Fiqhislam.com - Rusia dan Turki adalah dua negara utama yang terseret dalam konflik Armenia-Azerbaijan. Sejak pertempuran terbaru antara Armenia dan Azerbaijan pecah pekan lalu, Ankara telah menegaskan dukungannya kepada Azeri.
Direktur program Kaukasus di organisasi pembangunan perdamaian Conciliation Resources, Laurence Broers mengungkapkan, tidak seperti pada eskalasi sebelumnya, Azerbaijan memiliki tingkat dukungan Turki yang lebih besar untuk diandalkan. "Sejak pertempuran dimulai pada Ahad (27/9), Turki telah menyatakan dukungan tanpa syarat kepada Azerbaijan, dan tampaknya memberikan Azerbaijan berbagai jenis kemampuan militer. Ada sedikit keraguan bahwa teknologi drone militer Turki yang sangat diperhitungkan sedang dikerahkan," ucapnya, dikutip laman BBC, Rabu (30/9).
Armenia sebelumnya telah menuding Turki menembak jatuh pesawat SU-25 miliknya pada Selasa (29/9). Namun Ankara telah membantah tuduhan tersebut. Turki pun dikabarkan telah memobilisasi tentara bayaran dari Suriah untuk berperang demi Azerbaijan. Kabar tersebut belum terkonfirmasi seutuhnya.
Turki secara tradisional memberikan dukungan moral dan diplomatik kepada sesama bangsa Turk dan mitra geo-strategis utama Azerbaijan. Kontak antara pejabat pertahanan kedua negara semakin intensif setelah bentrokan yang terjadi pada Juli lalu. Setelah itu, kedua negara mengadakan latihan militer bersama.
Sementara itu, Rusia memainkan peran yang beragam, tak jarang pula kontradiktif, dalam konflik Armenia-Azerbaijan. Melalui hubungan bilateral dan the Collective Security Treaty Organisation, Moskow memberi Armenia jaminan keamanan. Namun, itu tidak mencakup zona pertempuran di Nagorno-Karabakh, yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan. Moskow juga memasok senjata ke kedua belah pihak dan merupakan salah satu ketua bersama Grup Minsk yang menengahi konflik Armenia-Azerbaijan.
"Rusia telah menyerukan gencatan senjata, tetapi tidak seperti eskalasi skala besar sebelumnya, Rusia belum mengadakan pertemuan kepemimpinan politik atau militer Armenia dan Azerbaijan," kata Laurence Broers.
Menurut dia, setelah masa jabatan mantan perdana menteri Nikol Pashinyan berakhir pada 2018, Rusia memiliki hubungan yang kurang erat dengan kepemimpinan Armenia. Yerevan tidak diragukan lagi lebih suka menangani eskalasi dengan caranya sendiri. "Pada 1990-an Rusia tidak mampu mengerahkan pasukan penjaga perdamaian di wilayah Nagorno-Karabakh. Keraguan Armenia bahwa bantuan Moskow akan datang dengan pamrih mendorong kehati-hatian dalam meminta dukungan Rusia," ujar Broers.
Ia berpendapat selama pertempuran berada di wilayah yang diperebutkan di dan sekitar Nagorno-Karabakh, optik untuk menjaga kenetralan Rusia membuat keterlibatan terbuka Moskow menjadi tidak mungkin. Namun, konflik yang lebih lama dengan peningkatan partisipasi Turki akan mengancam dominasi Rusia di wilayah yang dianggapnya sebagai bagian dari bidang kepentingan istimewanya, dan mengundang tanggapan.
"Semakin lama pertempuran berlangsung, dan atau jika satu pihak terlihat kalah dalam perjuangan yang lebih berlarut-larut, semakin besar kemungkinan Rusia dan Turki akan menghadapi pilihan sulit apakah akan lebih terlibat," kata Broers.
Sejak Ahad (27/9) lalu, pasukan Armenia dan Azerbaijan terlibat pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Sejauh ini terdapat lebih dari 100 kematian yang dikonfirmasi di antara warga sipil dan tentara Armenia. Azerbaijan belum merilis data tentang kerugian militernya, tetapi dapat diasumsikan ia mengalami hal yang sepadan.
Konflik antara Armenia dan Azerbaijan dimulai pada Februari 1988, tepatnya ketika Daerah Otonomi Nagorno-Karabakh mengumumkan pemisahannya dari SSR (Republik Sosialis Soviet) Azerbaijan. Selama konflik 1992-1994, Azerbaijan kehilangan kendali atas Nagorno-Karabakh dan tujuh wilayah yang berdekatan. Sejak 1992, telah dilakukan negosiasi penyelesaian konflik secara damai dalam kerangka OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) Minsk Group yang diketuai oleh Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis. Namun, dorongan besar terakhir untuk kesepakatan damai gagal pada 2010. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Berkonflik Lebih Lama
Azerbaijan dan Armenia Dinilai Ingin Berkonflik Lebih Lama
Fiqhislam.com - Pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh telah menarik perhatian dunia internasional. Konfrontasi antara kedua negara sejak pekan lalu merupakan yang terburuk dalam empat tahun terakhir.
Direktur program Kaukasus di organisasi pembangunan perdamaian Conciliation Resources, Laurence Broers mengatakan pertempuran terbaru tampaknya didorong oleh upaya pasukan Azerbaijan untuk merebut kembali sebagian wilayah yang diduduki pasukan Armenia dalam perang Karabakh setelah Uni Soviet runtuh. Ratusan ribu etnis Azeri mengungsi dari daerah tersebut pada tahun 1992-1994.
Eskalasi terjadi setelah adanya retorika perang dan bentrokan di wilayah utara perbatasan internasional Armenia-Azerbaijan pada Juli lalu. Daerah berpenduduk di wilayah yang diperebutkan Nagorno-Karabakh telah dilanda serangan rudal dan pemboman untuk pertama kalinya sejak 1990-an. Sasaran sipil di Armenia dan Azerbaijan juga telah diserang. "Kedua belah pihak tampaknya sedang menggali untuk konflik yang lebih lama," kata Broers, dikutip laman BBC pada Rabu (30/9).
Dia mengatakan Azerbaijan telah menolak negosiasi baru dengan Armenia. Tidak seperti sebelumnya, Azerbaijan pun memperoleh dukungan yang lebih besar dan kuat dari Turki. "Bahayanya adalah bahwa konflik yang lebih lama dan berlarut-larut akan meningkatkan keterlibatan kekuatan luar, mempertaruhkan perang regional yang lebih luas," ucapnya.
Menurut Broers, keberhasilan militer yang cepat dan terkonsolidasi, baik melalui perebutan kembali wilayah yang signifikan oleh Azerbaijan atau penumpasan operasi Azerbaijan oleh pasukan Armenia, dapat membuka ruang lingkup untuk gencatan senjata. Namun hal itu tentu memicu ketidakstabilan domestik.
Sejak Ahad (27/9) lalu, pasukan Armenia dan Azerbaijan terlibat pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Sejauh ini terdapat lebih dari 100 kematian yang dikonfirmasi di antara warga sipil dan tentara Armenia. Azerbaijan belum merilis data tentang kerugian militernya, tetapi dapat diasumsikan ia mengalami hal yang sepadan.
Konflik antara Armenia dan Azerbaijan dimulai pada Februari 1988, tepatnya ketika Daerah Otonomi Nagorno-Karabakh mengumumkan pemisahannya dari SSR (Republik Sosialis Soviet) Azerbaijan. Selama konflik 1992-1994, Azerbaijan kehilangan kendali atas Nagorno-Karabakh dan tujuh wilayah yang berdekatan. Sejak 1992, telah dilakukan negosiasi penyelesaian konflik secara damai dalam kerangka OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) Minsk Group yang diketuai oleh Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis. Namun, dorongan besar terakhir untuk kesepakatan damai gagal pada 2010. [yy/republika]
Macron
Macron Mengecam Dukungan Turki untuk Azerbaijan
Fiqhislam.com - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengutuk pernyataan sembrono dan berbahaya dari keputusan Turki yang mendukung Azerbaijan, Rabu (30/9). Dia memilih untuk mengulurkan tangan membantu Armenia.
"Saya telah mencatat pernyataan politik Turki yang menurut saya sembrono dan berbahaya," kata Macron di ibu kota Latvia, Riga, selama kunjungan ke negara bagian Baltik Uni Eropa.
Ankara sebelumnya telah menyatakan siap sepenuhnya untuk membantu Baku memulihkan kondisi di Nagorno Karabakh. Keputusan Ini dinilai sebagai komentar yang seharusnya tidak dikeluarkan.
"Prancis tetap sangat prihatin dengan komentar kasar yang dibuat Turki dalam beberapa jam terakhir, yang pada dasarnya menghilangkan segala hambatan dari Azerbaijan dalam apa yang akan menjadi penaklukan kembali Karabakh utara. Itu tidak akan kami terima," ujar Macron.
Dikutip dari Arab News, Macron juga menyuarakan dukungan untuk Yerevan. "Saya katakan kepada Armenia dan kepada orang Armenia, Prancis akan memainkan perannya," ujar Macron.
Meski menyatakan uluran tangan kepada Armenia, Macron juga mengatakan terlalu dini untuk berbicara tentang konflik regional. Dia mengatakan akan membahas ketegangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu malam dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Kamis (1/10) sebelum melaporkan situasinya kepada para pemimpin Dewan Eropa Uni Eropa.
Armenia dan Azerbaijan selama beberapa dekade dalam sengketa wilayah atas Karabakh dan saling menyalahkan karena memicu bentrokan sengit yang meletus pada Ahad (27/9). Sejak itu, dilaporkan konflik yang terus memanas ini menyebabkan hampir 100 kematian yang dikonfirmasi.
Kedua belah pihak menentang seruan untuk gencatan senjata. Padahal, Dewan Keamanan PBB meminta kedua belah pihak untuk segera mengakhiri pertempuran. Sedangkan Uni Eropa memperingatkan kekuatan regional untuk tidak ikut campur dalam pertempuran di Nagorno Karabakh dan mengutuk eskalasi serius yang mengancam stabilitas regional. [yy/republika]