Muhammad Saw Sang Mutiara
Fiqhislam.com - Ada kebiasaan saudara-saudara kita di Asia Selatan, yang biasa dikenal dengan IPB (India Pakistan Bangladesh dan negara-negara sekitarnya tentunya). Mereka senang melakukan nyanyian-nyanyian yang bersifat syair, memuji Rasulullah SAW. Dalam bahasa mereka nyanyian ini biasanya disebut "na'at".
Salah satu bentuk nyanyian yang biasa mereka senandungkan adalah seperti berikut:
"Muhammadun basyar wa laesa kal-basyari. Walakinnahu yaaquutatun wannaasu kal-hajari"
Kira-kita artinya: "Muhammad itu memang manusia. Tapi tidak sama dengan manusia. Dia adalah mutiara. Sementara manusia lain adalah bagaikan batu".
Dengan kata lain Muhammad (SAW) memang adalah manusia (basyar). Seperti yang dideklarasikan dalam Alqur'an: "Katakan wahai Muhammad. Sesungguhnya saya hanyalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu (oleh Allah Ta'ala)".
Hanya saja kesamaan secara tabiat (nature) tidak berarti sama dalam kwalitas dan nilai (value). Bagaikan permata dan batu-batu. Sesungguhnya sama sebagai bebatuan. Tapi permata kemudian memiliki posisi terhormat, mulia dan berharga karena nilainya.
Demikian pula Rasulullah SAW. Sebagai ciptaan (khalq) beliau sama dengan semua manusia. Terjadi karena pertemuan sperma ayah dan telur Ibunya. Lahir Sebagai bayi yang menangis. Lapar dan dahaga. Berani tapi juga ada rasa khawatir. Bahkan berjalan dipasar, makan minum dan menikahi wanita-wanita, dan seterusnya.
Yang menjadikan beliau kemudian unik dan berbeda dari manusia lainnya adalah karena nilai yang ada pada diri dan hidup beliau. Nilai itulah yang menjadikannya bagaikan mutiara di tengah-tengah manusia lainnya yang bagaikan batu-batu.
Nilai (value) Muhammad SAW pulalah yang menjadikan beliau sayyidal mursaliin (penghulu para Nabi dan Rasul). Yang dibuktikan dengan menjadi imamnya beliau dalam peristiwa Isra Mi'raj Rasulullah SAW.
Syair lain yang biasa disenandungkan oleh warga Muslim Asia Selatan adalah: "Balagal ulaa bikamaalihi. kasyafa adujaa bijamaalihi. Hasunat jamii’u khisholihi. Shollu alaihi wa aalihu".
Artinya: Muhammad itu mencapai ketinggian dalam kesempurnannya. Menyingkap segala kabut dengan keindahannya. Sempurna dalam segala cirinya. Maka bershalawaatlah kepadanya dan keluarganya".
Senandung na'at atau dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan nasyiid seperti menggambarkan ketinggian nilai (value) dan kemuliaan baginda Rasulullah SAW. Dan ketinggian nilai dan kemuliaan inilah yang menjadikan beliau tak terbandingkan (incomparable) dengan siapapun dari kalangan manusia.
Kelebihan dan kemuliaan Rasulullah SAW ini pulalah yang menjadikan banyak pihak yang terkagum-kagum (amazed) dengan beliau. Kalau saja orang-orang, termasuk wanita tua itu, mau sedikit berusaha, minimal dengan mencari tahu lewat Google tentang apa kata para pembesar dunia tentang Muhammad SAW niscaya mereka akan temukan kesaksian mereka yang luar biasa.
Salah satu dari ahli sejaran (historian) terkenal yang terkagum dan menempatkan Muhammad SAW di posisi tertinggi (pertama) dari orang-orang mulia dan terhormat serta berpengaruh dalam sejarah dunia. Beliau adalah Michael Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.
Saya tidak lagi menyebutkan banyak kesaksian-kesaksian para ahli sepanjang sejarah dunia. Hanya ingin mengingatkan bahwa bagi umat Islam, anda tempatkan Muhammad SAW di posisi tertinggi atau sebaliknya anda menempatkannya di posisi di bawah tidak sama sekali mengurangi nilai dan mulianya di mata kami.
Bagi kami kehormatan dan kemuliaan beliau tidak sekedar di mata kasat kami. Bukan sekedar di kesadaran akal kami. Tapi yang terpenting adalah kemuliaan dan kehormatan, bahkan kecintaan kami di dada (hati) ini.
Karenanya jika seluruh manusia dan bahkan Jin sekaligus merendahkan beliau, bagi kami beliau adalah mentari di ketinggian sana yang tak pernah teringkari (undeniable). Setebal apapun awan di atas sana menutupi sinarnya, kami percaya bahwa tanpa mentari itu dunia akan gelap dan hancur dalam kegelapannya.
Muhammad SAW adalah mentari di ketinggian sana menyinari alam semesta selamanya. Hanya kebekuan hati dan kekerdilan akal yang mengingkari kemuliaan dan kehormatannya.
Hubungan antara seorang mukmin dan Rasulnya bukan hubungan biasa. Tapi hubungan di atas segalanya, setelah Allah Ta'ala tentunya. Hal yang menjadikan banyak pihak terkejut-kejut ketika melihat umat ini begitu cinta kepadanya. Kecintaan yang melebihi segalanya setelah Allah.
Hubungan itu bukan sekadar hubungan alami yang memang 'taken for granted'. Tapi sebuah hubungan yang dipilih (chosen). Dalam bahasa Arab kata pilihan salah satunya diekspresikan dengan kata ikhtiyar. Menakjubkan kemudian kata ikhtiyar itu juga ternyata berakar sama dengan kata 'Khaer' atau yang terbaik.
Maka hubungan yang terbangun karena pilihan (by choice) melahirkan hubungan yang terbaik. Sehingga semua yang terkait dengan hubungan ini juga menjadi terbaik. Salah satu hal yang terkait dengan relasi ini adalah bahwa hubungan ini terbangun di atas kecintaan yang dipilih (love by choice).
Cinta Ayah itu alami. Cinta Ibu itu alami. Cinta anak itu alami. Bahkan cinta keluarga dan dunia itu alami. Tapi cinta Rasul bukan sekadar alami. Tapi sebuah pilihan. Karenanya cinta Rasul itu adalah cinta terbaik ba'dallah (setelah Allah).
Cinta inilah yang menjadi kunci iman. Sekaligus kunci surga. Rasulullah SAW mendeklarasikan: "Tak beriman di antara kalian sampai dia mencintai saya lebih dari mencintai orang tuanya, anaknya dan semua manusia".
Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada beliau: "Kapan Kiamat terjadi? Beliau diam. Sahabat itu bertanya hingga tiga kali. Barulah Rasulullah menjawab dalam bentuk pertanyaan: "lalu apa yang kamu telah persiapkan?".
Sahabat itu menjawab: "Tidak banyak ya Rasulullah. Tapi saya mencintai Allah dan RasulNya". Artinya modal utama bagi sahabat dalam menghadapi kiamat atau kematiannya adalah "cinta Allah dan Rasulullah SAW).
Rasul kemudian meyakinkan: "Kamu akan bersama di surga nanti dengan siapa yang kamu cintai".
Sebuah penguatan bahwa kecintaan kita kepada Rasul adalah kunci surga. Bahkan sebuah kemuliaan yang dicari oleh setiap mukmin. Bersama dengan beliau di syurgaNya Allah kelak.
Kecintaan seorang mukmin tertanam ke dalam relung kalbu yang paling dalam. Cinta yang mengalir bersama aliran darah kehidupannya. Begitu dalamnya cinta itu sehingga seorang sahabat mampu berhadapan dengan ayahnya sendiri dalam sebuah peperangan. Memang sedarah tapi tidak sehati.
