Imam Bukhari Gagal Paham Bahasa Arab?
Fiqhislam.com - Imam Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu di antara para ulama hadits yang berkiprah pada abad ke-3 H. Ulama-ulama hadits yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah di antaranya: Yazid bin Harun (w. 206 H), Abu Dawud at-Tayalisi (w. 204 H), Abd ar-Razzaq ibn Hammam (w. 211 H), Abu 'Ashim (w. 212 H), Yahya bin Ma'in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H).
Juga ada, Muhammad ibn Sa'ad (w. 230 H), Ali al-Madini (w. 234 H), Muhammad bin Abdullah bin Numair (w. 234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H), Abdullah bin Amr al-Qawariri (w. 235 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H), Harun bin Abdullah (w. 243 H), Ahmad bin Shalih (w. 248 H), ad-Darimi (w. 255 H), Abu Zur'ah (w. 264 H), Muslim bin Hajjaj (w. 261 H), Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H), Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H), Abu Zur'ah ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Karya Imam Bukhari yang paling otoritatif adalah kitab Shahih Bukhari dan kitab ini dapat dijadikan sebagai dokumen untuk meriset pola gramatika kebahasaan linguistik Arab yang berlaku pada abad ke-3 H (abad ke-9 M). Apakah pola gramatika bahasa Arab pada era tersebut amat penting untuk diteliti oleh para akademisi? Tentu saja hal itu tergantung bagaimana cara Anda membaca teksnya.
Baca Juga:
Studi kasus teks yang ditulis oleh Imam Bukhari tentang penggunaan term khusus yang ortografinya tertulis ملكه (mem-lam-kaf-ha') dapat dijadikan sebagai acuan. Redaksi teks lengkapnya sebagai berikut:
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
Berdasar pada gramatika bahasa Arab, umumnya ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada teks tersebut oleh para linguis Arab dibaca dengan versi bacaan "mulkahu", bukan dibaca "malikahu." Para penerjemah menerjemahkan teks tersebut demikian: "Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya, kecuali kekuasan-Nya." Itulah sebabnya, semua terbitan kitab Shahih Bukhari juga menyebutkan versi bacaan "mulkahu", bukan versi bacaan "malikahu."
Namun, menurut peneliti dari kalangan Salafi terkait pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., mereka menyatakan bahwa term tersebut tidak bisa dibaca "mulkahu", tetapi yang benar seharusnya dibaca "malikahu", yang menurutnya lebih tepat diartikan "Pemilik wajah-Nya." Menurutnya, ortografi tulisan yang dibaca الا ملكه (illa malikahu) itu maksudnya sama dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi).
Argumen peneliti gramatika bahasa Arab abad ke-9 M. tersebut sangat penting dikritisi, terutama dalam konteks kajian linguistik Arab. Apakah pemahaman gramatika bahasa Arab yang diklaim sebagai ciri khas linguistik Arab abad ke-9 itu dapat dibenarkan secara ilmiah? Apakah dhamir ه (hu) pada term khusus ملكه yang dibaca "malikahu" itu merujuk pada term وجه (wajh) sebagaimana maksud redaksional teks asli yang ditulis oleh Imam Bukhari?
Sang peneliti bermaksud menjelaskan bahwa redaksi teks yang tertulis الا ملكه dalam tulisan Imam Bukhari itu maksudnya sejajar dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi). Menurut saya, tentu saja hal ini merupakan pemahaman bahasa Arab yang "ungrammatical" dan tidak umum.
Ekspresi gramatika bahasa Arab yang dipakai dalam kitab Shahih Bukhari itu sudah sangat jelas. Justru term وجه (wajh) itu seharusnya sejajar dengan term ملك (mulk) sebagaimana ekspresi kebahasaan yang termaktub dalam tulisan asli Imam Bukhari, karena term ملك (mulk) itu memang berfungsi sebagai penjelasan atas term وجه (wajh). Alasannya sederhana, Imam Bukhari memang bermaksud menjelaskan hal yang demikian.
Imam Bukhari sebenarnya menggunakan metode ta'wil dalam pembahasan ayat yang termaktub dalam al-Qur'an. Pertama, penafsiran Qs. Al-Qashshash 28:88. Imam Bukhari menjelaskan bahwa makna term وجه (wajh) tersebut adalah ملك (mulk); artinya "kekuasaan" atau "kerajaan". Term وجهه (wajah-Nya) dita'wil menjadi ملكه (kekuasaan-Nya).
Ta'wil ayat ini juga telah disebutkan dan dijelaskan oleh ulama ahli hadits abad ke-2 H., yakni Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) dalam kitab Tafsir-nya. Dengan demikian, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, maka terkait ayat Qs. Al-Qashshash 28:88, pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) ternyata sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H).
Kedua ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya dan dikenal sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-457. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-2 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Sufyan ats-Tsauri? Biografi dan kredibiltas Sufyan ats-Tsauri sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab. Bila Anda masih ragu tentang kredibilitas Sufyan ats-Tsauri, silakan Anda mencari jawabannya sendiri.
Kedua, penafsiran Qs. Hud 11:56. Ayat ini juga dita'wil oleh Imam Bukhari dalam makna ملكه (kerajaan-Nya) dan سلطانه (kekuasaan-Nya). Inilah fakta tekstual penggunaan metode ta'wil yang dapat kita baca dalam kitab Shahih Bukhari berdasar pada penggunaan term yang sama, ملكه yang bermakna "kekuasaan-Nya."
Bila term ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada kedua teks hadits itu dibaca "mulkahu" dan "mulkihi" (lit. "kekuasaan-Nya") sebagaimana yang tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, maka memang kedua teks tersebut menunjukkan adanya konsistensi nalar Imam Bukhari.
Namun, bila yang pertama dibaca "malikahu" dan yang kedua justru dibaca "mulkihi" maka hal ini menandakan adanya inkonsistensi nalar Imam Bukhari. Tentu saja, hal ini sangat mustahil bila perbedaan bacaan terkait ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ya') yang sama persis itu justru disandarkan kepada pemahaman Imam Bukhari. Dengan kata lain, ortografi tulisan (kitabah) Imam Bukhari terkait term ملكه itu pasti sama antara bacaan (qira'ah) dan maksudnya.
Dengan demikian, pembacaan "malikahu" yang makna secara lughawi sebenarnya adalah "Pemilik-Nya" maka pembacaan seperti ini sangat tidak tepat, sebab dhamir ه (hu) pada term ملكه tersebut tetap menegaskan posisi dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu), dan dhamir ه (hu) pada kedua term tersebut merujuk kepada ALLAH sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk kepada makhluk-Nya.
Pembacaan "malikahu" itu tentu sangat mustahil secara aqidah. Bila Imam Bukhari memberikan pemahaman yang maknanya sebagai "kecuali Pemilik wajah-Nya", maka pasti sejak awal Imam Bukhari telah menulis dengan frase الا ملك وجهه (kecuali Pemilik wajah-Nya), dan bukan menulis الا ملكه ("kecuali Pemilik-Nya"). Itu berarti Imam Bukhari sangat mengetahui secara jeli tentang perbedaan makna antara frase الا ملكه dengan frase الا ملك وجهه dan kedua frase tersebut sangat kontras maknanya dalam tinjauan gramatika bahasa Arab.
Pada zamannya, Imam Bukhari sangat tidak mungkin gagal paham menulis redaksional teks bahasa Arab secara tepat. Dengan demikian, alasan penggunaan dhomir ه (hu) yang diklaim bisa merujuk pada term wajh ( وجه ) sangatlah tidak tepat dan tidak dapat dipertanggunjawabkan secara linguistik.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya juga menggunakan term ملكه tatkala menjelaskan ayat yang lain, ءاخد بناصيتها (Qs. Hud 11:56) dan dita'wil dengan frase اي في ملكه وسلطانه (ay fi mulkihi wa sulthonih). Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari mengutip ayat Qs. Hud 11:56 dan sekaligus menta'wil teksnya demikian:
ما من دابة الا هو ءاخذ بناصيتها اي في ملكه وسلطانه
"Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya yakni dalam kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya."
Imam Bukhari memahami term ءاخذ (akhidzu) yang artinya "memegang" tidak dalam makna "dengan tangan-Nya", tetapi Imam Bukhari menjelaskan secara ta'wil dengan mengalihkan maknanya menjadi ملكه (mulkihi), lit. "kekuasaan-Nya." Silakan Anda membaca penjelasan secara ta'wil ini melalui metode rujuk silang pada pembahasan Qs. Hud 11:56 sebagaimana yang termaktub dalam teks rujukan kitab Shahih Bukhari terbitan Salafi, yakni Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), halamn 806.
Jadi, kedua term pada ayat tersebut merujuk pada makna ملك (mulk) dan سلطان (sulthon) yang merupakan pemahaman khas ta'wil dari Imam Bukhari. Apakah Imam Bukhari inkonsisten dalam hal ini? Apakah Imam Bukhari menta'wil pada sebagian ayat sekaligus tidak menta'wil pada sebagian ayat yang lain, meskipun dengan menggunakan ortografi tulisan yang sama, yakni istilah ملكه (mem-lam-kaf-ha') sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari?
Berdasarkan teks Shahih Bukhari tersebut, sebenarnya Imam Bukhari memahami teks Quran dengan menggunakan metode ta'wil bila hal itu terkait dengan deskripsi Dzat-Nya. Istilah وجهه (wajhahu) yang arti harfiahnya bermakna "wajah-Nya" ternyata oleh Imam Bukhari dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya). Sementara itu, istilah ءاخذ (akhidzu) yang arti harfiahnya "memegang" ternyata oleh Imam Bukhari juga dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya).
Inilah episteme Imam Bukhari dalam menalar teks Quran terkait deskripsi mengenai Dzat-Nya. Pengertian "wajah-Nya" oleh Imam Bukhari tidak dipahami sebagai wajah secara literal yang bernuansa "tajsim." Begitu juga pengertian "memegang" oleh Imam Bukhari juga tidak dipahami sebagai memegang dengan tangan secara literal yang bermakna "tajsim."
Namun anehnya, kaum Salafi memahami bahwa Imam Bukhari tidak mungkin menta'wil "wajah-Nya", tetapi pada saat yang sama mereka justru mengakui bahwa Imam Bukhari menta'wil tindakan-Nya yang "memegang" ubun-ubun makhluk-Nya. Bukankah tindakan "memegang" itu dengan tangan dan bukan memegang dengan kaki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya tangan-Nya secara hakiki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya wajah-Nya secara hakiki? Bila ada wajah-Nya dan tangan-Nya secara hakiki, maka wajar bila tindakan "memegang" itu mengindikasikan adanya bentuk tangan-Nya secara hakiki meskipun dipahami tidak sama dan serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) adalah ulama ahli hadits abad ke-6 H. Dalam kitabnya, Imam Ibn al-Jawzi telah mengkritik pendapat Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) berkaitan dengan pemahaman ayat yang terkait frase لما خلقت بيدي (yang telah Aku ciptakan dengan "kedua tangan-Ku"). Lihat Qs. Shaad 38:75. Menurut Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Ibn Hazm (w. 456 H) dan mereka yang sepaham dengannya, ALLAH mempunyai dua tangan secara hakiki, sehingga ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya.
