Fiqhislam.com - Sebuah saluran TV Prancis menghapus berita reportase dari website-nya tentang konflik di Karabakh Atas atau Nagorno-Karabakh, bagian dari wilayah Azerbaijan yang secara ilegal diduduki oleh Armenia selama hampir 30 tahun.
Video berjudul "Nagorno-Karabakh: Wawancara di garis pertempuran" yang berdurasi dua menit di saluran TV "TF1" itu berisi tentang gambar-gambar upaya pembebasan wilayah Azerbaijan dari pendudukan Armenia.
Berita tersebut memperlihatkan kemajuan tentara Azerbaijan dalam membebaskan tanahnya dan menyebut pasukan Armenia di Nagorno-Karabakh sebagai pasukan "separatis".
Laporan itu juga berisi detil lainnya seperti rumah-rumah yang dihancurkan dan tewasnya warga sipil dan hewan ternak oleh serangan tentara Armenia. Liputan tersebut juga berisi wawancara dengan seorang tentara Azerbaijan yang mengatakan bahwa mereka memiliki semangat tinggi dan pihaknya memiliki keunggulan militer.
Tentara Azerbaijan lainnya mengatakan bahwa tentara Armenia melepaskan senjata mereka dan melarikan diri. Laporan tersebut juga menampilkan gambar warga sipil Azerbaijan yang membawa bendera Turki dan berterima kasih kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan atas dukungannya yang tiada henti.
Duta Besar Turki untuk Prancis Ismail Hakki Musa memuji berita tersebut dan berterima kasih kepada TF1 atas liputan mereka yang objektif dan tidak memihak.
"Inisiatif berani yang meruntuhkan propaganda Armenia," puji Musa terhadap laporan itu, sebelum dihapus tanpa pemberitahuan atau penjelasan apapun.
Konflik Karabakh
Gencatan senjata yang kedua di Nagorno-Karabakh dimulai pada 27 September.
Hubungan antara kedua negara bekas Uni Soviet itu tegang sejak 1991, ketika militer Armenia menduduki Upper Karabakh, wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional.
Sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan berada di bawah pendudukan ilegal Armenia selama hampir tiga dekade.
OSCE Minsk Group - diketuai bersama oleh Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat - dibentuk pada 1992 untuk menemukan solusi damai atas konflik tersebut, tetapi upaya itu tak kunjung berhasil.
Gencatan senjata, bagaimanapun, disetujui pada tahun 1994.
Sejumlah resolusi PBB serta organisasi internasional menuntut penarikan pasukan pendudukan dari wilayah tersebut. [yy/republika]
Artikel Terkait:
AS Gagal Mediasi
AS Gagal Mediasi Armenia dan Azerbaijan
Fiqhislam.com - Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo telah melakukan pertemuan dengan Menlu Armenia Zohrab Mnatsakanyan dan Menlu Azerbaijan Jeyhun Bayramov. Mereka membahas tentang konflik di wilayah Nagorno-Karabakh.
Dalam pertemuan tersebut, Pompeo menekankan perlunya mengakhiri kekerasan dan melindungi warga sipil. "Keduanya harus menerapkan gencatan senjata dan kembali ke negosiasi substantif," ujarnya melalui akun Twitter pribadinya pada Jumat (23/10).
Kendati demikian, seusai pertemuan tersebut tak ada kesepakatan yang diumumkan terkait penghentian konfrontasi di Nagorno-Karabakh. Sebelumnya Pompeo sempat mengatakan bahwa situasi terkait konflik di Nagorno-Karabakh memang rumit. "Ini adalah situasi diplomatik yang rumit," ucapnya awal pekan ini.
Sebelumnya Rusia sempat berhasil mendorong Armenia dan Azerbaijan untuk menyepakati gencatan senjata. Namun hal itu tak berlangsung lama. Pertempuran kembali berlangsung. Kedua negara saling tuding sebagai pihak pertama yang melanggar gencatan senjata.
Sejak 27 September lalu, Armenia dan Azerbaijan terlibat pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Konflik Armenia dan Azerbaijan di wilayah itu sebenarnya telah berlangsung sejak awal dekade 1990-an.
Persengketaan wilayah mulai muncul setelah Uni Soviet runtuh. Dari 1991-1994, pertempuran kedua negara diperkirakan menyebabkan 30 ribu orang tewas.
Pada 1992, The Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Minsk Group dibentuk. Badan yang diketuai bersama oleh Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) itu bertugas memediasi serta menemukan solusi damai untuk mengakhiri konflik Armenia-Azerbaijan di Nagorno-Karabkah.
Gencatan senjata berhasil disepakati pada 1994. Namun hingga kini kedua negara belum bersedia terikat dalam perjanjian perdamaian. [yy/republika]