Kesempurnaan Al-Quran Atas Kitab Suci Agama Samawi
Fiqhislam.com - Dialog teologis (interfaith dialogue) merupakan bentuk dialog yang lebih banyak melibatkan para ahli. Tujuan utama dialog teologis ini lebih menekankan pada kajian teks-teks suc agama-agama, dan bukan sekedar pendalaman iman terhadap Quran semata, tetapi juga memahami bagaimana relasi Quran dengan kitab-kitab sebelumnya.
Dialog teologis sekarang ini begitu masif disuarakan dan digelar di berbagai komunitas keagamaan di negara-negara Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Afrika. Prof. Idris as-Salawy, penulis buku "Manuscrits Arabes en Occident Musalman" المخطوطات العربية في الغرب الاسلامية (Marocco, Dar al-Baidha': Muassasah al-Malik 'Abdul 'Aziz, 1990), serta Prof. Raymond Farrin, seorang muallaf dan juga sebagai Associate Professor of Arabic Studies di the American University of Kuwait telah menulis buku "Structure and Quranic Interpretation: A Study of Symmetry and Coherence in Islam's Holy Text" (Oregon: White Cloud Press, 2014).
Kedua buku tersebut penting sebagai bacaan, terutama untuk memahami relasi teks Quran dengan teks-teks kitab agama-agama. Begitu juga karya Prof. Ahmad Shahlan, seorang professor di bidang Semitic Studies di Marocco yang berjudul قضايا من اصول موسى الى البابا بنديكت XVI (Rabat: Mathba'ah al-Risalah, 2016), buku ini sangat pemting utk membaca teks-teks Semit.
Menurut saya ada tiga ranah/bidang dialog teologis yang perlu kita suarakan di bumi Indonesia ini. Pertama, Dar al-Taqrib bayn al-madzahib al-Islamiyah (Islamic Studies).
Kedua, Dar al-Taqrib bayn al-Adyan al-Samiyah (Semitic Studies). Ketiga, Dar al-Taqrib bayn al-Adyan al-Samawiyah (Aryo-Semitic Studies)
Dalam konteks dialog teologis ini saya akan menjelaskan relasi teks suci agama-agama bertradisi Semit dan Arya. Menurut saya, tidak ada pembedaan dikotomis antara sebutan "agama-agama langit" dan "agama-agama bumi", sebab semua agama yang ada di muka bumi saat ini asal-usulnya pasti berasal dari langit. Islam datang untuk meluruskan, mengoreksi dan menyempurnakannya melalui kitab suci Quran, sebagaimana yang tersirat dalam teks Qs. al-Baqarah 2:106.
Kitab suci semua agama bukanlah sebuah teks sakral yang berdiri sendiri. Namun, kitab suci semua agama menegaskan semacam mata rantai yang menyadarkan kita tentang adanya konsep "One Word Many Versions" sesuai konteks zamannya. Dengan demikian, semua kitab suci ada semacam "common heritage" sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab suci, dan Quran telah mengkonfirmasikannya.
Misalnya, Mazmur 37:29, see Harav Yosef Yitzhaq. Sefer Tehilim: Ohel Yosef Yitzhaq (Brooklyn: Kehot Publication Society, 1992), p. 46, tertulis demikian:
צדיקים יירשו ארץ וישכנו לעד עליה. תהלים 37:29
"Orang-orang benar mewarisi bumi dan mereka akan tinggal selama-lamanya di bumi" (Tehilim 37:29).
Kitab suci Quran juga menyebutkan ayat yang sejajar, yang meneguhkan pernyataan kitab Mazmur dan sekaligus mengkonfirmasinya, yakni berkaitan dengan keberadaan orang-orang benar, atau pun orang-orang saleh. Qs. Al-Anbiya 21:105 menyebutkan demikian:
ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر ان الارض يرثها عبادى الصلحون
Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa hanya orang-orang saleh saja yang disebut "as-Shalikhun" (الصلحون) yang memiliki karakter kenabian. Itulah sebabnya ayat yang berkaitan dengan "orang-orang saleh" ternyata terletak pada Qs. Al-Anbiya' (lit. "para Nabi").
Kitab Smriti Weda dan Quran
Semua teks dari berbagai latar agama yang bermacam-macam, sebenarnya merekam "the great heritage" yang sumbernya berasal dari Rabb yang Maha Agung yang mengisahkan tentang keturunan orang yang saleh, yang naik ke bahtera Nuh. Itulah sebabnya kita dapat berkata: אנחנו בני אב אחד - Anahnu b'nei Av echad (Kita berasal dari Bapa yang satu), yakni Nuh atau Manu, dan dialah sebenarnya nenek moyang kita semua, yang saat itu selamat dari peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi, dan semua yang tidak beriman dan melakukan tindakan yang tidak saleh, tak seorang pun diselamatkan, semuanya tenggelam.
Dalam kitab agama Hindu, yakni kitab Manu Smriti-veda yang populer disebut kitab Manawa Dharmasastra, Pratamodyayah. 65 tertulis ayat demikian "Ratrih svapnaya bhutanam cestayai karma yanamahah" (malam untuk beristirahat dan siang untuk bekerja bagi makhluk hidup). Ayat suci Hindu ini ternyata ada kesejajaran dengan Qs. Al-Rum 30:23. Ini adalah kesejajaran antara ayat suci kedua agama besar, yakni Hindu dan Islam.
"Manu Smriti-veda, name of the most important text on the social and religious obligations (dharma) of Hindus. The work was composed in Sanskrit, probably about the first century B.C.E. or first century C.E. and has some 2,685 verses... Almost half the verses of this text attributed to the sage Manu are found also in the Mahabharata's twelfth and thirteenth books, though it is unclear which text has borrowed from the other", see Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism (New Delhi: Vision Books Pvt. Ltd., 2003), p. 128
Berdasarkan penjelasan Bruce M. Sullivan tersebut di atas, maka kitab Manu Smriti-veda merupakan kitab suci Hindu yang berkaitan dengan kitab hukum yang mengatur persoalan sosial dan kewajiban keagamaan. Menariknya, kitab Manu Smriti-veda ini ternyata ada relasi teks dengan kitab suci Mahabharata. Padahal berdasarkan latar sejarah, peristiwa dan penulisan kitab Mahabharata ternyata jauh lebih tua dibanding latar sejarah kelahiran ketokohan Abraham. Dan ini berarti agama-agama Abrahamik yang merujuk pada 3 agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam faktanya memang belum lahir dalam pentas sejarah.
Fakta ini akan lebih menarik lagi bila dikaji berdasarkan pembuktian studi manuskrip tertua antara manuskrip berbahasa Ibrani yang secara filologis dapat dibandingkan dengan manuskrip berbahasa Sanskrit. Salah satu fakta tekstual terkait dengan kisah mengenai Abraham dan kisah Nuh yang berkaitan dengan peristiwa banjir besar, ternyata justru termaktub dalam Sefer Bereshit, kitab ini ditemukan di gua Qumran yang disebut sebagai bagian dari the Dead Sea Scrolls. Usia manuskrip Sefer Bereshit atau pun Genesis Apocryphon berdasar calibrated age range melalui uji Carbon-14 sekitar 209 - 117 BCE atau 73 B.C.E - 14 C.E. dan ini ternyata tidak lebih dari the first century BCE. or the first century C.E., see Philip R. Davies. The Complete World of the Dead Sea Scrolls (London: Thames & Hudson Ltd., 2011), p. 74.
Kitab Manu Smriti-veda sebagai kitab hukum memang diwahyukan TUHAN dan diterima oleh Manu pasca peristiwa banjir besar yang menenggelamkan seluruh bumi. Manu saat itu mempunyai 3 orang putra; dalam teks Vedic Sanskrit namanya disebut Charma, Sharma, dan Yapeti; dan dalam teks Septuagint Yunani dan teks Vulgata Latina - nama mereka disebut dengan nama Cham, Sem, Iapheth (Genesis 7:13).
Sementara itu, dalam kitab تنوير المقباس من تفسير ابن عباس (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni 'Abbas) nama-nama bertradisi Arya tersebut juga ada kesejajarannya dalam versi tradisi Arab-Islam, yakni حام (Cham), سام (Sam) dan يافث (Yafats). Tatkala membahas teks Quran khususnya ayat dari QS. Hud 11:48 maka Ibnu 'Abbas berkata:
وكان معه ثلاتة بنين سام وحام ويافث
"Wa kana ma'ahu tsalastah banin Sam, wa Cham wa Yafats" (dan Nuh disertai 3 putranya yakni Sam, Cham dan Yafats), see al-Fayruzabadi (ed.), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn 'Abbas (Lubnan: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2011), hlm. 237.
Manu diperintahkan TUHAN untuk menaiki bahtera besar sehingga hanya Manu dan orang-orang suci saja yang selamat dari banjir besar tersebut. Peristiwa banjir besar ini merupakan "pralaya" atau "total destruction." Catatan mengenai peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi tersebut diabadikan dalam teks suci Hindu.
Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci Srimad Bhagavatam Purana. I.3.15.
rupam sa jagrhe matsyam caksusodadhi-samplave navy aropya mahi-mayyam apad vaivastavam manum. "When there was a complete inundation after the period of the Caksusa Manu and the whole world was deep within water, THE LORD accepted the form of a fish and protected Vaivasvata Manu - the father of man, keeping him up on an Ark", see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam of Krishna Dvaipayana Vyasa. First Canto. (Mumbai, India: the Bhaktivedanta Book Trust, 1995), pp. 146-147
"Ketika terjadi banjir bandang pasca periode Caksusa Manu dan seluruh dunia tenggelam. Tuhan berinkarnasi sebagai ikan dan melindungi Vaivasvata Manu, dengan menempatkan beliau ke atas kapal." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana). Skanda Satu - Jilid 1 "Ciptaan" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 205-206
Dalam kitab Srimad Bhagavatam Purana VIII.24.41 tertulis demikian:
tata samudra udvelah sarvatah plavayan mahim vardhamano maha-meghair varsadbhih samadrsyata,
"Thereafter, gigantic clouds pouring incessant water swelled the ocean more and more. Thus the ocean began to overflow onto the land and inundate the entire world." see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam. Eighth Canto-Part Three (New York: the Bhaktivedanta Book Trust, 1976), pp. 253-254.
"Kemudian, awan-awan mahabesar mencurahkan hujan mahadahsyat yang membuat permukaan lautan terus semakin meninggi. Demikianlah kemudian lautan mulai meluap membanjiri daratan di seluruh dunia." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) Skanda VIII Jilid 3 "Peleburan Ciptaan Alam Semesta" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 288.
Itulah sebabnya, kitab hukum yang diterima Manu ini disebut juga kitab Manu Smriti-veda atau disebut kitab Manawa Dharmasastra. Menariknya, nama Manu seakar dengan penyebutan "Man" atau "human" dalam bahasa English, yang satu rumpun dengan bahasa Sanskrit, dan dari istilah Manu inilah kita semua disebut "manusia", sebab kita semua adalah keturunan Manu yang selamat dari peristiwa banjir besar tersebut.
Menariknya, istilah Manu dalam bahasa Sanskrit bermakna "berpikir" atau "kecerdasan", dan itulah sebabnya "manusia" disebut sebagai "animale rationale." Sementara itu, dalam tradisi agama-agama Abrahamic bertradisi Semitik, tokoh Manu ini ternyata sejajar dan identik dengan figur Nuh (نوح) ataupun Noach (נוח), yang juga diperintahkan oleh TUHAN untuk membuat bahtera besar.
Pasca peristiwa banjir besar itulah maka akhirnya TUHAN memberikan hukum Nuh (Noach) yang kemudian disebut Noachic Laws, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Mishnah, sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be'al phe) bagi penganut agama Yahudi.
Quran Mengoreksi Bible
Kajian linguistik terhadap teks Quran memang tidak banyak dilakukan banyak orang. Padahal studi keilmuan dalam ranah kebahasaan sangatlah penting dalam memahami teks apapun, termasuk teks Quran sebagai teks yang disakralkan. Apalagi teks Quran merupakan "interne evidenti" yang sebenarnya bisa dikembangkan pengkajiannya berdasarkan studi linguistik Arab kuno.
Hal ini memang tidak mudah karena saat ini kita ternyata dihadapkan pada 2 kendala utama, (1) sakralitas teks Quran sebagai kitab suci yang "taken for granted", diterima apa adanya, (2) keterbatasan referensi kajian kebahasaan terkait bahasa Semit.
Ada 4 karya penting yang saya baca utk memulai kajian sub-tema ini, terutama bila ditilik berdasarkan studi linguistik Arab kuno, pertama, kitab yang berjudul مجمع البحرين من الفينيقية الى العربية: دراسة مقارنة في المعجم واللغات العروبية السامية (Mu'jam al-Bahrain min al-Finiqiyyah ila al-'Arabiyyah: Dirasah Muqaranah fi al-Mu'jam wa al-Lughat al-'Urubiyyah al-Samiyyah) karya Prof. Ahmad Shahlan, jebolan Universite Sourbone, Perancis; buku ini diterbitkan di Marocco, Rabat, 2009. Kedua, buku yang berjudul "Die El-Amarna-Tafeln mit Einleitung und Erlauterungen" karya JA. Knudtzon (Leipzig, Aalen: Otto Zeller Verlagsbuchhandlungen, 1964).
Ketiga, sebuah artikel karya A. Neubauer berjudul "Notice sur la lexicographie hebraique", journal Asiatique, decembre 1861. Keempat, buku berjudul ספר המשקלים מחקרים במשקל העברי ומאמרים בשאלות הלשון (Sefer Hamiskhkalim: Studies in Hebrew Philology) karya Rabbi Solomon Rabinowitz (New York, 1947).
Dalam rangka kajian sub-tema tersebut yang dikaitkan dengan studi linguistik Arab kuno, maka penelusuran kebahasaan melalui studi bahasa-bahasa Semit memang sangat penting dan menarik. Tentu saja hal ini dapat dikaji dengan cara merujuk pada kajian teks-teks kuno yang termaktub dalam berbagai inskripsi berbahasa Akkadia atau pun berbahasa Funesia, serta berbagai kajian manuskrip berbahasa Ibrani hingga berbahasa Arab kuno. Kita juga bisa melakukan eksplorasi kajian bertema utama itu dengan cara merujuk pada studi leksikografi, filologi dan perbandingan leksikon bahasa-bahasa serumpun.
Berkaitan dengan sub-tema tersebut, saya akan memulai pembahasan berdasarkan pada analisis kata Arab kuno بشر (basysyar) yang salah satunya bermakna بشره بمولد (basysyarahu bi mawlidin), yakni "joyful with the message of the birth of a son" (berita gembira tentang kelahiran seorang putera), yang term tersebut ternyata sejajar dengan kata בשר (bissar) dalam bahasa Ibrani. Term بشر dalam bahasa Arab kuno atau pun term בשר dalam bahasa Ibrani keduanya merupakan interne evidenti sebagai "jejak kebahasaan klasik" dalam teks keagamaan yang diturunkan dari induk bahasa Semit.
Bila term בשר telah termaktub dalam manuskrip the Dead Sea Scrolls (naskah Laut Mati), berarti minimal term בשר ini telah bertahan dan digunakan dalam tuturan dan teks tertulis selama 900 tahun hingga munculnya istilah بشر dalam teks Quran pada Abad ke-6 M. Fakta historio-linguistik term tersebut sebagaimana yang termaktub dalam manuskrip Qumran sejak Abad ke-3 SM. Each word has its own history (setiap kata memiliki sejarahnya sendiri). Itu berarti setiap kata dalam konteks ini bisa dikaji secara filologis dan studi linguistik historis.
Term بشر (basysyar) ini sangat khas secara linguistik. Bila term بشر (baysyar), lit. "berita gembira", bertemu dengan term غلام (ghulam), lit. "anak", maka dapat dipastikan bahwa makna sintaksis dari term بشر (basysyar) tersebut bermakna "berita gembira ttng kelahiran", dan bukan sekedar "berita gembira" saja. Pada Qs. ash-Shaffat 37:101 membuktikan tentang adanya makna "berita kelahiran" tersebut. Hal serupa dapat dijumpai pada teks Tanach, khususnya kitab Yeremia 20:15, terkait kata בשר (bissar) yang mengacu pada makna "berita gembira tentang kelahiran", bandingkan pula dengan kata "basysyuru" dalam bahasa Assyiria.
Berdasar pada QS. ash-Shaffat 37:101, pada ayat ini memang tidak dicantumkan nama anak yang dijadikan qurban oleh Abraham, tetapi bukan berarti hal ini tidak bisa diketahui siapa identitas nama sebenarnya dari anak yang dimaksud tersebut.
Dalam teks Quran, term بشر (basysyara) yang bertemu dengan الاسم (nama tertentu) juga dapat dipastikan secara sintaksis bahwa konteksnya selalu bermakna "berita gembira tentang kelahiran" seseorang yang dimaksud, misalnya frase يبشرك بيحيى (yubasysyiruka bi Yahya), lit. "Dia memberikan berita gembira tentang kelahiran Yahya kepadamu" (Ali Imran 3:39). Begitu juga frase يبشرك بكلمة منه اسمه المسيح عيسى (yubasysyiruki bi kalimatin minhu ismuhu Al-Masih Isa), lit. "Dia memberikan berita gembira tentang kelahiran dengan firman-Nya bernama Al-Masih Isa" (Ali Imran 3:45).
Begitu juga frase فبشرنها باسحاق (fabasysyarnaha bi Ishaq), lit. "maka Kami beritakan kabar berita tentang kelahiran Ishaq" (Hud 11:71). Lihatlah perikop dalam Quran Terjemahan Indonesia, yang berjudul "Kisah Nabi Ibrahim As dan Nabi Luth As (QS. Hud 11:69-71).
وَلَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُنَاۤ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ؕ قَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَآءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ
فَلَمَّا رَاٰۤ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَـكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ؕ قَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّاۤ اُرْسِلْنَاۤ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍ ؕ
وَامْرَاَ تُهٗ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَ ۙ وَمِنْ وَّرَآءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ
"Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, "Selamat." Dia (Ibrahim) menjawab, "Selamat (atas kamu)." Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, "Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut." Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan Kami berikan kabar gembira tentang kelahiran) Ya'qub." [QS. Hud: Ayat 69-71]
Dengan demikian, frase فبشرنها باسحاق (fa basysyarnaha bi Ishaqa) pada QS. Hud 11:71 maknanya sejajar dengan QS ash-Shaffat 37:112 yang juga terdapat frase yang berbunyi وبشرنه باسحاق (wa basysyarnahu bi Ishaqa). Jadi pada pembahasan sub-tema ini, yakni setelah peristiwa qurban itu dilakukan, maka selanjutnya Abraham mendapat berita bahagia tentang kelahiran Ishaq. Hal ini juga dapat dipastikan bahwa QS. ash-Shaffat 37:112 bermakna "berita gembira tentang kelahiran" Ishaq, dan bukan "berita gembira" tentang kenabian Ishaq. Hal ini secara sintaksis dapat dikenali berdasarkan konteks, dan hal ini ditandai adanya bertemunya dua kata kunci, yakni term بشر (basysyara) dengan الاسم (sang nama), yakni nama Ishaq pada ayat ke-112 tersebut.
Dua kata kunci itu saling berpasangan, yakni pasangan 2 kata kunci بشر + (ب) غلام atau pasangan 2 kata kunci بشر + (ب) الاسم yang saling menggantikan, dan pasangan 2 kata kunci itu dalam penggunaannya tidak pernah muncul dalam satu frase atau pun dalam satu kalimat. Inilah keunikan gramatika Arab kuno khususnya, yang juga muncul dalam teks-teks berbahasa Arab pada era berikutnya, misalnya sebagaimana yang termaktub dalam gramatika Alkitab berbahasa Arab khas Kristen.
Teks kitab suci Quran secara jelas menyatakan bahwa sang putera yang diqurbankan oleh Abraham (Ibrahim) adalah sang putera yang lahir sebelum Ishaq dilahirkan. Bila qurban dilaksanakan sebelum Ishaq dilahirkan, maka qurban itu terkait dengan putera Abraham yang pertama, yang disebut غلام حليم (ghulam khalim), yakni Ishmael.
Sebaliknya, Torah dan Bible menyebutkan bahwa sang putera yang diqurbankan oleh Abraham itu bernama Ishaq. Dalam konteks ini, Quran telah mengoreksi narasi Bible terkait tentang siapa yang dijadikan qurban.
B'rit Milah dan Millah Ibrahim: Relevansinya dengan Qurban Abraham dalam Quran
Kitab Hadits merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah Quran dalam ajaran agama Islam, sebagaimana kitab Midrash Rabbah sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be 'alphe) merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah kitab Chumash sebagai תורה שבכתב (Torah she bichtav) dalam agama Yahudi.
Teks matan hadits versi Islam yang berkaitan dengan siapa yang akan dijadikan qurban memang disebutkan adanya 2 versi penyebutan nama, sebagaimana teks midrash agada versi Yahudi juga menyebutkan adanya 2 versi tentang usia sang putera, saat dia akan dijadikan qurban. Bahkan, ada 2 versi kitab Chumash (Torah she bichtav) yang menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau tempat qurban yang berbeda, sebagaimana yang disebutkan antara versi teks kitab Torah Samaritan dan versi teks kitab Torah Masoret (Masorah).
Jadi, berkaitan dengan identitas nama sang putera yang dijadikan qurban oleh Abraham menurut teks matan hadits, memang ada 2 versi yakni disebutkan nama Ishmael dan nama Ishaq. Meskipun dalam kitab Chumash (Torah she bichtav) tertulis nama Ishaq, tetapi dalam teks midrash agada (Torah she be 'alphe) ternyata juga disebutkan adanya 2 versi usia Ishaq saat dijadikan qurban, yakni usia 37 tahun dan usia 5 tahun.
Bahkan, Torah she bichtav (the Chumash) menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau nama tempat yang berbeda saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham, yakni tanah Moreh dan tanah Moriah. Dengan kata lain, sebagaimana yang termaktub pada teks versi hadits, yang pertama menyebutkan nama Ishmael, dan yang kedua menyebutkan nama Ishaq. Jadi hadits menyebutkan tentang siapa yang akan dijadikan qurban oleh Abraham memang berbeda-beda, sebagaimana adanya kontroversi tentang umur (usia) Ishaq saat dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda, dan bahkan identitas nama lokasi atau nama tempat saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda.
Perbedaan mengenai identitas nama sang putera, keakuratan usia dan identitas nama lokasi terkait peristiwa qurban memang merupakan 3 hal yang amat kontroversial dalam teks kitab Hadits, kitab Chumash (Torah she bichtav) dan kitab Midrash Rabbah (Torah she be 'alphe). Hal inilah yang tidak dipahami atau sengaja tidak diuraikan oleh Bambang Noersena dalam paparannya.
Bambang Noorsena, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) memang sengaja "menyerang" atau mempersoalkan sisi perbedaan teks matan hadits terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Hadits, tetapi Bambang Noersena sengaja "tidak menyerang" atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks midrash agada terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Rabbah. Bahkan, Bambang Noersena juga "tidak menyerang" atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks Chumash (Torah she bichtav) terkait perbedaan qurban. Anda bisa melihat perbedaan teks Sefer Bereshit 22:2 antara teks Torah versi Masorah (Masoret) dan teks Torah versi Samaritan; versi pertama menyebut מריה (Moriah), sedangkan versi kedua menyebut מרה (Moreh). Torah versi Masorah menyebut מריה (Moriah) merujuk pada lokasi sakral di bukit Zion, di kota Yerusalem, wilayah Israel bagian selatan; sedangkan Torah versi Samaria menyebut מרה (Moreh) merujuk pada lokasi sakral di bukit Gerizim, di kota Nablus, wilayah Israel bagian utara. Keberadaan bukit Gerizim ini termaktub dalam Torah versi Samaria dan Torah versi Masorah, dan penyebutan nama kota Nablus di kawasan Moreh tersebut juga termaktub dalam Targum Aravit (Judeo-Arabic Targum), yakni sebuah Targum dan Tafsir tertua versi bhs Arab dalam tradisi agama Yahudi, sebuah karya "magnus opus" dari Rabbenu Saadia Gaon (Rasag).
Padahal kota Sikhem dalam teks aslinya yang berbahasa Ibrani justru tertulis עיר שכם ('ir Shechem), lit. "kota Sikhem." Meskipun demikian, penyebutan kota Nablus itu merupakan bentuk Arabisasi dari nama kuno kota dari bahasa Ibrani, yang disebut kota Sikhem. Lihatlah Targum Aravit karya Rasag, khususnya Sefer Bereshit 33:18 tertulis:
ת'ם ודכ'ל יעקוב סאלמא אלי קריה נאבלס אלתי פי אלבלד כנעאן
"tsumma dakhala Ya'kub saliman ila qaryah Nablus allati fi al-balad Kan'an." (Kemudian Yakub memasuki dengan selamat menuju ke kota Nablus), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-'Arabiyyah: Version Arabe du Pentateuque de R. Saadia ben Iosef Al-Fayyoumi (Paris: Ernest Leroux, Editeour, 1893), pp. 54-55
Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri, adalah seorang Kahin (Imam) dari agama Israel Samaritan, pemimpin tertinggi kaum Samaria. Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri telah menerjemahkan kitab suci Torah Samaritan dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. Menurutnya, sebutan kota Nablus merupakan nama Arab dari kota Sechem versi teks Torah Samaritan. Lihat Sefer Bereshit 33:18 teksnya tertulis demikian.
جاء يعقوب سالما الى مدينة نابلس التي في ارض كنعان
"ja-a Ya'kub saliman ila madinah Nablus allati fi ardhi Kan'an." (Yakub telah datang dengan aman menuju ke kota Nablus yang terletak di tanah Kanaan), see Al-Kahin as-Samiri Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri. At-Tawrah as-Samiriyyah: Tarjamah min Al-'Ibraniyyah ila Al-'Arabiyyah (Al-Qahirah: Dar Al-Jil, 2007), p.68
Dengan demikian, nama kota Sechem dalam bahasa Ibrani memiliki nama Arab dengan sebutan Nablus. Hal ini bukanlah sebuah kesalahan terjemahan yang fatal dari sebuah interpretasi gegabah dari Rabbenu Saadia Gaon. Penyebutan versi Arab tersebut pasti merupakan ingatan kolektif yang diakui bersama yang berasal dari tradisi kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bahkan, Imam tertinggi kaum Samaria juga telah memahami nama kota itu dengan sebutan yang sama. Bukti tekstual ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.
Kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini bukan hanya dikenal di zaman Yakub, tetapi kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini justru telah dikenal oleh Abraham sejak awal kedatangannya di wilayah Kanaan. Silakan Anda cermati teks Sefer Bereshit 12:6. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon dan Al-Kahin Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri ternyata sama-sama menerjemahkan sebutan kota Shechem dengan nama Arabnya, yakni kota Nablus.
Rabbi Saadia Gaon menerjemahkan demikian:
פטאף אברם פי אלבלד אלי מוצ'ע נאבלוס ואלי מרג' ממרה ואלכנעאני חיניד' כאן מקימא פי אלבלד
"fathafa Abram fi al-balad ila mawdhi'i Nablus wa ila marji mi-Moreh wa al-Kan'ani khinaidzin kana muqiman fi al-balad." (Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon terbantin di Moreh. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-'Arabiyyah. Version Arabe du Pentateuque (Paris: Ernest Leroux, Editeur, 1893), p. 19
Bila dalam kitab Hadits, perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama sang putera yang akan dijadikan qurban, justru dalam kitab Chumash (Torah she be bichtav), perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama "maqam" atau lokasi atau nama tempat yang akan dijadikan qurban. Mengapa dalam konteks ini Bambang Noersena tidak berbicara secara fair? Bukankah perbedaan nama "maqam" atau nama lokasi tempat qurban lebih substansial utk diperdebatkan atau pun dikritisi dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan dijadikan qurban?
Perbedaan nama "maqam" tempat qurban Abraham justru menjadi pemicu dan menjadi sebab perbedaan qiblat sebagai arah sembahyang antara kaum Samaria dan kaum Yahudi, dan sekaligus menjadi penyebab perbedaan tempat pelaksanaan qurban sembelihan perayaan Paskah antara kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bukankah mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama yakni kitab Torah? Bukankah konsekuensi perbedaan nama "maqam" ini lebih fatal dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan menjadi qurban?
Umat Islam sejak dulu hingga kini memiliki qiblat yang sama, berhaji di tempat yang sama, dan ber-qurban di hari yang sama, dan merujuk pada kitab suci Quran yang sama, meskipun dalam hadits ada penyebutan nama putera Abraham yang berbeda sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban. Dengan demikian, hal ini semakin jelas. Umat Islam mentradisikan ibadah qurban di tempat yang sama meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan disebutkan nama yang berbeda.
Sebaliknya, umat Israel mentradisikan ibadah qurban di tempat yang berbeda karena nama "maqam" tempat qurban Abraham disebutkan nama yang berbeda pula, meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan itu disebutkan nama yang sama. Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bukankah kitab suci Chumash merupakan bagian dari kitab suci Perjanjian Lama (the Old Testament) bagi agama Kristiani? Mengapa perbedaan teks mengenai identitas nama lokasi atau nama tempat qurban Abraham antara kitab suci Perjanjian Lama dengan kitab suci Chumash (Torah Samaritan) tidak dibedah secara adil dalam pembahasannya kepada publik? Kejujuran merupakan modal intelektual yang niscaya sebagai seorang akademisi.
Ulasan Rabbi Bachya ben Asher dalam Tafsir-nya מדרש רבינו בחיי על חמשה חומשי תורה (Midrash Rabbenu Bachya 'al Chamisha Chumshe Torah) menjelaskan bahwa tatkala dijadikan qurban, Ishaq telah berusia 37 tahun, dan saat itu dia disebut sebagai הנער (ha-na'ar). Meskipun berdasarkan narasi teks midrash agada ditemukan adanya perbedaan usia tatkala Ishaq dijadikan qurban, tetapi Rabbi Bachya melalui proses selektif, justru lebih condong memilih teks midrash agada yang menjelaskan adanya penyebutan usia Ishaq tatkala dijadikan qurban oleh Abraham, yaitu usia 37 tahun, dibanding usia 5 tahun.
Rabbi Bachya dalam hal ini lebih condong pada nas yang termaktub dalam teks Midrash Bereshit Rabbah 56:11, dan Rabbi Bachya juga merujuk pada kitab tafsir tertua berbahasa Ibrani atas kitab Bereshit, ditulis oleh Rabbi Eliezer pada Abad ke-1, dan karyanya kemudian dikenal dengan judul Pirke Rabbi Eliezer. Silakan Anda memeriksa kitab Pirke Rabbi Eliezer pasal 31 (Yerushlayim: Eschol, hlm. קד).
בן שבע ושלשים שנה היה יצחק בלכתו אל הר המוריה
"Ben sheba' u-sheloshim shanah hayah Yitzhaq belachto el har ha-Moriyyah .... "
"Sang putera yakni Ishaq telah berusia 37 tahun tatkala dia pergi ke puncak gunung Moria ..."
Sebaliknya, Rabbi Ibn Ezra dalam kitab tafsirnya atas kitab Torah sangatlah menarik. Dia justru menolak otoritas kedua narasi dari teks midrash agada terkait usia Ishaq tatkala dia dijadikan qurban oleh Abraham. Rabbi Ibn Ezra mengatakan
"Our sages, of blessed memory, say that Isaac was 37 years old at the time of binding. If this be a tradition, we will accept it. However, from a strictly logical point of view it is unacceptable. If Isaac was an adult at that time, then his piety should have been revealed in Scripture and his reward should be double that of his father for willingly having submitted himself to be sacrificed. Yet Scripture says nothing concerning Isaac's great self-sacrifice. Others say that Isaac was 5 years old at the time of his binding. This, too, is unacceptable, since Isaac carried the wood for the sacrificial pyre. A child of five would be unable to carry that much wood. It thus appears logical to assume that Isaac was close to 13 years old and that Abraham overpowered him and bound him against his will. Proof of this can be seen from the fact that Abraham hid his intention from Isaac and told him, "God will provide Himself the lamb for a burnt-offering, my son (Bereshit 22:8). Abraham knew that if he said: "You are to be the burnt-offering," Isaac would quite possibly have fled", see Bereshit 22:4.
Dengan demikian, penjelasan teks midrash agada terkait versi usia Ishaq 37 tahun atau pun versi usia Ishaq 5 tahun, keduanya ternyata ditolak oleh Ibn Ezra sebagai teks midrash agada yang shahih. Dia mengatakan bahwa anak yang akan dijadikan qurban itu pasti usia 13 tahun dan ini terkait dengan nalar yang valid. Faktanya, semua kitab Miqraot Gedolot le-Chumash, pasti memuat Tafsir Rashi dan Tafsir Ibn Ezra, dan kitab Tafsir Ibn Ezra ini dijadikan rujukan otoritatif oleh semua komunitas Yahudi Aschenazim.
Bahkan, komunitas Yahudi Sephardim menganggap kitab Tafsir Ibn Ezra sebagai kitab tafsir yang otoritatif dan kitab ini juga dianggap sebagai kitab tafsir tertua atas kitab Chumash (Torah she bichtav), tentu saja berdampingan dengan kitab Tafsir Rasag. Bagi kaum Yahudi Aschenazim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rashi dan kitab Tafsir Ibn Ezra, sedangkan bagi komunitas Yahudi Sephardim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rasag dan kitab Tafsir Ibn Ezra. Dengan demikian, kitab Tafsir Ibn Ezra memiliki posisi amat penting dalam pemikiran Rabbinik bagi semua komunitas Yahudi.
Ada hal yang sangat menarik berkaitan dengan pentingnya usia 5 tahun dan usia 13 tahun dalam tradisi Yahudi, sehingga signifikansi usia tersebut termaktub dalam kitab Torah (Bible), kitab Midrash Bereshit Rabbah, dan kitab Talmud. Dalam kitab Talmud disebutkan demikian:
"Jehudah ben Tama used to say: "At the age of 5 one is ready to study the Bible, at 10 to study the Mishnah, at 13 to observe the Commandments (Mitzvoth), at 15 to study the Talmud, at 18 to get married, at 20 to start earning a livelihood, at 30 to enter into one's full strength, at 40 to show discernment, at 50 to give counsel, at 60 to start feeling old, at 70 to turn white, at 80 for travail and trouble, at 90 for senility; and at 100 ... for death", see Lewis Browne. The Wisdom of Israel: An Anthology (New York: the Modern Library, 1945), p. 184
Sefer Bereshit 17:25-26 menyebutkan demikian:
"Dan Ishmael, anaknya, berumur 13 tahun ketika dikerat kulit khatannya. Pada hari itu juga Abraham dan Ishmael, anaknya, disunat."
Kitab Sefer Bereshit 17:25 menyatakan bahwa Ishmael mendapatkan ברית מילה (B'rit Milah) melalui kewajiban sunat saat dia berumur 13 tahun, dan pada saat usia 13 tahun itulah Ishmael mulai disebut sebagai "son of the Commandments" yang dalam bahasa Ibrani disebut בר מצוה (bar Mitzvah), yang menunjukkan usia kematangan keagamaan sang putera. Dalam agama Yahudi mengenal adanya 613 mitzvoth, dan dalam Sefer Hachinuch, mitzvoth urutan yang ke-2 adalah kewajiban bersunat, yakni מצות מילה (mitzvoth Milah).
