Cinta Bilal untuk Al-Mukhtar Shallallahu alaihi Wassallam
Fiqhislam.com - Banyak Umat Islam asyik memperingati kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Namun jarang yang memperingati kemangkatannya.
Dalam sejarah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam wafat pada tanggal 12 Rabi`ul Awwal. Ada pula pendapat yang menyatakan beliau mangkat pada bulan Shafar atau hari-hari pertama bulan Rabi`aul Awwal.
Namun, mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa beliau wafat pada tanggal dan hari yang sama dari kelahirannya.
Kemangkatan Nabi di hari dan tanggal yang sama menasbihkan hari Senin sebagai hari yang cukup istimewa. Pada hari tersebut beliau dilahirkan, diangkat sebagai Nabi, diberi wahyu pertama, dan dipanggil keharibaan Allah pada hari Senin juga.
Kemangkatan Sang Nabi yang dielu-elukan oleh segenap umat dari dahulu kala hingga sekarang, mengandung pelajaran bagi kita semua. Wafatnya Nabi menjadi tanda bahwa, “Kullu nafsin dzaaiqatul maut.” (Semua yang bernyawa akan merasakan kematian).
Sesaat setelah tersiar luas kabar kematian Nabi, Kota Madinah dikepung banjir air mata sahabat. Nabi tercinta yang selama hayatnya berjuang mati-matian demi tegaknya Islam dan kemuliaan umat manusia, Nabi pilihan dan Nabi penutup yang tak pernah mengenal kata menyerah, ternyata telah meninggalkan mereka, selama-lamanya.
Kenyataan ini tidak bisa diterima begitu saja oleh sebagian sahabat, termasuk Umar bin Khattab RA. Umar mengancam barangsiapa yang berani berkata di hadapannya bahwa Rasul meninggal dunia, akan ia penggal kepalanya dengan pedangnya.
Di tengah kebingungan antara pasti tidaknya mangkatnya Nabi, datanglah sahabat yang sudah kenyang dengan pengalaman, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Abu Bakar yang menjadi teman setia Nabi pada saat hijrah dan diperintahkan untuk menjadi imam menggantikan beliau di masa sakitnya, menyeruakkan penjelasan dan menyampaikn firman Allah yang seakan belum pernah didengar oleh para sahabat, padahal ayat itu sudah diturunkan oleh Allah.
Abu bakar berkata, “Barangsiapa diantara kalian ada yang menyembah Muhamad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati. Allah berfirman, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?’”
Penjelasan Abu Bakar menjadi penyejuk jiwa-jiwa yang tengah dirundung duka lara tak terperihkan. Madinah bahkan alam jagad raya turut bersedih.
Kesedihan yang mendalam dialami oleh Bilal. Didorong ketidakmampuan menahan momen indah bersama Rasul di kota Madinah, Bilal memilih menyingkir dari kota Madinah bersama istri dan anaknya.
Setahun setelah kemagkatan Nabi, Bilal bangun dari tidurnya dalam keadaan menangis. Istrinya bertanya, “Apa yang terjadi wahai suamiku?” Bilal menjawab, “Semalam aku bermimpi Rasul dan beliau bertanya kepadaku, ‘Kenapa engkau menjauh dariku wahai Bilal? Bukankah sekarang waktunya engkau mengunjungiku?’”
Bilal berangkat ke Madinah. Sesampainya ia langsung menyiarahi pusara Nabi. Dipeluk erat-erat puasara nabi dengan air mata yang meleleh deras. Usai berziarah, Abu Bakar datang menemaninya. Keduanya saling berpelukan.
Kata Abu Bakar, “Wahai Bilal, maukah kamu mengumandangkan adzan untuk kami seperti dulu kamu melakukannya untuk Nabi?”
Bilal menjawab, “Aku tak sanggup mengumandangkan adzan lagi. Aku selalu teringat Rasul manakala aku menyuarakan adzan.”
Umar bin Khatab menyusul Abu Bakar, datang menjumpai Bilal. Umar dan Bilal berpelukan, menangis, karena saling mengenang kebersamaan antara mereka dengan Rasul.
Umar mengajukan permintaan yang sama dengan Abu Bakar kepada Bilal. Kata Bilal, “Jika dulu setelah aku adzan, aku mendatangi rumah Rasul dan berkata, ‘Shalat sudah tiba ya Rasul’ sekarang rumah siapa yang aku datagi setelah adzan?”
Tanpa diduga, tiba-tiba datang dua cucu Nabi yang masih kecil, Hasan dan Husain yang masing-asing masih beruia 9 dan 8 tahun. Kedatangan dua cucu Nabi itu disambut hangat oleh Bilal yang memeluknya dengan perasaan haru, apalagi bau Rasul masih melekat kuat pada dua bocah ini.
Dua cucu Nabi ini berkata, “Paman, maukah paman mengumandangkan adzan? Kami rindu dengan kumandang adzan dari suara paman?” Kali ini Bilal tidak sanggup menolak permintaan dua cucu Nabi.
“Aku sanggup menolak permintaan Abu Bakar dan Umar, namun aku tak sanggup menolak permintaan kalian. Aku takut jika menolak permintaan kalian, nanti di hari akhir permintaanku akan ditolak oleh kakek kalian,” ujar Bilal.
Bilal mengumandangkan adzan, seketika itu kota Madinah yang awalnya ramai dengan aktifitas manusianya, mendadak sepi. Mereka berbondong-bondng pergi ke masjid. Sebagian menyangka Nabi hidup kembali. Baik laki-laki maupun perempuan-nya keluar dari rumahnya masing-masing.
“Allahu Akbar-Allahu Akbar….Asyhadu an laa ilaaha Illaah- Asyhadu an laa ilaaha Illaah….Asyhadu anna Muhammadar rasululah….” Kumandang Bilal berhenti tepat di kaimat Asyhadu anna Muhammadar rasululah. Tidak ada kesanggupan untuk melanjutkan kumandang adzan. Bilal seperti tersedak, kehabisan suara. Tangisannya menggantikan suara merdunya. Semuanya menangis mengenang momen-momen indah bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Seakan beliau hidup seiring dengan suara adzan Bilal.
Di tengah semangat peringatan maulid dengan budaya dan tradisinya masing-masing, tentunya kita tidak boleh melupakan semangat perjuangan Nabi dan perasaan cinta sahabat yang telah terbukti. Pembuktian cintanya dengan istiqamah melestarikan ajaran-ajaran, nilai-nilai hidup, dan semangat perjuangan, yang telah dilakukan oleh Rasul.
Semangat cinta Rasul seharusnya tidak hanya senandung kasidah, gelaran maulid, namun mesti menjelma menjadi motivasi dalam diri kita untuk memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat, dengan dakwah yang disiarkan oleh Nabi.
Kalimat Asyhadu anna Muhammadar rasululah, yang menjadi kalimat terakhir Bilal dalam adzannya menjadi persaksian kita di hadapan Allah, “Ya Allah aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad lebih kucintai dari diriku, keluargaku, istriku, anak-anakku, dan dari semua yang ada di kolong langit ini.”
Ada baiknya kita menyegarkan kembali hubungan kita dengan beliau yang barangkali selama ini agak renggang bahkan terlepas sama sekali. Penyegaran ini sangat penting untuk dilakukan, karena tidak sedikit dari umat ini yang secara lisan mengaku sebagai pengikut bahkan pecintanya tapi tutur kata, pakaian, perilaku, dan cara berpikirnya tidak berbanding lurus dengan suri tauladan yang ada pada diri Rasul.
Salah satu kewajiban yang harus dilakukan untuk merapatkan hubungan kita dengan beliau adalah mencintainya sepenuh hati. Cinta kepada Rasul adalah tiang penyangga iman. Dengan mencintai Nabi, maka kita akan berusaha untuk selalu berjalan seiring dengan jalan yang ditempuh oleh beliau. Wallahu A`lam Bis Shawaab. [yy/hidayatullah]