pustaka.png
basmalah2.png.orig


15 Dzulqa'dah 1444  |  Minggu 04 Juni 2023

Mengenal Al-Quran Melalui Konsep Wahyu | Asal Kata Al-Quran

Mengenal Al-Quran Melalui Konsep Wahyu

Fiqhislam.com - Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang wajib dipahami. Untuk dapat memahami maka umat Islam harus mengenalnya dengan cara mempelajari bagaimana proses turunnya wahyu. "Untuk dapat mengenal Alquran akan lebih baik kalau kita mengenal dulu konsep wahyu," kata Ustaz Ahmad Sarwat Lc.MA dalam bukunya Mengenal Alquran.

Ustaz Ahmad mengatakan, sebab latarbelakang kenapa orang terdahulu tidak mau beriman justru karena mengingkari wahyu yang turun alias menolak konsep wahyu. Dan satu hal yang penting dicatat, faktor utama yang membedakan agama yang diterima dengan agama syirik juga faktor wahyu.

"Di mana agama yang diridhai Allah SWT hanya sebatas agama wahyu, sedangkan agama yang tidak berdasarkan wahyu tidak akan diterima Allah SWT," kata Ustaz Ahmad.

Ustaz Ahmad mengatakan, konsep wahyu sebenarnya sederhana sekali, mudah dicerna, tidak membutuhkan tingkat intelektualitas yang terlalu jauh. Seluruh bangsa dengan level peradaban paling rendah sekalipun pasti mampu menerima konsep wahyu. "Konsep wahyu diawali dengan eksistensi konsep ketuhanan yang universal dan sudah disepakati oleh seluruh peradaban manusia," katanya.

Menurutnya, tidak ada satu pun lapis masyarakat, bahkan yang paling primitif sekalipun yang tidak mengenal konsep bertuhan. Tinggal yang membedakan adalah apakah Tuhan itu menurunkan wahyu atau tidak. "Disinilah garis perbatasan yang tegas antara agama samawi dan agama non-samawi (agama ardhi)," katanya.

Ustaz Ahmad menjelaskan, agama samawi itu adalah agama yang punya konsep dasar bahwa Tuhan itu menurunkan wahyu. Sebaliknya agama non-samawi itu berkonsep tuhan itu ada, tuhan itu hebat, tuhan itu ini dan itu, tapi tuhan itu tidak menurunkan wahyu. Nantinya agama non-samawi ini juga sering disebut dengan istilah agama syirik, karena konsep tuhannya jadi banyak jumlahnya dan penuh dengan kepercayaan kepada dewa-dewa.

Ia mencontohkannya agama syirik yang dianut oleh bangsa Arab di era menjelang diutusnya Nabi Muhammad SAW. Mereka bertuhan kepada Allah SWT, bahkan menyebut Ka’bah sebagai rumah Allah (baitullah). "Dalam segala halnya mereka selalu mengucapkan lafazh bismillah," katanya.

Mereka juga kenal dengan sosok malaikat yang ghaib bahkan kenal dengan tokoh nenek moyang mereka, Ibrahim dan Ismail. Namun mereka tidak mengenal konsep wahyu yang turun kepada keduanya, bahkan malah mengingkarinya. "Sosok nabi sebagai orang yang diturunkan kepadanya wahyu samawi, tidak mereka pahami," katanya.

Menurutnya, dalam konsep bertuhan mereka, urusan wahyu itu urusan malaikat, tidak ada hubungannya dengan sosok manusia yang jadi nabi dan menerima wahyu. Buat mereka itu konsep yang aneh dan tidak bisa diterima akal. Makanya mereka kata Ustaz Ahmad protes sebagaimana direkam oleh Alquran surag Al-Furqan ayat 7 yang artinya.

Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?" [yy/republika]

 

Mengenal Al-Quran Melalui Konsep Wahyu

Fiqhislam.com - Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang wajib dipahami. Untuk dapat memahami maka umat Islam harus mengenalnya dengan cara mempelajari bagaimana proses turunnya wahyu. "Untuk dapat mengenal Alquran akan lebih baik kalau kita mengenal dulu konsep wahyu," kata Ustaz Ahmad Sarwat Lc.MA dalam bukunya Mengenal Alquran.

Ustaz Ahmad mengatakan, sebab latarbelakang kenapa orang terdahulu tidak mau beriman justru karena mengingkari wahyu yang turun alias menolak konsep wahyu. Dan satu hal yang penting dicatat, faktor utama yang membedakan agama yang diterima dengan agama syirik juga faktor wahyu.

"Di mana agama yang diridhai Allah SWT hanya sebatas agama wahyu, sedangkan agama yang tidak berdasarkan wahyu tidak akan diterima Allah SWT," kata Ustaz Ahmad.

Ustaz Ahmad mengatakan, konsep wahyu sebenarnya sederhana sekali, mudah dicerna, tidak membutuhkan tingkat intelektualitas yang terlalu jauh. Seluruh bangsa dengan level peradaban paling rendah sekalipun pasti mampu menerima konsep wahyu. "Konsep wahyu diawali dengan eksistensi konsep ketuhanan yang universal dan sudah disepakati oleh seluruh peradaban manusia," katanya.

Menurutnya, tidak ada satu pun lapis masyarakat, bahkan yang paling primitif sekalipun yang tidak mengenal konsep bertuhan. Tinggal yang membedakan adalah apakah Tuhan itu menurunkan wahyu atau tidak. "Disinilah garis perbatasan yang tegas antara agama samawi dan agama non-samawi (agama ardhi)," katanya.

Ustaz Ahmad menjelaskan, agama samawi itu adalah agama yang punya konsep dasar bahwa Tuhan itu menurunkan wahyu. Sebaliknya agama non-samawi itu berkonsep tuhan itu ada, tuhan itu hebat, tuhan itu ini dan itu, tapi tuhan itu tidak menurunkan wahyu. Nantinya agama non-samawi ini juga sering disebut dengan istilah agama syirik, karena konsep tuhannya jadi banyak jumlahnya dan penuh dengan kepercayaan kepada dewa-dewa.

Ia mencontohkannya agama syirik yang dianut oleh bangsa Arab di era menjelang diutusnya Nabi Muhammad SAW. Mereka bertuhan kepada Allah SWT, bahkan menyebut Ka’bah sebagai rumah Allah (baitullah). "Dalam segala halnya mereka selalu mengucapkan lafazh bismillah," katanya.

Mereka juga kenal dengan sosok malaikat yang ghaib bahkan kenal dengan tokoh nenek moyang mereka, Ibrahim dan Ismail. Namun mereka tidak mengenal konsep wahyu yang turun kepada keduanya, bahkan malah mengingkarinya. "Sosok nabi sebagai orang yang diturunkan kepadanya wahyu samawi, tidak mereka pahami," katanya.

Menurutnya, dalam konsep bertuhan mereka, urusan wahyu itu urusan malaikat, tidak ada hubungannya dengan sosok manusia yang jadi nabi dan menerima wahyu. Buat mereka itu konsep yang aneh dan tidak bisa diterima akal. Makanya mereka kata Ustaz Ahmad protes sebagaimana direkam oleh Alquran surag Al-Furqan ayat 7 yang artinya.

Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?" [yy/republika]

 

Asal Kata Al-Quran

Asal Kata Al-Quran Menurut Pakar Fikih


Fiqhislam.com - Alquran memiliki banyak penamaan selain Alquran sebagai kitab suci umat Islam. Pakar Fiqih Ustaz Ahmad Sarwat Lc. MA mengatakan, ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang asal kata dari lafadz Alquran. Meski demikian masing-masing tidak menghilangkan isi Alquran.

"Sebagian berpendapat bahwa lafadz Alquran itu merupakan bentukan mashdar dari fi’il madhi," katanya dalam bukunya Mengenal Alquran.

Hal ini kata Ustaz Ahmad merupakan kebiasaan orang Arab yang dalam masalah gramatika bahasa, selalu mengaitkan nama dan istilah dengan akar katanya. Namun kata dia sebagian ulama ada yang berpendapat lafadz Alquran itu adalah nama asli dan bukan bentukan dari kata lain yang maksudnya tidak punya akar kata.

Pendapat pertama menyebutkan bahwa lafadz Alquran itu bentuk mashdar yang terbentuk dari fi’il madhi sebagai akar katanya. Namun mereka yang mengatakan demikian ternyata berbeda pendapat tentang akar katanya.

1. Qara’a-Yaqra’u = Membaca Al-Lihyani mengatkaan bahwa lafadz Alquran itu bentuk mashdar dari fi’il madhi (Qara’a-Yaqra’u). Maknanya adalah talaa atau membaca. Pendapat inilah yang barangkali paling sering kita dengar dari banyak kalangan.

2. Al-Qar’u yang berarti gabungan

Namun pendapat al-Lihyani di atas ditampik oleh Az-Zajjaj. Beliau kata Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan bahwa lafaz Alquran itu terbentuk dari asalnya yaitu al-qar’u yang bermakna al-jam’u yang artinya kumpulan atau gabungan. Wazan-nya adalah fu’la’ sebagaimana lafadz ghufran.

Seperti orang Arab menyebut: yaitu air telah berkumpul atau bergabung dalam telaga. Az-Zajjaj mengatakan bahwa secara akar kata bahwa Alquran itu bermakna gabungan, karena pada hakikatnya merupakan gabungan dari kitab-kitab samawi sebelumnya.

3. Al-Qarain berarti pembanding

Lain lagi dengan pendapat Al-Farra’ yang mengatakan bahwa kata Alquran itu tidak terbentuk dari kata qara’a-yaqra’u, tetapi merupakan bentukan dari kata dasar al-qarain yang merupakan bentuk jama’ dari qarinah. Makna qarinah itu sebanding, karena tiap ayat Alquran dengan ayat lainnya sebanding.

4. Qarana yang berarti menggabungkan

Demikian juga dengan Al-Asy’ari yang berpendapat agak mirip dengan Al-Farra’ di atas, bahwa lafadz Alquran itu merupakan bentukan dari sebuah kata dasar, yaitu qarana yang berarti menggabungkan, sebagaimana kalimat qarana asy syai’a bisy-syai’i yang maknanya menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

"Hanya saja berbeda dengan Az-Zajjaj di atas, bahwa makna yang digabung itu maksudnya adalah Alquran itu gabungan dari banyak ayat dan surat," katanya. [yy/republika]