Dalam konteks ini, Ishmael disunat oleh Abraham dengan tangannya sendiri, sesuai kesaksian nas kitab suci (Sefer Bereshit 17:23). Jadi usia 13 tahun bukanlah usia yang tidak memiliki makna apapun, tapi justru ketepatan usia 13 tahun bagi Ishmael merupakan usia "penanda" yang sangat signifikan menurut midrash halacha, sebagaimana penjelasan yang termaktub dalam kitab Talmud. B'rit Milah sebagai mitzvoth ke-2 ini juga merupakan penanda adanya relasi pewarisan ملة ابراهيم Millah Ibrahim (B'rit Milah Avraham) dengan risalah Islam, sebagaimana nas yang termaktub dalam Qs. Ali Imran 3:68.
Dalam teks Sefer Bereshit (Genesis) 18:7 juga disebutkan nas yang demikian:
"Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, dia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan diserahkan kepada bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya."
Istilah "bujangnya" dalam versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia terkait teks Sefer Bereshit 18:7 memang bermasalah. Alkitab versi berbahasa Ibrani, teks aslinya tertulis אל הנער (el ha-na'ar). Rashi menjelaskan זה ישמעעאל (zeh Yishmael), lit. "ini adalah Ishmael", לחנכו במצות (le hannecho be mitzvoth), lit. "Instruct him in performance of religious Commandments."
Rashi dalam hal ini mengutip teks midrash agada yang shahih, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Bereshit Rabbah 48:13. Dalam hal ini, mengapa Rashi dalam penjelasannya mengaitkan Ishmael dengan mitzvoth (commandments)? Apakah ini juga terkait dengan penanda usia Ishmael yang saat itu berumur 13 tahun, yang disebut sebagai "bar-mitzvah"? Silakan Anda merenungkannya.
Menariknya lagi, berdasarkan pada nas Sefer Bereshit 18:7 tersebut, Rasag (Rabbi Saadia Gaon) juga memahami frase אל הנער (el ha-na'ar) dalam bahasa Ibrani tersebut diterjemahkan menjadi אלי אלג'לאם (ila al-ghulam), sebagaimana yang tertulis dalam Targum Aravit-nya, yakni Judeo-Arabic Targum. Mengapa Rasag menyebut dengan sebutan אלג'לאם (al-ghulam) terkait ayat yang termaktub dalam Sefer Bereshit 18:7 tersebut? Ini merupakan fakta tekstual bahwa Rasag memang benar-benar memahami sosok yang dimaksud pada ayat ini merujuk kepada Ishmael, meskipun teks bahasa Ibraninya menyebut dengan istilah הנער (ha-na'ar).
Rasag juga pasti telah membaca dua kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Pirke Rabbi Eliezer yang menjelaskan siapa sebenarnya הנער (ha-na'ar) yang dimaksud pada ayat tersebut. Itulah sebabnya, Rabbi Saadia Gaon menggunakan istilah אלג'לאם (al-ghulam), yang bermakna "sang putra" (sang anak) pada teks Sefer Bereshit 18:7.
Dengan demikian, Rabbi Eliezer, Rabbenu Saadia Gaon, Rashi, dan Rabbenu Ibnu Ezra semuanya telah sepakat mengenai sosok yang dimaksud pada ayat Sefer Bereshit 18:7 ternyata mengacu kepada Ishmael, dan bukan kepada anak yang lain, apalagi mengacu kepada orang lain. Itulah sebabnya Abraham tidak menyembelihnya sendiri anak lembu tersebut, tetapi menyerahkannya kepada Ishmael, sang puteranya sendiri, untuk menyembelihnya. Hal ini bertujuan agar Ishmael dapat melaksanakan mitzvoth ke-5 dari antara 613 mitzvoth, yakni kewajiban מצות שחיטת (mitzvoth Sechithot), menyembelih binatang sebagai seorang Suchat sesuai aturan hukum.
Selain itu, ada hal yang lebih penting lagi terkait dengan qurban Abraham, yang menurut saya sangat serius untuk diperbincangkan dalam ranah lintas iman. Pada Sefer Bereshit 22:3 ternyata Abraham membawa 2 bujangnya. Siapakah yang dimaksud kedua bujang Abraham tersebut? Kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Tafsir Rabbi Eliezer ternyata menyebut 2 nama, yakni Eliezer dan Ishmael.
Ringkasnya, kitab Tafsir Rabbi Eliezer sebagai kitab tafsir tertua dalam tradisi agama Yahudi, ternyata menyebutkan nama Ishmael sebagai sosok yang juga dibawa serta oleh Abraham untuk melaksanakan perintah qurban tersebut. Menariknya, Rabbi Saadia Gaon ben Yosef menerjemahkan ג'לאמיה (ghulamayhi), lit. "dua anaknya." Ini merupakan fakta penting yang tidak dapat ditolak oleh akademisi manapun bahwa istilah "bujang" pada versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia yang merujuk pada nas Sefer Bereshit 22:3 itu justru mengacu kepada Ishmael yang disebut sebagai "ghulam" (anak) oleh Rabbenu Saadia Gaon.
Jadi, Ishmael adalah pribadi istimewa yang juga terlibat dalam peristiwa qurban Abraham tersebut. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon menyebut Ishaq dengan sebutan אבנה (ibnahu), lit. "anaknya", bukan dengan sebutan ג'לאמה (ghulamahu), lit. "anaknya", lihat Targum Aravit 22:3. Yang lebih menarik lagi, QS. ash-Shaffat 37:2 ayatnya berbunyi:
فبشرنه بغلام حليم
"maka Kami berikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran ghulam (anak) yang penyantun." Dengan demikian, Tafsir Rasag atas teks Bereshit 22:3 yang menyebut dengan sebutan ג'לאם (ghulam) kepada Ishmael, ternyata ada kesejajaran dengan sebutan غلام (ghulam) yang merujuk kepada anak yang akan dijadikan sebagai qurban oleh Abraham menurut teks Quran, lihat QS. ash-Shaffat 37:2.
Dengan demikian, jika Rabbi Ibn Ezra lebih condong pada batasan usia 13 tahun tatkala sang putera dijadikan qurban, ini merupakan indikasi kuat bahwa peristiwa qurban itu sebenarnya tertuju kepada Ishmael saat usianya mencapai usia bar Mitzvah, yakni usia 13 tahun; dan peristiwa ini pasti terjadi sebelum Ishaq dilahirkan. Ketepatan usia sebagai "bar Mitzvah" sangat penting bila dikaitkan dengan peristiwa qurban, karena Ishmael disuruh Abraham menyembelih anak lembu ternyata Ishmael saat itu juga berumur 13 tahun, dan sesuai catatan kitab suci, saat itu Ishaq faktanya belum dilahirkan (Sefer Bereshit 18:7-15). 1. Ishmael disunat usia 13 tahun. 2. Ishmael disembelih usia 13 tahun. 3. Ishmael menyembelih usia 13 tahun.
Tafsir al-Jalalayn juga menyebutkan batas minimal usia بلغ (balagha) itu 13 tahun, dan pada usia 13 tahun inilah sang putera akan dijadikan qurban. Hal itu sebagaimana pembahasan QS. ash-Shaffat 37:102 yang memuat penafsiran ayat فلما بلغ معه السعي (fa lamma balagha ma'ahu as-sa'ya), khususnya membahas makna kata بلغ (balagha): قيل سبع سنين وقيل ثلاث عشرة سنة (qila sab'a sinin wa qila stalasta 'ashrah shanah), lit. "dikatakan: 27 tahun dan 13 tahun." Jadi, pengertian بلغ (balagha) dalam Tafsir al-Jalalayn itu ada yang merujuk pada batas usia 13 tahun, dan ada juga yang merujuk pada batas usia 27 tahun.
Berkaitan dengan hadits-hadits yang kontroversial tentang nama sang "dzabih" , yakni sang putera yang akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu merupakan berdebatan internal umat Islam sendiri, sebagaimana berkaitan dengan nas yang termaktub dalam teks Torah versi Masorah dan versi Samaritan yang kontroversial tentang nama "maqam", yakni lokasi sakral tatkala sang putera akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu juga merupakan perdebatan internal bagi umat yang berpegang pada kitab suci Torah, yakni antara umat Yahudi dengan umat Samaritan, dan sekaligus perdebatan antara umat Samaritan dan umat Kristen.
Selain itu, berkaitan dengan peristiwa qurban Abraham, memang ada ikhtilaf antara teks kitab suci Torah dengan teks kitab suci Quran. Menurut teks Quran, peristiwa qurban Abraham itu terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, sesuai nas QS. ash-Shaffat 37:102-111, sedangkan berita gembira tentang kelahiran Ishaq diceritakan pada ayat QS. ash-Shaffat 37:112. Sebaliknya, menurut teks Torah, peristiwa qurban Abraham itu terjadi setelah kelahiran Ishaq, sesuai nas Sefer Bereshit 21:1-7; Sefer Bereshit 22:1-18.
Namun, ada pertanyaan yang sulit terjawab:
1. Bukankah perintah qurban itu diwahyukan oleh TUHAN kepada Abraham tatkala ia berada di Bersyeba, wilayah negeri orang Filistin? Sefer Bereshit 21:33-34
2. Hagar dan Ishmael berada di Bersyeba, wilayah kawasan Paran. Sefer Bereshit 21:14
3. Bukankah setelah pelaksanaan qurban tersebut Abraham kembali lagi ke Bersyeba dan tinggal di Bersyeba? Sefer Bereshit 22:19.
4. Bukankah Abraham selama hidupnya tidak pernah berada di Bersyeba, kecuali saat sebelum dan setelah peristiwa perintah qurban?
5. Bukankah selama hidupnya Sarah tidak pernah berada di Bersyeba?
6. Sarah akhirnya meninggal di Kiryat Arba, kota Hebron, wilayah negeri orang Kanaan, dan Abraham datang dan meratapinya di sana. Sefer Bereshit 23:1-2. Jadi, Sarah meninggal dunia di Hebron, dan Abraham datang meratapinya di sana.
Kita tentu akan bertanya. Pertama, Abraham datang darimana? Kedua, mengapa Sarah meninggal?
Pertama, Rashi menjelaskan: ויבו אברהם (vay-yavo Avraham), lit. "and Abraham came", מבאר שבע (mib-Beer-sheva'), lit. "from Beer-sheba" לספד לשקה ולבכתה (li sephod le Sarah we livkotah), lit. "to eulogize Sarah and to bewail her. Penjelasan Rashi ini menegaskan bahwa Abraham datang dari Bersyeba menuju ke Hebron.
Kedua, Rashi menjelaskan: ונסמכה שרה לעקדת יצחק (we nismechah mitat Sarah le'aqdat Yitzhaq), "Sarah's death is juxtaposed with the binding of Isaac." Penjelasan Rashi ini juga menegaskan bahwa Sarah tidak pernah berada di Bersyeba, tempat Hagar dan Ishmael. Dan Sarah meninggal akibat "berita tentang perintah qurban" tsb. Itu artinya, saat turun perintah qurban, Abraham sedang berada di Bersyeba dan Sarah tidak bersama-sama dengan Abraham di Bersyeba. Dan, setelah melaksanakan perintah qurban itu, Abraham ternyata tidak kembali ke Hebron, tetapi justru kembali ke Bersyeba.
Bukankah Sarah tidak sedang berada di Bersyeba? Siapa yang sedang berada di Bersyeba? Abraham kembali ke Hebron dari Bersyeba justru tatkala Sarah meninggal dunia.
Dengan demikian, siapakah sebenarnya sang putera yang diqurbankan oleh Abraham? Silakan Anda menjawab sendiri. [yy/republika]
Oleh Menachem Ali, Dosen Filologi Universitas Airlanggga