemani oleh seorang ajudan yang membawa “nuclear football", tas berisi instruksi, rencana serangan, dan kode untuk memulai serangan nuklir yang hanya dapat digunakan oleh presiden.
Mengingat kebutuhan untuk mempertimbangkan pembenaran, peralatan apa yang akan digunakan dan target apa yang dipilih, keputusan seperti itu biasanya akan dilakukan dengan berkonsultasi dengan kepala Pentagon.
Tapi begitu presiden memutuskan—apakah setelah banyak pertimbangan atau dalam kemarahan—baik militer maupun Kongres tidak dapat membatalkan perintah tersebut. Hal tersebut tertuang dalam laporan tentang komando dan kendali nuklir dari Badan Riset Kongres pada Desember lalu.
Serangan Harus Legal
Satu-satunya batasan pada pemimpin AS dalam kasus ini adalah legalitas serangan. Hukum perang akan mengizinkan seorang pejabat militer untuk menolak menjalankan perintah presiden untuk melakukan sesuatu yang ilegal.
“Tapi pertanyaan tentang legalitas perintah—apakah itu konsisten dengan persyaratan, di bawah hukum konflik bersenjata untuk keperluan, proporsionalitas, dan perbedaan—lebih cenderung mengarah pada konsultasi dan perubahan dalam tatanan presiden daripada penolakan oleh militer untuk melaksanakan perintah tersebut," bunyi laporan Badan Riset Kongres, seperti dikutip AFP, Sabtu (9/1/2021).
Jika presiden memutuskan untuk memerintahkan serangan, dia biasanya akan berkonsultasi dengan para panglima militer untuk mengetahui pilihannya.
Dalam “nuclear football", presiden akan menemukan opsi untuk peralatan penyerangan dan komunikasi untuk memesannya secara resmi.
Dia akan menggunakan kartu kode unik untuk dirinya sendiri, yang disebut "biscuit", untuk mengesahkan identitasnya sebagai panglima tertinggi Amerika yang diberi wewenang untuk memerintakan peluncuran serangan senjata nuklir.
Perintah peluncuran kemudian akan dikirim ke Komando Strategis AS, di mana seorang perwira akan mengonfirmasi bahwa itu berasal dari presiden dan eksekusi akan dilakukan.
Bisa jadi hanya dua menit dari perintah muncul hingga peluncuran rudal berhulu ledak nuklir berbasis darat, atau 15 menit dari rudal serupa berbasis kapal selam.
"Orang-orang dalam rantai komando mungkin secara teknis menolak untuk mematuhi perintah, tetapi perintah yang diverifikasi dianggap legal," kata Derek Johnson dari organisasi anti-nuklir Global Zero. “Tekanan untuk mematuhi akan sangat besar.”
Dalam semua ini, tidak ada pengecualian dalam sistem komando dan kendali nuklir untuk skenario di mana presiden dipandang tidak stabil secara mental dan mengabaikan nasihat para jenderalnya.
Dalam kasus itu, satu-satunya pilihan—yang diminta Pelosi dalam kasus Trump—adalah meminta Amandemen Konstitusi ke-25 untuk menggulingkan presiden dari kekuasaan. [yy/sindonews]
Artikel Terkait:
Respon Setiap Serangan AS
-
Iran: Jari Kami Sudah di Pelatuk untuk Respon Setiap Serangan AS
Fiqhislam.com - Ketua Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran , Mohammad Baqeri mengatakan, Teheran siap merespon setiap ancaman Amerika Serikat (AS). Dia memperingatkan bahwa pihaknya sudah "memiliki jari di pelatuk" untuk menanggapi setiap provokasi.
Baqeri, yang berbicara di sela-sela latihan Angkatan Darat Iran, mengecam pembangunan militer yang sedang berlangsung oleh apa yang dia sebut "militer teroris dan kriminal" AS di wilayah tersebut.
"Meskipun Iran tidak berniat melakukan tindakan agresi dan pelanggaran terhadap negara tetangga mana pun, negara itu sepenuhnya siap (untuk melawan) ancaman apa pun," ucap Baqeri, seperti dilansir Sputnik pada Rabu (6/1/2021).
"Angkatan Bersenjata heroik kita sedang berada di pelatuk, dan jika terjadi kesalahan sekecil apa pun oleh musuh, Angkatan Bersenjata pasti akan memberikan tanggapan yang tegas," sambungnya.
Sebelumnya, Komandan Divisi Kedirgantaraan Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), Amir-Ali Hajizadeh memperingatkan negara-negara Arab tertentu di kawasan itu terhadap konsekuensi merugikan dari kerja sama dengan AS.
Hajizadeh mengatakan, mereka akan mengalami kerusakan terbesar jika terjadi kemungkinan perang di wilayah tersebut. "Jika sesuatu terjadi di sini (di kawasan) dan perang pecah, kami tidak akan membedakan antara pangkalan AS dan negara-negara yang menampungnya," kata Hajizadeh. [yy/sindonews]
Keamanan Nasional AS Dalam Bahaya
-
Laptop Penuh Informasi Sensitif Dicuri Pendukung Trump, Keamanan Nasional AS Dalam Bahaya
Fiqhislam.com - Aksi penyerbuan yang dilakukan pendukung Donald Trump terhadap gedung Parlemen Amerika Serikat (AS) ternyata bisa berakibat cukup serius. Pasalnya, massa yang menerobos masuk dilaporkan mencuri laptop yang berisi data-data sensitif.
CBS News melaporkan bahwa laptop yang mungkin berisi informasi keamanan nasional yang sensitif termasuk di antara benda-benda yang dicuri ketika perusuh menggeledah kantor anggota parlemen.
Mereka dilaporkan mengobrak-abrik file komputer dan email, serta mencuri barang elektronik dan dokumen pribadi. Salah satu ruangan yang digeledah adalah ruangan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi.
Pengacara AS, Michael Sherwin membenarkan telah terjadi pencurian di Capitol Hill saat aksi penyerbuan pendukung Trump. Dia menuturkan, saat ini pendataan mengenai barang-barang yang hilang sedang dilakukan.
“Kami harus mengidentifikasi apa yang telah dilakukan, memitigasi itu, dan itu bisa memiliki potensi ekuitas keamanan nasional,” kata Sherwin, seperti dilansir Sputnik pada Sabtu (9/1/2021).
Menanggapi laporan itu, kepala petugas administrasi DPR AS atau CAO dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa mereka "mengambil beberapa tindakan" selama kerusuhan untuk melindungi infrastruktur digital Kongres.
Ini termasuk mengeluarkan perintah untuk mengunci komputer dan laptop dan mematikan akses jaringan kabel. "Saat ini belum ada indikasi jaringan DPR dibobol," kata pernyataan itu. [yy/sindonews]
Penyerbuan Parlemen
-
Erdogan: Penyerbuan Parlemen AS Adalah Aib
Fiqhislam.com - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyebut serangan terhadap gedung Parlemen Amerika Serikat (AS) oleh pendukung Donald Trump sebagai aib yang telah mengejutkan umat manusia. Ini adalah kecaman terbaru dari pemimpin dunia soal penyerbuan tersebut.
Erdogan sangat menyayangkan serangan, yang ditujukan untuk membatalkan kemenangan Joe Biden dan merupakan aib bagi negara yang merupakan tanah kelahiran demokrasi tersebut.
"Ini adalah aib bagi demokrasi. Kami berharap transisi ke Biden pada 20 Januari akan damai dan Amerika akan kembali damai," kata Erdogan dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Arabiya pada Sabtu (9/1/2021).
Dia kemudian menyampaikan belasungkawa kepada keluarga mereka yang tewas dalam serangan tersebut.
Seperti diketahui, total lima orang meninggal dalam kekerasan tersebut. Terbaru adalah seorang personel Kepolisian US Capitol, Brian Sicknick, telah meninggal karena luka-luka yang dideritanya.
Terkait dengan transisi, Trump mengumumkan bahwa dia akan mengalihkan kekuasaan kepada Biden pada 20 Januari, meskipun dia tidak setuju dengan hasil pemilihan negara itu. Pernyataan ini datang setelah Parlemen AS mengesahkan hasil pilpres AS.
"Meskipun saya sama sekali tidak setuju dengan hasil pemilu, dan fakta menunjukkan kepada saya, namun akan ada transisi yang tertib pada 20 Januari,"kata Trump dalam pernyataan yang diunggah di laman Twitter Wakil Kepala Staf Komunikasi dan Direktur Media Sosial Gedung Putih, Dan Scavino.
"Saya selalu mengatakan kami akan melanjutkan perjuangan kami untuk memastikan bahwa hanya suara sah yang dihitung. Sementara ini merupakan akhir dari masa jabatan pertama terbesar dalam sejarah kepresidenan, ini hanyalah awal dari perjuangan kami untuk membuat Amerika hebat lagi!" sambungnya. [yy/sindonews]