pustaka.png
basmalah2.png


10 Rabiul-Awwal 1445  |  Senin 25 September 2023

Arti Mukallaf Menurut Ulama Ushul Fiqih

Arti Mukallaf Menurut Ulama Ushul Fiqih

Fiqhislam.com - Islam mengenal adalah istilah mukallaf. Para ulama ushul fikih mengatakan bahwa mukallaf adalah sebutan bagi seseorang yang perbuatannya dikenai khitab oleh Allah SWT atau bisa disebut juga sebagai mahkum 'alaih.

Hal ini dijelaskan oleh Muchtim Humaidi dalam buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Periodisasi, Sumber, dan Metode Istinbath Hukum. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum.

Dalam ushul fikih, istilah mukallaf disebut juga mahkum 'alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangannya.

Dalam definisi sederhana, mukallaf adalah orang yang dikenai beban syariat. Muhammad Jawad Mughniyah mengatakan dalam Kitab Al-Fiqh 'ala al-madzahib al-khamsah, yang termasuk mukallaf adalah orang yang sudah baligh dan berakal.

Adapun seseorang dikatakan mukallaf jika telah memenuhi kriteria dan syarat-syarat tertentu, di antaranya:

1. Mukallaf dapat memahami dalil atas beban yang ditanggung atau diperintahkan (dalil taklif) baik itu berupa nash-nash Al-Qur'an atau sunnah, baik itu secara mandiri maupun melalui perantara orang lain.

2. Mempunyai ahliyat al-ada', yaitu suatu kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perintah atau bertindak secara hukum atau memikul beban taklif.

Adanya kecakapan inilah seseorang disebut sebagai mukalaf yang artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, ia bisa diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan, bahkan ia memiliki konsekuensi atas perilakunya.

Kecakapan seperti itu baru dimiliki seseorang jika ia baligh, berakal sehat bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti keadaan tertidur, hilang akal (gila), terpaksa dan lupa.

Agus Hermanto dan Rohmi Yuhani'ah dalam buku Ushul Fikih: Metode Ijtihad Hukum Islam menambahkan mengenai syarat bagi seorang mukallaf.

Dijelaskan, seorang mukallaf diharuskan untuk mempunyai ahliat al-wujub yaitu kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Maksudnya adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain, kewajiban adalah sesuatu yang harus adalah kepatutan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain.

Dasar kepatutan itu adalah kemanusiaan. Oleh karena itu, sesama manusia baik laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila maupun sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya adalah ahliyatul wujub.

Imron Rosyadi dan Muhammad Muinudinillah Basri dalam buku Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah menjelaskan, perbuatan seorang mukallaf merupakan perbuatan yang bukan berhubungan dengan akidah dan akhlak.

Lebih lanjut dijelaskan, dalam konteks ushul fikih yang membuat hukum biasa disebut dengan asy-Syar'i (al-Hakim). Terdapat tiga pembuat hukum yaitu Allah SWT sebagai syar'i pertama, Rasulullah SAW sebagai syar'i kedua, dan yang terakhir adalah para ulama.

Pembagian Hukum Syar'i

1. Hukum Taklifi

Para ulama ushul fikih mendefinisikan hukum taklifi sebagai berikut,

هُوَ مَا اقْتَضَى فِعْلاً مِنَ المُكَلَّفِ، أو كَفَهُ عَنْ فِعْلٍ، أو تَخيِيرَهُ بَيْنَ الْفِعْلِ والكَتِ عَنْهُ

"Hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan (dari Allah, Rasul-Nya dan ulama) yang terkait dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berisi tuntutan untuk mengerjakan, tuntutan untuk meninggalkan, dan pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan."

Berdasarkan definisi tersebut para ulama ushul fikih membagi hukum taklifi menjadi lima yaitu:

Hukum wajib, hukum yang tetap dan pasti.

Hukum sunnah, segala sesuatu yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Hukum haram, sesuatu yang dilarang mengerjakannya dan para mukalaf diwajibkan untuk meninggalkannya secara pasti dan tegas.

Hukum makruh, perbuatan yang apabila ditinggalkan maka orang yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala dan apabila dikerjakan maka orang tersebut tidak mendapatkan siksa.

Hukum mubah, perbuatan yang bila dikerjakan orang yang mengerjakannya tidak mendapat pahala dan bila meninggalkan tersebut tidak menerima siksa.

2. Hukum Wadhi'

Hukum ini bisa diartikan sebagai hukum sebab. Para ulama ushul fikih menjelaskan bahwa sebab ini merupakan sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabab (hukum). [yy/nilam isneni/detik]