9 Ramadhan 1444  |  Jumat 31 Maret 2023

basmalah.png

Asal Mula Seni Baca Al-Quran

Asal Mula Seni Baca Al-Quran

Fiqhislam.com - Seni membaca Alquran boleh dibilang merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam Islam. Ibnu Manzur menyatakan, ada dua teori tentang asal mula munculnya seni membaca Alquran. 

Pertama, berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya bernuansa irama Arab.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait boleh tidaknya membaca Alquran dengan cara dilagukan. Dr Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya berjudul al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran mengatakan, ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang memakruhkan.

Ulama yang memakruhkan, kata Dr Basyar, antara lain, Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha’i. Opsi ini juga menjadi rujukan sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah.

Sedangkan, ada pula ulama yang membolehkan membaca Alquran dengan tilawah atau tartil berikut macam-macam lagunya. Mereka, antara lain, Abu Hanifah, Syafi’i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. 

Menurut Dr Basyar, sahabat Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya juga membolehkan Alquran dibaca dengan cara dilagukan. Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa’d, dan Dr Abd al-Mun’im al-Bahi merupakan ulama kontemporer yang mendukung diperbolehkannya membaca Alquran dengan cara dilagukan.

Indahnya Seni Membaca Al-Quran

Seni membaca Alquran berkembang pesat di berbagai wilayah negeri Islam. Tak heran jika kemudian muncul beragam jenis seni membaca Alquran. Geliat seni membaca Alquran berkembang pesat pada awal abad ke-20.  Seni membaca Alquran ini memiliki dua kiblat, yakni Makkah dan Mesir. Keduanya mempunyai karakteristik masing-masing. 

Dalam seni membaca Alquran versi Makkah, dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby, Jaharkah, Syikah, dan Dukkah. Sedangkan, dalam versi Mesir dikenal Bayyati, Hijaz, Shoba, Ras, Jiharkah, Sikah, dan Nahawan.

Kedua model seni membaca Alquran tersebut mulai dikenal umat Islam Indonesia pada abad ke-20. Transmisi beragam lagu membaca Alquran itu dilakukan para ulama yang menimba ilmu di Makkah dan Mesir.

Menurut literatur, lagu versi Makkah lebih disukai pada awal perkembangannya di  nusantara. Alasannya, karena liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi atau seni membaca Alquran versi Makkah itu mewujud dalam Barzanji.

Ada sejumlah qari pelopor yang mengembangkan aliran Makkah di Tanah Air. Mereka adalah KH Arwani, KH Sya’roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha, dan KH Azra’i Abdurrauf.

Pada era 1960-an, seni membaca Alquran di Indonesia menjadi lebih beragam dengan hadirnya aliran Misri atau Mesir. Pada masa itu, Pemerintah Mesir menyuplai sejumlah maestro qari, seperti Syekh Abdul Basith Abdus Somad, Syekh Musthofa Ismail, Syekh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.

Ternyata, umat Islam Indonesia sangat menyukai lagu-lagu Misri. Bukan tanpa alasan seni membaca Alquran dari Negeri Piramida itu disukai Muslim di Indonesia. Ternyata, karakter lagu Misri dinilai lebih dinamis dan merdu. 

Beragam jenis lagu dari Mesir itu dinilai cocok dengan kondisi alam Indonesia. Tercatat ada sejumlah qari yang mengembangkan aliran Misri. Mereka adalah KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma'mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.

yy/republika.co.id