pustaka.png
basmalah2.png


15 Jumadil-Awwal 1445  |  Rabu 29 Nopember 2023

Mengenal Sosok Imam Hanafi

Mengenal Sosok Imam Hanafi

Fiqhislam.com - Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru.

Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.

Yazid bin Harun mengatakan, ''Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah.'' Kalimat yang hampir sama juga terlontar dari Imam Syafi'i, ''Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.''

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi'i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.

Beberapa muridnya yang lain adalah Ibrahim bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, dan Hafsh bin Abdurrahman al-Qadhi. Hamzah--teman penjual minyak wangi--juga pernah berguru kepadanya. Begitu juga dengan Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su'aib bin Ishaq, Abdullah ibnu Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, dan Abdullah bin Zubair al-Qurasy.

 

Mengenal Sosok Imam Hanafi

Fiqhislam.com - Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru.

Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.

Yazid bin Harun mengatakan, ''Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah.'' Kalimat yang hampir sama juga terlontar dari Imam Syafi'i, ''Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.''

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi'i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.

Beberapa muridnya yang lain adalah Ibrahim bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, dan Hafsh bin Abdurrahman al-Qadhi. Hamzah--teman penjual minyak wangi--juga pernah berguru kepadanya. Begitu juga dengan Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su'aib bin Ishaq, Abdullah ibnu Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, dan Abdullah bin Zubair al-Qurasy.

 

Keluhuran Imam Hanafi

Keluhuran Imam Hanafi


Fiqhislam.com - Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan saleh. Seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah.

Jika tengah berdoa, matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT. Dia seorang yang kokoh dan kuat jiwanya serta selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadat dan beraklaq karimah.

Di saat hamba Allah yang lain terlelap dalam nikmatnya tidur malam, sang imam bertakarub kepada sang Khaliq melalui shalat lail dan bacaan-bacaan Alquran.

Keluhuran budi pekerti Imam Hanafi tidak serta-merta membawanya dicintai oleh orang-orang di sekelilingnya. Ada saja orang yang berniat jahat kepadanya dan berusaha menganiayanya.

Menghadapi semua itu, Imam Hanafi tak pernah gentar. Ia berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Imam Hanafi selalu berusaha mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar.

Upaya itu bukan tanpa alasan. Ia berpandangan, kalau kemungkaran tidak dicegah, semua orang akan merasakan akibatnya. Tidak hanya orang yang berbuat kejahatan, tapi orang-orang baik yang ada di tempat itu.

Sikap ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW, ''Bumi ini bagaikan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kelompok orang. Kelompok pertama terdiri atas orang-orang yang baik dan kelompok kedua terdiri atas orang-orang yang jahat. Kalau kelompok orang jahat ini mau merusak bahtera dan kelompok orang-orang baik tidak mencegahnya, seluruh penghuni bahtera akan binasa. Sebaliknya, jika kelompok yang baik mau mencegah, semuanya akan selamat.''

Keteguhan sikap dan keberanian mencegah yang mungkar benar-benar ia praktikkan. Imam Hanafi berkali-kali menolak tawaran untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Komitmen yang demikian itu ia pegang teguh hingga menutup mata pada tahun 150 H di usia 70 tahun. [yy/republika]