pustaka.png
basmalah2.png


16 Rabiul-Awwal 1445  |  Minggu 01 Oktober 2023

Mendudukkan Posisi Fatwa Secara Proporsional

Mendudukkan Posisi Fatwa Secara Proporsional

Fiqhislam.com - Fatwa atau ift berarti menjelaskan hukum suatu permasalahan (al-Jurjani, at-Tarift, hlm. 32). Orang yang memberikan fatwa atau yang menjelaskan hukum suatu persoalan kepada yang memintanya disebut dengan mufti. Sebaliknya, orang yang meminta fatwa disebut dengan mustafti.

Ada perbedaan antara ijtihad dan fatwa. Ijtihad adalah kegiatan istinbath (penggalian) hukum yang dilakukan baik ada persoalan (pertanyaan) ataupun tidak. Sedangkan ift hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu orang yang faqih berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.

Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu perkara yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum perkara ini halal, atau hukum perkara itu haram, tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa.

Fatwa bisa berbentuk perkataan ataupun tulisan. Namun demikian, bagi seorang mufti, sebelum memberikan jawaban atau fatwanya, pada dasarnya ia telah melalui proses yang mencakup empat perkara, yaitu: (1) apa hukum atas perkara yang dimaksud; (2) apa dalilnya; (3) apa wajh dallah-nya; (4) apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud (Ilm al-Muwaqqin, IV/157). Berdasarkan hal itu, sebagian fuqaha mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad.

Sebab, empat proses tersebut di atas, mau tidak mau, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad; di samping tentu saja dia adalah seorang Muslim, adil, mukallaf, faqih, dan memiliki pemikiran yang jernih (Ahmad bin Hamdan, Shifah al-Fatwa, I/12). Namun, asy-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia faqih di dalam agama (asy-Syaukani, Irsyd al-Fukhl, hlm. 269-271). Jadi, penampakan fatwa yang disampaikan oleh seorang mufti itu bersifat individual, bukan komunal (sekelompok mufti); sama dengan ijtihad.

Lebih dari itu, seorang mufti harus memenuhi dan memperhatikan beberapa keadaan, seperti: mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya serta mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar bisa diketahui implikasi positif dan negatif dari fatwa yang dikeluarkannya.

Dengan begitu, ia tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj., hlm. 595). Karena itu, pengetahuan seorang mufti akan dalil dari fatwanya adalah perkara yang mutlak ada, di samping pandangannya yang jauh ke depan atas dampak dari fatwanya tersebut bagi si mustafti. Rasulullah saw. bersabda: "Siapa saja yang memberikan fatwa tanpa didasarkan pada ilmu, maka ia berdosa atas apa yang difatwakannya. (HR Ahmad).

Lalu, bagaimana dengan fatwa seperti yang membolehkan riba (bunga) dengan dalih maslahat (adanya manfaat) atau karena dorongan kepentingan ekonomi, mengganti hukum-hukum hududseperti potong tangan bagi pencuri, jilid (cambuk) bagi peminum khamar, rajam bagi pezina muhshan, dibunuh lagi bagi pembunuhan secara sengaja, dan lain-laindengan hukuman penjara, mengganti hukum jihad yang bermakna perang dengan aktivitas sosial atau pembangunan, atau membolehkan ber-tahkm dengan hukum-hukum kufur (bukan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya), dan lain-lain?

Apakah fatwa yang bertentangan dengan nash-nash yang qath (tegas/pasti) dan termasuk perkara malm min ad-dn bi adh-dharrah (yang sudah maklum/diketahui hukum halal, haram, dan wajibnya sebagai bagian dari urusan agama, dan tidak diperdebatkan lagi status hukumnya) semacam ini sah dan dibolehkan?

Jelas, seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash, meskipun fatwanya itu sesuai dengan mazhabnya (Ilm al-Muwaqqin, IV/239). Ia juga tidak boleh mengerjakan apa yang diinginkannya (yaitu fatwanya) dari perkataan-perkataan dan berbagai pandangan yang belum mengalami proses tarjh/analisis (yaitu proses membandingkan dan mengambil yang terkuat) lebih dulu; tidak boleh menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan perkara yang halal, karena hal itu termasuk perkara makar dan tipudaya (Ahmad bin Hamdan, Op.cit, I/22).

Dengan demikian, setiap fatwa yang bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang qath adalah fatwa yang batil, tidak sah, dan termasuk kebohongan atas nama Allah terhadap kaum Muslim. Mahabenar Allah dengan firman-Nya: "Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, "Ini halal dan ini haram," untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]: 116). [yy/inilah]