Menurut pemahaman kelompok ini, penciptaan Adam yang langsung disandarkan kepada ALLAH dengan menggunakan term يدي (kedua tangan-Ku) bertujuan untuk mengungkapkan keagungan dan keistimewaan tindakan penciptaan Adam. Artinya, penciptaan Adam sebagai "animale rationale" ini dianggap sangat berbeda dengan penciptaan ALLAH terhadap "animale", karena ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya.
Namun, argumentasi tersebut kemudian dipatahkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H). Menurutnya, redaksi Quran dengan menggunakan term يدي (dua tangan-Ku) dalam bentuk "mutsanna" bukanlah untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki kedua tangan secara hakiki tatkala menciptakan Adam. Jika dipahami secara demikian, maka "animale" dari jenis binatang ternak seharusnya juga memiliki keistimewaan dan keagungan yang sama seperti Adam dibanding "animale" jenis binatang lainnya.
Alasannya sederhana, karena Adam dan binatang ternak ternyata diciptakan dengan cara yang sama, dan karena penciptaan mereka juga disandarkan dengan kekhasan tangan hakiki TUHAN. Lihat Qs. Yasin 36:71
انا خلقنا لهم مما عملت ايدينا انعاما
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang-binatang ternak bagi mereka yang sebagian Kami telah ciptakan dengan tangan-tangan Kami ...."
Dalam ayat ini disebutkan tentang penciptaan binatang ternak dengan ungkapan ايدينا (aydina) yang langsung disandarkan kepada ALLAH. Ayat ini tentu tidak untuk menunjukkan bahwa binatang-binatang ternak tersebut memiliki keistimewaan di atas seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan menggunakan kata ايدينا (tangan-tangan Kami).
Menurut Imam Ibn Al-Jawzi, penggunaan redaksi يدي (yadayya) dalam bentuk dual (mutsanna) dalam kasus penciptaan Adam, dan penggunaan redaksi ايدينا (aydina) dalam bentuk plural (jamak) dalam kasus penciptaan binatang ternak, maka hal ini bukan untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki dua tangan secara hakiki.
Pemahaman "tajsim" tentang "tangan-Ku" tersebut sangat dicela oleh para ulama ahli hadits pada abad ke-5 H., di antaranya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Imam Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Imam Al-Baihaqi (w. 458) memang juga di-jarh (dicela) oleh para ulama ahli hadits generasi setelahnya, karena Abu Ya'la al-Hanbali dianggap menyebarkan paham "tasybih" yang asal-usulnya baru diperkenalkan oleh Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H) yang baru muncul pada awal abad ke-4 H.
Tidak ada tokoh ahli hadits pun yang berpaham "tasybih" yang muncul sebelum era Abu Abdullah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H), guru Abu Ya'la al-Hanbali. Itulah sebabnya, Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil fi at-Tarikh mengutip celaan terhadap Abu Ya'la al-Hanbali atas paham tasybih tersebut. Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) adalah generasi Salaf yang hidup pada abad ke-6 H. yang juga mengkritik pemahaman "tasybih" tersebut. Pemahaman aqidah Salaf yang dipaparkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi dalam kitabnya merupakan fakta tekstual yang dapat diuji keotentikannya sesuai kajian validitas manuskripnya.
Selain itu, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, pemahaman Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) sama dengan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H), dan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) sama dengan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 327 H), dan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi sama dengan pemahaman Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), dan pemahaman Imam at-Thabari (w. 310 H).
Pemahaman ini juga sama dengan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H), dan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) sama dengan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), dan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) sama dengan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H), dan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H) sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H).
Kedelapan ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya sejak abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H., dan mereka dikenal pula sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-460.
Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-6 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Imam Ibn Al-Jawzi? Biografi dan kredibiltas Imam Ibn Al-Jawzi sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab, di antaranya: Siyar A'lam an-Nubala, juz XXI, hlm. 365, Tadzkirah al-Huffazh, hlm. 1097; Wafayat al-A'yan juz II, hlm. 321; Bidayah wan Nihayah juz XXXI, hlm. 28; Dzail Tabaqat al-Huffazh, juz I, hlm. 399; Al-Kamil fi at-Tarikh juz XII, hlm. 171. Bila Anda masih ragu dengan kredibilitas Imam Ibn Jawzi, silakan Anda mencari jawabannya sendiri.
Penjelasan Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) tersebut dapat dibaca melalui karya beliau yang berjudul دفع شبة التشبيه باكف التنزيه (Daf'u Syubah at-Tasybihi bi Akaffi at-Tanzih).
Pemahaman para Salaf terkait metode ta'wil ijmali dan ta'wil tafshili merupakan pengetahuan tafsir Quran yang ditransmisikan secara bersanad tanpa putus antara generasi ulama hadits abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H. Pemahaman Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) yang menentang "tajsim" bahkan juga tercatat dalam kitab "Manaqib al-Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Bahkan, pemahaman dan penafsiran Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) tersebut juga tercatat dalam kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" (Lebanon: Dar el-Fikr, 2004) karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), yakni terkait pembahasan Qs. Al-Fajr 88:22.
Pemahaman aqidah Imam Ahmad bin Hanbal yang terdokumentasi pada kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" dan kitab "Manaqib Imam Ahmad", justru itu merupakan bukti adanya tradisi oral berupa teks yang diwariskan antargenerasi yang dibuktikan melalui dokumen tertulis. Kitab "Bidayah wa al-Nihayah" karya Ibnu Katsir (w. 774 H) merupakan dokumen abad ke-8 H, sedangkan kitab "Manaqib Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) merupakan dokumen abad ke-5 M.
Jadi, adanya kesejajaran informasi yang termaktub dalam dokumen tertulis antara abad ke-5 M. dan abad ke-8 M. tersebut, maka hal ini secara de facto sebagai "interne evidentie" tentang validitas tradisi oral teks yang ditransmisikan melalui sanad.
Dengan demikian, pemahaman aqidah para ulama Salaf yang termaktub dalam dokumen-dokumen otentik berupa manuskrip, tentu sangat penting sebagai "alat bukti" untuk melacak validitas dan kesinambungan pesan, terutama berkaitan dengan sanad keilmuan periwayatan hadits dan tafsir Quran.
Dalam hal ini, keilmuan Islam tersebut memang memiliki 2 pilar utama, yakni tradisi oral yang berbasis teks, yang kemudian diteguhkan dengan penulisan atau pun penyalinan naskah yang disebut manuskrip. Naskah yang ditulis sang guru disebut "ashl" sedangkan naskah yang ditulis sang murid disebut "nuskhah."
Teks yang diwariskan melalui tradisi oral yang kemudian direkam dalam format manuskrip dalam bentuk "ashl" dan "nuskhah" itu meniscayakan adanya sanad. Jadi, sanad itu adalah gabungan antara tradisi oral dan tradisi tulis.
Para hafidz pasti memiliki jalur resmi dalam pewarisan keilmuan Islam yang diistilahkan sebagai sanad tersebut. Sanad tanpa bukti dokumen tertulis berupa kitab atau pun manuskrip, maka hal itu dinyatakan invalid. Bukankah kita meneliti sebuah sanad dengan cara melacak kredibiltas perawi melalui pembacaan dokumen tertulis dari manuskrip? Apakah mungkin kita meyakini validitas sebuah sanad tanpa melacaknya melalui dokumen tertulis berupa manuskrip?
Validitas dokumen tertulis berupa manuskrip justru semakin meyakinkan peneliti tentang kesahihan pesan yang termaktub di dalamnya, dibanding sekedar pesan (informasi) yang hanya terdokumentasi dalam karya era abad belakangan yang tidak dapat ditelusuri keasliannya melalui konfirmasi dokumen pembanding berupa manuskripnya. Inilah yang disebut sebagai klaim sepihak melalui "dokumen rekayasa."
Tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang otentik bila tidak dapat dibuktikan melalui pembuktian otentisitas manuskrip pada zamannya, karena hal tersebut sangat rawan manipulasi pesan.
Misalnya, bacaan "malikahu" diklaim sebagai bacaan otentik, tetapi bacaan tersebut justru terdokumentasi pada manuskrip yang ditulis pada abad ke-21 M, dan tidak didukung dengan manuskrip pembanding yang ditemukan pada era yang lebih awal. Adanya manipulasi pesan akan lebih rawan lagi bila bacaan yang diklaim sebagai bacaan yang otentik tersebut justru tidak didukung dengan pembuktian data manuskrip kuno manapun.
Bila kita mengkaji manuskrip berdasar pada konteks filologis, manuskrip bisa saja dalam penulisannya terjadi kekeliruan, tetapi validitas suatu pesan yang termaktub dalam manuskrip tersebut dapat dilacak dan dikonfirmasi kebenarannya melalui dokumen pembanding manuskrip-manuskrip lainnya yang melintas batas berbagai zaman. Justru tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu yang tidak didukung dengan berbagai bukti manuskrip yang melintas batas zaman, maka keakuratannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Menurut peneliti dari Salafi, dhomir ه (hu) pada frase الا ملكه juga bisa merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in). Apakah hal ini juga bisa dibenarkan secara kebahasaan? Sebenarnya hal ini juga tidak bisa dibenarkan, karena sangat bermasalah, yakni dhomir ه (hu) merujuk pada makhluk dan bukan merujuk kepada الخالق (Sang Khalik).
Di sini, Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Begitu juga penjelasan Imam Bukhari dengan menambahkan frase الا ملكه tersebut tentu mempunyai maksud yang sama dengan ayat yang sedang dijelaskannya.
Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه yang dituliskannya. Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya dan bukan merujuk pada pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, kita bisa memahami tulisan Imam Bukhari secara kajian kebahasaan berdasar teks yang disusunnya.
Menurut peneliti Salafi memang ada 2 pola gramatika bahasa Arab sebagai alternatif pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., yakni dhomir ه (hu) bisa merujuk kepada Sang Khalik dan juga bisa merujuk pada makhluk. Namun, anggapan yang demikian itu sangat tidak bernalar. Bila dhomir ه (hu) merujuk pada كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk, berarti ini sangat fatal sebab dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu) ternyata merujuk kepada Al-Khaliq. Berarti dalam konteks ini ada inkonsistensi penalaran antara maksud dari ayat Quran tersebut dengan pemahaman kaum Salafi terhadap redaksional teks yang digunakan oleh Imam Bukhari. Jika demikian, hal ini tentu harus kita kritisi. Dan kritikan dalam konteks ini bukanlah sebuah tindakan takfiri.
Kalau Anda masih tetap membantah bahwa dhomir ه (hu) pada kata ملكه tersebut merujuk pada كل شيء, maka seharusnya redaksi teksnya tertulis الا ملكها (illa malikaha) dan bukan tertulis الا ملكه (illa malikahu). Mengapa demikian? Imam Bukhari pasti lebih pakar dan lebih paham bahasa Arab sehingga tidak mungkin Imam Bukhari salah tulis, dan mustahil bila Imam Bukhari tidak bisa membedakan mana tulisan yang benar antara tulisan ملكه (malikahu) dan tulisan ملكها (malikaha).
Mengapa Imam Bukhari tidak menulis ملكها (malikaha)? Sebab Imam Bukhari memahami bahwa dhamir ه (hu) pada term ملكه merujuk kepada ALLAH sebagai الخالق (Sang Pencipta) dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai ciptaan. Qs. Al-Ahqaf 46:25 menyebutkan demikian:
تدمر كل شيء بامر ربها فاصبحوا لا يرى الا مسكنهم
"Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat kediaman mereka." [yy/republika]
Oleh Menachem Ali , Dosen Philology, Universitas Airlangga