Para sahabat Rasulullah memiliki ragam latar belakang etnis, ras dan warna kulit. Di tengah perbedaan itu semua mereka disatukan oleh satu hal: ikatan hati. Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Alqur'an: "Muhammad Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya. Mereka tegas kepada orang-orang kafir (kekufuran) namun penuh kasih sayang (ruhamaa) di antara mereka".
Ayat ini menegaskan bahwa “rahmah” itulah yang menjadi dasar hubungan antara sesama Muslim. Tentu yang paling penting dari semua itu adalah bahwa relasi antara seorang Muslim dan Rasulullah SAW adalah relasi kasih sayang (rahmah). Rahmah yang tertanam kokoh dalam hati setiap Mukmin.
Bilal adalah seorang Habsyi (Ethiopia), berkulit hitam dan mantan budak. Salman adalah seorang keturunan Persia. Sementara Suhaeb adalah seorang yang bersosok bangsa Roma (pria bule dalam bahasa jalanan).
Tapi mereka semua dia atas itu tidak kurang cintanya kepada baginda Nabi Muhammad SAW dari sahabat lainnya dari kalangan Arab Quraysh. Barangkali contoh terdekat dalam sejarah adalah bagaimana kecintaan Bilal Al-Habasyi kepada baginda Rasulullah SAW. Sampai-sampai beliau tidak sanggup lagi menetap di Madinah sepeninggal beliau SAW. Tidak tahan ketika selesai mengumandangkan azan beliau tidak lagi melihat wajah Rasul yang mulia.
Hingga saat ini, bahkan hingga akhir Zaman nanti, orang-orang di perkampungan, pegunungan-pegunungan, bahkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekalipun ketika nama baginda Rasulullah disebut hatinya secara otomatis merasakan cinta dan kerinduan itu.
Mereka merindukannya. Mereka bahkan ingin sekedar bermimpi berjumpa di dunia ini. Cita-cita terbesarnya setelah kematian nanti, selain menatap wajah Ilahi (ilaa Rabbiha naazhirah). Juga ingin agar kiranya di syurga nanti mereka dapat membersamai (in the company) Rasulullah SAW.
Karenanya hanya orang yang berakal kerdil dan berhati beku yang tidak menyadari kemuliaan Rasul serta tidak merasakan kecintaan kepada beliau.
Tentu lebih aneh lagi ketika sikap seperti itu justeru datangnya dari mereka yang mengaku beriman kepadanya. Sungguh sebuah paradoks besar sekaligus kemunafikan yang nyata. Tapi itulah dunia kita.
Pada bagian lalu disebutkan bahwa cCpilihan. Cinta pilihan bentuk cinta yang tertinggi dan dahsyat. Karena cinta demikian pastinya melalui 'mujahadah' atau perjuangan.
Cinta yang dahsyat itu yang kemudian tertanam kokoh dalam dada setiap mukmin. Rasa emosi itu bahkan mengalir di setiap denyut nadi hidupnya. Seorang Mukmin tidak akan ragu mengorbankan, bahkan hidupnya sakalipun, demi kemuliaan Rasulnya.
Tapi cukupkah dengan rasa emosi atau sentimen? Tentu tidak. Justru emosi atau sentimen itu tak ubahnya energi pada kendaraan. Apalah arti energi yang hebat dengan mesin besar kendaraan itu jika kendaraan itu tidak terpakai.
Maka sentimen kecintaan itu perlu diwujudkan dalam bentuk realita hidup. Mewujudkannya dalam bentuk realita hidup inilah yang diekspresikan dalam Al-Quran dengan istilah 'ittiba' (mengikuti). Sebagaimana firman Allah: "Katakan (hai Muhammad) jika kamu mencintai Allah (dan tentu RasulNya) maka ikutlah kepadaku niscaya Allah akan mencintaimu".
Ayat Alqur'an ini menggaris bawahi bahwa cinta Allah dan Rasul itu bukan sekadar 'ekspresi emosi'. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana rasa itu teraplikasikan dalam bentuk realita hidup.
Mengaplikasikan atau merealisasikan rasa cinta kepada Rasul itulah yang dikenal dengan beruswah kepadanya. Atau dalam bahasa Yang lebih populer bersunnah kepada Rasulullah SAW.
