Tingkatan Orang yang Bertaubat
Tingkat Pertama, Seorang yang berbuta maksiat lalu bertobat dan istiqamah dalam tobatnya itu sampai akhir hayatnya. Ia berusaha memperbaiki seluruh kesalahannya di masa lalu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi kesalahannya itu, kecuali kesalahan-kesalahan kecil yang tidak mungkin dihindari.
Inilah yang disebut istiqamah dalam bertobat, dan pelakunya dinyatakan sebagai sabiq bil khairat (orang yang paling depan dalam urusan kebaikan) dan mustabdil bis sayyi'at hasanat (yang mengganti kejahatan dengan amal kebajikan). Tobat seperti inilah disebut taubatan nasuha atau tobat yang benar-benar tulus. Dan jiwa tenang orang seperti itu disebut sebagai an-nafs al-muthma'innah, jiwa yang akan kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai. Mereka inilah yang disinggung oleh sabda Rasullah saw.
"Sudah sampai lebih dahulu al-muffarradun, yaitu orang-orang yang tekun berzikir kepada Allah. Zikir mereka telah melenyapkan beban dosa-dosa mereka sehingga mereka datang pada hari kiamat tanpa punya beban lagi (dalam keadaan ringan)." (HR. at-Tirmidzi)
Tingkat Kedua, Orang bertobat yang menempuh jalan istiqamah dengan mengerjakan berbagai bentuk ketaatan yang utama, serta meninggalkan seluruh dosa besar, kecuali dosa-dosa kecil yang tidak bisa dihindarinya. Dan dosa kecil itu pun ia lakukan bukan karena sengaja atau ada niat melakukannya, tetapi semata merupakan ujian yang menghadang di tengah perjalanan. Kendati demikian, setiap kali terlanjur melakukan dosa, ia mencela dirinya, menyesali perbuatannya, merasa sedih karenanya, dan memperbarui tekadnya untuk serius menjada diri dari sarana-sarana yang dapat menjerumuskannya. Jiwa seperti ini biasa disebut dengan an-nafs al-lawwamah (jiwa yang selalu mencela), yang senantiasa mencela dirinya sendiri karena kerap melakukan perbuatan tercela, mesiki bukan berasal dari niat atau direncakan sebelumnya.
Tingkat Ketiga, Seorang yang bertobat dan bersikap konsisten (istiqamah) atas tobatnya itu hanya sementara waktu saja, dan setelah itu ia kembali dikuasai oleh nafsunya untuk melakukan dosa-dosa lain secara sadar lantaran ia tidak mampu mengendalikan diri. Namun dalam waktu yang sama ia tetap tekun menjalankan berbagai kewajiban agama dan meninggalkan beberapa dosa, meski ia sanggup dan ada dorongan syahwati untuk melakukannya. Hanya satu atau dua dosa yang gagal ia tangkal. Sedangkan ia sangat ingin diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat menundukkan nafsunya dan terbebas darinya.
"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk."