Hujjatul Islam: KH Muhammad Cholil
Fiqhislam.com - Pernah mendengar, dari sebuah tongkat dan seuntai tasbih, lahir 'bayi' yang di kemudian hari menjadi 'raksasa'? Bagi orang yang awam dan kebanyakan masyarakat lainnya, hal itu tampak sebagai sesuatu yang mustahil.
Namun, tidak demikian halnya bagi Kiai Cholil. Bayi yang dimaksud bukanlah bayi berbentuk manusia, melainkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang kini telah menjadi besar, dan diikuti sekitar 40 juta penduduk Muslim Indonesia. Lalu, siapakah Kiai Cholil?
Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), nama itu tentu sudah tak asing. Dialah tokoh sentral di balik kelahiran 'bayi' yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Dalam bukunya, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, Mujammil Qomar memaparkan, ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian jam'iyah atau organisasi yang bernama NU ini.
Ketiga orang itu adalah KH Wahab Chasbullah, Tambak Beras, Jombang; KH Hasyim Asy'ari (Ponpes Tebuireng, Jombang); dan KH Cholil (Bangkalan).
Menurut Qomar, ketiga tokoh itu memiliki peran masing-masing. Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. ''Saat ini, Kiai Hasyim (Asy'ari) sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,'' kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
Sepotong kalimat pendek ini memiliki makna mendalam. Kalimat pendek yang diucapkan itu, agaknya ikut memperlancar, bahkan menentukan lahirnya organisasi NU.
Ihwal pemberian tongkat ini bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasihat Kiai Cholil, sehubungan dengan ide untuk mendirikan jam'iyah bagi para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, namun untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin mengambil keputusan sendiri.
Pada awalnya, ide pembentukan jam'iyah itu muncul dari kelompok diskusi Tashwirul Afkar (potret pemikiran) yang didirikan oleh Kiai Wahab pada 1924 di Surabaya. Kelompok ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun bidang pendidikan dan politik.
Namun, jauh sebelum itu, Kiai Wahab sudah bergabung dengan organisasi yang bernama Komite Hijaz.
Organisasi tersebut berperan besar melawan gerakan Wahabi dan kebijakan Pemerintah Saudi Arabia yang bermaksud menghilangkan berbagai situs dan peninggalan Islam.
Dalam perjalanan berikutnya, peserta kelompok diskusi yang tergabung dalam Tashwirul Afkar ini bermaksud mendirikan sebuah jam'iyah yang lingkupnya lebih besar ketimbang hanya sebuah kelompok diskusi.
Karenanya, Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim, yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Sementara itu, Kiai Cholil, guru Kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu. Ternyata, Kiai Cholil sangat tanggap dan memiliki kepekaan yang luar biasa.
Seorang santri, sekaligus cucunya sendiri, As'ad Syamsul Arifin (kemudian hari tekenal sebagai KH As'ad Syamsul Arifin, Situbondo), dipanggil untuk menghadap.
Selanjutnya, As'ad diminta untuk menyerahkan tongkat milik Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim. Kiai Cholil juga menitip sejumlah ayat Alquran yang mengisahkan tentang perjuangan Musa AS melawan Firaun dan melemparkan tongkatnya hingga menjadi ular raksasa.
Dari sinilah kemudian kisah mengenai tongkat tersebut bergulir. Sesampainya di Jombang, As'ad segera berkunjung ke kediaman Kiai Hasyim untuk menyerahkan tongkat tersebut. Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jam'iyah berjalan cukup lama. Hingga, Kiai Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M), keinginan untuk mendirikan jam'iyah belum juga terwujud. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, 'jabang bayi' yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama.
Hidup mandiri
Muhammad Cholil, begitu nama yang diberikan kedua orang tuanya. Sang ayah, Kiai Abdul Latif, sangat berharap agar anak laki-lakinya yang dilahirkan pada 11 Jumadil Akhir 1235 H atau bertepatan dengan 27 Januari 1820 M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, ini di kemudian hari menjadi pemimpin umat sebagaimana nenek moyangnya.
Sehubungan dengan harapannya itu, Kiai Abdul Latif pun turun tangan langsung untuk mendidik anaknya. Cholil kecil ternyata memang menunjukkan bakat yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fikih dan nahwu (gramatika), sangat luar biasa.
Ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan sang ayah, Cholil dikirim ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Sekitar tahun 1850-an, Cholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan, ia pindah menuntut ilmu ke Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Kemudian, melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Keboncandi, Pasuruan. Selama di Keboncandi, Cholil juga belajar pada Kiai Nur Hasan, yang masih terhitung familinya, di Sidogiri.
Pulang pergi dari Keboncandi ke Sidogiri, yang berjarak sekitar tujuh kilometer, dilakoni setiap hari. Selama perjalanan Keboncandi-Sidogiri, ia selalu membaca Surah Yasin, hingga khatam berkali-kali.
Sejak usia belia, Kiai Cholil dikenal sebagai sosok yang mandiri. Sebagaimana diketahui, selain mengajar mengaji, ayah Kiai Cholil juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas. Dari hasil pertaniannya, padi dan palawija, serta hasil kebunnya, durian, rambutan, dan lain-lain, Kiai Adul Latif cukup mampu mengongkosi anaknya selama nyantri.
Kendati berasal dari keluarga berada, namun Cholil tak mau merepotkan orang tuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Cholil tinggal di Keboncandi dan belajar membatik. Cholil pun menjadi buruh batik. Dari hasil memburuh batik itu, dia mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya.
Kemandirian dalam diri Cholil muda juga tampak ketika beliau berkeinginan menuntut ilmu hingga ke Makkah. Saat itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita hampir semua santri. Guna memenuhi semua biaya yang dibutuhkan untuk kepergiaan ke Makkah ini, dia memutuskan untuk belajar terlebih dahulu di sebuah pesantren di Banyuwangi.
Pengasuh pesantren itu dikenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Selama menjadi santri di sana, dia juga menjadi buruh pemetik kelapa. Untuk setiap pohon, dia diupah 2,5 sen. Uang yang diperoleh itu ditabung. Sementara untuk makan sehari-hari, didapatnya secara gratis sebagai upah atas pekerjaan rumah yang ia lakoni, seperti mengisi bak mandi, mencuci, dan menjadi juru masak.
Kebiasaan hidup prihatin diteruskannya di Tanah Arab. Konon, selama di Makkah, Cholil lebih banyak makan kulit semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak.
Ini cukup mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Syekh Muhammad Yasin Padang.
Sepengetahuan teman-temannya, Cholil tidak pernah memperoleh kiriman uang dari Tanah Air. Ia dikenal pandai mencari uang melalui kepiawaiannya menulis.
Misalnya, ia banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, dan menulis khat (kaligrafi), yang kemudian dijualnya. Meskipun bisa mencari uang, Kyai Cholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin.
Ahli fikih dan hafiz
Sepulang dari tanah Arab, Cholil dikenal sebagai ahli fikih dan tarekat yang jempolan. Bahkan, akhirnya ia bisa memadukan kedua hal itu dengan serasi. Kiai Cholil juga dikenal sebagai al-hafiz (hafal Alquran 30 juz).
Ia kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar satu kilometer barat laut dari desa kelahirannya. Dari hari ke hari, pesantren miliknya ini banyak didatangi para santri dari desa-desa di sekitarnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, pesantren di Desa Cengkebuan itu ia serahkan kepada menantunya. Sementara, Kiai Cholil sendiri membangun sebuah pesantren lagi di Desa Kademangan, hampir di pusat kota, sekitar 200 meter sebelah barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak pesantren yang baru ini sekitar satu kilometer dari pesantren lama dan desa kelahirannya.
Pesantren yang baru ia dirikan ini dalam waktu singkat mendapatkan banyak santri, tidak hanya dari daerah sekitar, tapi juga dari tanah seberang, Pulau Jawa. Santri pertama dari Jawa yang belajar di pesantren Kademangan ini bernama Hasyim Asy'ari (kelak mendirikan Pesantren Tebuireng) di Jombang.
Tak hanya Kiai Hasyim Asy'ari, sejumlah nama tokoh ulama besar tercatat juga pernah nyantri di pesantren asuhan Kiai Cholil. Di antaranya, Kiai Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pesantren Tambak Beras), Kiai Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar), Kiai Ma'shum (pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (pendiri Pesantren Rembang).
republika.co.id