Fiqhislam.com - Dalam dua dekade terakhir, dapat diidentifikasi pola baru konstelasi politik di Timur Tengah (Timteng), khususnya di negara Teluk. Ini terkait hubungan Teluk dengan Israel. Hampir semua negara Teluk terindikasi memiliki kesediaan menjalin hubungan baik dengan Israel.
Beberapa tahun terakhir, Arab Saudi bekerja sama dengan Tel Aviv di bidang intelijen. Qatar pun salah satu mitra dagang terpenting Israel sejak 2000-an. Baru-baru ini, mantan penguasa Oman, Sultan Qabus, menyambut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Uni Emirat Arab (UEA) menandatangani beberapa kesepakatan dengan perusahaan keamanan Israel dan bekerja sama dengan Israel di banyak bidang dan diformalkan dengan dibangunnya hubungan diplomatik baru-baru ini.
Setelah UEA, satu lagi negara Teluk yang membangun hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Bahrain. Presiden AS Donald Trump pada Jumat (11/9), mengumumkan, Israel dan Bahrain menyetujui hubungan diplomatik penuh.
Keputusan Hamad bin Isa al-Khalifa sebagai penguasa wilayah paling kecil di kawasan Teluk ini, kontroversial. Kecaman dunia Islam pasti mengalir kepadanya. Teriakan penolakan lambat laun akan bergemuruh. Tensi politik di Timur Tengah pun akan kian panas.
Mengingat, opini publik yang berkembang sampai saat ini, khususnya di dunia Islam, menolak segala bentuk kerja sama dengan Israel karena dianggap pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. Bisa dipastikan, narasi paling banyak muncul merespons langkah politik ini, negara Teluk tidak lagi berpihak pada rakyat Palestina. Bukankah penderitaan rakyat Palestina merupakan penderitaan umat Islam sedunia?
Berbagai analisis muncul untuk menguak motif Bahrain menjalin hubungan dengan Israel. Salah satunya, dari perspektif sektarianisme. Variabel Suni-Syiah berpengaruh pada mengkristalnya konflik di Timteng saat ini.
Cara pandang negara Teluk dalam meng ambil langkah politik, ditentukan kedua variabel ini. Dalam konflik Yaman, misalnya, Iran berandil cukup besar, dengan mendukung kelompok bersenjata Houthi.
Begitu pula di Lebanon. Hizbullah yang memiliki kekuatan militer sangat besar disokong Iran. Fakta-fakta ini membuat negara Teluk dan aliansinya berpikir keras menghentikan dominasi Iran dan jaringan Syiahnya di Timteng. Berdasarkan model analisis di atas, bisa dibaca langkah negara Teluk, meliputi Arab Saudi, UEA, dan Bahrain adalah langkah pragmatis untuk menghadapi dominasi Iran.
Di surat kabar Times of Israel, disampaikan menteri luar negeri Bahrain, "Dalam sejarah politik terakhir, tantangan paling berbahaya kita hadapi adalah Iran". Bahkan menurut dia, Iran ancaman besar bagi Timur Tengah dibandingkan Israel dan masalah Palestina.
Selain merespons Iran, pasca-Musim Semi Arab, ketakutan terhadap potensi jaringan Ikhwanul Muslimin naik ke tampuk kekuasaan di negara besar Timur Tengah, seperti Mesir, Libya, dan Tunis melahirkan aliansi baru yang dipimpin Saudi dan Mesir. Kekuatan baru kelompok Islam politik yang disokong Turki juga menjadi alasan negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC) dan Israel untuk lebih sejalan. Selain sektarian, Bahrain memperhitungkan aspek lain, yaitu ekonomi.
Di wilayah yang bergejolak secara politik dan tidak stabil secara ekonomi ini, Bahrain meng alami masa sulit. Dalam beberapa ta hun terakhir, Bahrain di-bail out dengan paket stimulus 10 miliar dolar AS, yang dikirim bertahap oleh Saudi, UEA, dan Kuwait.
Kalau ditarik ke belakang, sebelum menormalisasi hubungan dengan Israel, Bahrain negara paling antusias di kawasan Teluk yang akan melakukan normali sasi setelah UEA. Banyak yang memperkirakan, itu dilakukan beberapa saat setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan sebelum pemilu AS pada November. Karena itu, keinginan Bahrain berhubungan diplomatik dengan Israel tidak lepas dari peran AS.
Di sisi lain, faktor utama normalisasi Teluk-Israel adalah poros aliansi UEA-Saudi yang terbangun melalui penguasa de facto kedua negara, yaitu Mohammed bin Zayed dan Mohammed bin Salman. Langkah Bahrain tak dapat dipisahkan dari poros UEA-Saudi. Bahrain berhitung, normalisasi menguntungkan secara politik dan ekonomi daripada netral atau pro ke kubu lainnya.
Pada kenyataannya, terbentuk pola hubungan baru antara negara Teluk-Israel dengan berbagai motif. Namun, tidak jelas bagaimana penguasa Teluk mengatasi risiko yang muncul dengan kedekatannya dengan Israel.
Harus menjadi catatan penting bagi aliansi ini, opini publik tidak bisa dipisahkan dari keprihatinan terhadap nasib bangsa Palestina. Persoalan Israel-Palestina yang dipahami khalayak adalah persoalan kema nusiaan, kedaulatan, dan hak asasi manusia. Jangan sampai karena pragmatisme sektarian, ekonomi, dan politik lalu melupakan perannya membebaskan rakyat Palestina dari penderitaan dan penindasan hak-haknya. [yy/republika]
Oleh Mulawarman Hannase
- Pengamat Timur Tengah dan Dosen Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Artikel Terkait:
Penyelesaian Konflik
Jalan Penyelesaian Konflik Israel-Palestina Masih Panjang
Fiqhislam.com - Wakil Presiden Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jon Alterman mengatakan normalisasi negara-negara Arab dengan Israel tidak akan serta merta menyelesaikan masalah Palestina. Menurutnya, masih diperlukan waktu untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade tersebut.
Alterman mengungkapkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memiliki peran cukup penting dalam normalisasi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Dia menilai, itu merupakan "dedikasi yang tidak biasa untuk diplomasi tradisional di pihak pemerintahan Trump".
Kesepakatan antara Israel dan UEA, misalnya, menunjukkan pemerintahan Trump mampu melakukan manuver diplomatik di luar mengerjakan "sesuatu dengan cepat dengan keterlibatan presiden". Namun Alterman menekankan kekhawatiran tetap mengenai proses perdamaian Israel-Palestina.
Dia menyebut perjanjian normalisasi dapat membuka jalan bagi negara-negara Arab besar lainnya untuk menormalkan hubungan dengan Israel tanpa membahas masalah mendasar dari konflik tersebut. "Jalan kita masih panjang untuk menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lama ini. Saya berharap ini akan menandai upaya untuk melipatgandakan usaha daripada mengklaim bahwa hal itu diselesaikan," kata Alterman, dikutip laman Aljazirah, Senin (14/9).
Pada 13 Agustus lalu, Israel dan UEA menyepakati perjanjian normalisasi diplomatik. Proses tersebut dimediasi oleh AS. Menurut Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammad bin Zayed Al Nahyan, dengan tercapainya kesepakatan normalisasi, Israel setuju menghentikan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menegaskan rencana tersebut tak sepenuhnya disingkirkan. Dia mengatakan akan tetap menjalin koordinasi dengan AS perihal pencaplokan Tepi Barat. Washington, melalui rencana perdamaian Timur Tengah yang digagas pemerintahan Trump, siap mengakui kedaulatan Israel atas sebagian wilayah Tepi Barat.
Belum genap sebulan pasca kesepakatan UEA, Israel berhasil mencapai perjanjian normalisasi dengan Bahrain pada Jumat (11/9). Sama seperti sebelumnya, AS memainkan peran penting dalam proses normalisasi Israel dengan Bahrain.
Dalam pernyataan bersama yang dirilis AS, Israel, dan Bahrain, disebutkan mereka akan tetap memikirkan penyelesaian konflik Israel-Palestina. Ketiga negara bertekad mencapai "resolusi yang adil, komprehensif, dan langgeng guna memungkinkan rakyat Palestina mencapai potensi penuh mereka". [yy/republika]