Atau dalam bahasa yang lebih umum 'taat' kepadanya. Sebagaimana disabdakan: "Semua umatku masuk syurga kecuali Yang membangkang". Para sahabat bertanya: "Siapa yang membangkang ya Rasulullah?". Beliau menjawab: "Barangsiapa yang mentaatiku masuk syurga. Dan barangsiapa yang tidak mentaatiku (ashooni) maka dia telah membangkang".
Aktualisasi cinta dalam bentuk ketauladanan kepada baginda Rasul ditegaskan dalam Alqur'an: "Sungguh ada bagi kamu pada Rasulullah ketauladanan yang baik".
Mengikut kepada ketauladanan Rasul atau mengaktualkan sunnahnya (jalan hidupnya) dalam kehidupan nyata itulah tingkatan cinta tertinggi. Masalahnya adalah banyak di kalangan umat ini yang memahami sunnah Rasul secara discriminatif. Dengan kata lain kerap kali sunnah itu dipahami secara parsial (sebagian-sebagian). Atau tidak jarang juga diambil secara diskriminatif. Diambil sebagian yang dianggap sesuai. Lalu ditolak sebagian karena dianggap tidak sesuai (dengan hawa nafsu).
Betapa umat ini kerap bertengkar, saling menyalahkan dan membid'ahkan dalam hal-hal ritual ubudiyah. Tidak jarang (wal-iyadzu billah) ada yang merasa lebih sunnah dari yang lain. Dengan kata lain lebih vulgar, sering terjadi arogansi, merasa paling sunnah, dalam hal ritual ubudiyah.
Sesungguhnya tanpa disadari menyikapi sesama dengan cara seperti di atas merupakan pelanggaran nyata kepada sunnah. Karena sunnah Rasulullah SAW dalam menyikapi perbedaan-perbedaan ritual ubudiyah itu Pada umumnya disikapi secara lapang dada (tasamuh). Selama memang masih menyangkut urusan-urusan 'furuiyah' dari agama. Bahkan beliau mengedepankan sikap positif, membenarkan selama masih ada celah untuk membenarkan secara syar'i.
Bukan seperti sebagian justeru cepat menyalahkan. Merasa paling benar dan paling sunnah. Runyamnya, tidak jarang sikap pengakuan sunnah seperti itu justeru berujung pada friksi (perpecahan) di kalangan umat Islam.
Akibatnya terjadi paradoks nyata. Terjadi pelanggaran sunnah (secara sosial) atas nama sunnah (secara ritual). Maka sekali lagi, sunnah Rasul SAW itu mencakup seluruh aspek hidup manusia. Tidak ada satu hal apapun dalam hidup manusia kecuali ada kaitan dengan sunnah Rasulullah SAW. Dari ujung Kepala ke ujung kaki. Lahir dan batin. Urusan pribadi, Keluarga, masyarakat. Bahkan dalam urusan internasional (global affairs) sekalipun ada kaitan sunnah Rasulullah SAW.
Bagaimana tidak. Beliau adalah manusia biasa yang tentu menjalani hidup personalnya. Beliau sholat, pausa, haji dan melakukan ibadah lainnya. Tapi beliau juga adalah makan, minum, tidur, kawin, bergaul dengan teman, dan seterusnya.
Tidak kalah pentingnya juga beliau adalah bisnisman, guru dan pendidik, dai dan penceramah. Tapi juga politisi, administrator (pemerintah) dan bahkan Panglima perang.
Pada semua itu ada sunnah-sunnah atau uswah hasanah (ketauladanan yang baik) untuk diikuti oleh umatnya.
Saya biasanya membagi sunnah itu kepada 4 bagian dalam kehidupan manusia.
1) Sunnah dalam keyakinan (iman).
2) Sunnah dalam ritual ubudiyah.
3) Sunnah dalam karakter personal atau kepribadian.
4) Sunnah dalam aspek sosial dan urusan publik. [yy/sindonews]
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation