Fiqhislam.com - Sebagian kalangan menilai normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Israel bisa membuka jalan perdamaian di Timur Tengah. Akan tetapi, Rusia menyatakan, adalah pemikiran keliru jika beranggapan perdamaian abadi di Timur Tengah dapat dicapai tanpa menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia itu muncul setelah Israel menormalisasi hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) di Gedung Putih, AS, Selasa (15/9/2020) waktu Amerika. Rusia mengaku telah mencatat “kemajuan” dalam normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab itu. Akan tetapi, pemerintah negeri beruang merah menyatakan, persoalan Palestina tetap menjadi “masalah yang akut”.
“Adalah kesalahan untuk berpikir bahwa tanpa menemukan solusi untuk (konflik Israel-Palestina) itu, akan mungkin untuk mengamankan stabilitas yang langgeng di Timur Tengah,” demikian pernyataan Kemlu Rusia, seperti dikutip AFP, Kamis (17/9/2020).
Karena itu, Moskow mendesak para pemain di level regional dan global untuk meningkatkan upaya terkoordinasi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Rusia menyatakan siap untuk kerja sama seperti itu, termasuk dalam kerangka kuartet diplomatik negosiator perdamaian Timur Tengah dan dalam koordinasi yang erat dengan Liga Arab.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengatakan, kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik Israel yang ditengahi AS tidak hanya dengan Bahrain dan UEA. Menurut dia, akan ada kesepakatan serupa antara negara Yahudi itu dan beberapa negara lain, termasuk Arab Saudi.
Bahrain dan UEA adalah negara Arab pertama yang menjalin hubungan dengan Israel setelah Mesir melakukan hal serupa pada 1979 dan Yordania pada 1994. Pemimpin Palestina Mahmud Abbas pada Selasa lalu mengatakan, satu-satunya jalan yang dapat membawa perdamaian di Timur Tengah adalah penarikan diri Israel dari wilayah pendudukannya di Tanah Palestina. [yy/iNews]
Artikel Terkait:
Pendapat Sekjen PBB
Sekjen PBB: Normalisasi Buka Peluang Selesaikan Masalah Israel-Palestina
Fiqhislam.com - Kesepakatan normalisasi yang baru-baru ini ditandatangani antara Israel dan dua negara Teluk Arab merupakan peluang untuk kemajuan dalam mencapai solusi dua negara. Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.
Perjanjian tersebut, yang telah menghadapi pertentangan luas dari para pemimpin Palestina, telah menunda rencana aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel. Menurut Guterres, ini adalah hasil yang sangat penting.
Jika Israel bergerak maju dengan rencana aneksasi yang bertentangan dengan hukum internasional, Guterres menyatakan itu akan merusak prospek solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, yang menurut PBB adalah satu-satunya solusi nyata.
"Pencaplokan itu ditangguhkan, dan kami yakin ini adalah momen di mana penting bagi Palestina dan Israel untuk memulai kembali dialog mereka guna menemukan solusi politik yang sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan dan perbedaannya," kata Guterres, seperti dilansir Anadolu Agency pada Kamis (17/9/2020).
"Saya yakin, terlepas dari pendapat yang mungkin ada tentang perjanjian itu, akan sangat penting bagi Palestina dan Israel untuk terlibat dalam negosiasi langsung untuk perdamaian di Timur Tengah," sambungnya.
Israel secara resmi menandatangani perjanjian untuk membuka sepenuhnya hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) dalam sebuah upacaya yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump di Gedung Putih.
Bahrain menjadi negara Arab keempat yang menjalin hubungan diplomatik, setelah Mesir pada 1979, Yordania pada 1994 dan UEA pada Agustus. [yy/sindonews]
Artikel Terkait: