Fiqhislam.com - Perwakilan Permanen Libya untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kamis (19/11) mengatakan bahwa tentara bayaran masih dikerahkan di Libya dan mereka yang melakukan kejahatan perang harus diadili.
Berbicara dalam pertemuan telekonferensi yang digelar oleh Dewan Keamanan PBB tentang perkembangan terbaru di Libya, Taher al-Sunni mengatakan negaranya masih berurusan dengan serangan milisi jenderal Khalifa Haftar. Menurut Al-Sunni, warga tewas akibat bom ranjau yang ditempatkan di ibu kota Tripoli dan kuburan massal digali secara teratur.
Dia mengatakan aktivitas militer di wilayah kendali Haftar masih terus berlanjut, dan senjata dan tentara bayaran masih dikirim ke Sirte dan Jufra. Al-Sunni mencatat bahwa mereka yang melakukan kejahatan perang sejak 2011 harus dimintai pertanggungjawaban dan pembentukan dasar konstitusional untuk mengadakan pemilu pada akhir tahun depan perlu dipercepat.
Libya dilanda perang saudara sejak penggulingan Muammar Gaddafi pada 2011. Pemerintahan baru didirikan pada tahun 2015 di bawah perjanjian yang dipimpin PBB, tetapi upaya penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh pasukan Haftar.
Dengan bantuan Turki, Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB, yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj, memperoleh kemenangan secara signifikan melawan pasukan Haftar dalam beberapa bulan terakhir. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Rusia & Milisi Libya
Rusia Cegah PBB Masukkan Milisi Libya ke Dalam Daftar Hitam
Fiqhislam.com - Rusia pada Jumat (21/11), menghentikan sebuah komite Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang hendak memasukkan kelompok milisi Libya dan pimpinannya ke dalam daftar hitam terkait pelanggaran hak asasi manusia.
Rusia menyebut ingin melihat lebih banyak bukti bahwa mereka telah membunuh penduduk sipil terlebih dahulu sebagai alasannya. Amerika Serikat dan Jerman mengusulkan agar komite sanksi Libya yang beranggotakan 15 orang di dewan itu memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap milisi al-Kaniyat dan pemimpinnya Mohammed al-Kani. Langkah tersebut harus disepakati dengan konsensus, tetapi Rusia menyatakan tidak dapat menyetujuinya.
"Mungkin kami akan mendukung di masa mendatang, tetapi dikondisikan oleh penyediaan bukti yang tak terbantahkan tentang keterlibatan mereka dalam pembunuhan penduduk sipil," kata seorang diplomat Rusia kepada rekan-rekannya di Dewan Keamanan dalam catatan yang dilihat oleh Reuters.
Kota Tarhouna di Libya, yang direbut kembali pada Juni oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional, selama bertahun-tahun dikendalikan oleh milisi Kaniyat yang dijalankan oleh keluarga Kani setempat, yang bertempur bersama Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar yang berbasis di timur. Bulan lalu, otoritas Libya menggali 12 mayat dari empat kuburan tak bertanda lainnya di Tarhouna, yang menjadi tambahan di atas sejumlah mayat yang sudah ditemukan sejak Juni.
Libya terpuruk ke dalam kekacauan setelah penggulingan pemimpin Muammar Gaddafi yang didukung NATO pada 2011. Bulan lalu, dua pihak utama dalam perang negara itu, yakni GNA dan LNA, menyetujui gencatan senjata.
Turki mendukung GNA. Rusia, Uni Emirat Arab, dan Mesir mendukung LNA. Kekuatan asing tersebut telah dikutip dalam dokumen PBB sebelumnya sebagai pemasok senjata yang bertentangan dengan embargo senjata.
Amerika Serikat dan Jerman menulis dalam usulan sanksi bahwa kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional dan misi politik PBB di Libya, yang dikenal sebagai UNSMIL, telah "menerima laporan tentang ratusan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh milisi al-Kaniyat terhadap individu swasta, pejabat negara, pejuang yang ditangkap, dan aktivis masyarakat sipil di Tarhouna."
"Di bawah kepemimpinan Mohammed al-Kani, milisi al-Kaniyat dilaporkan telah melakukan penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan. Selain itu, UNSMIL memverifikasi sejumlah eksekusi tanpa peradilan (summary executions) di Penjara Tarhouna yang dilakukan oleh milisi al-Kaniyat pada 13 September 2019," ujar usulan tersebut. [yy/republika]