Istri Berzina Minta Dirajam
Fiqhislam.com - Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh Allah swt, firman-Nya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.
Untuk itu Islam menetapkan suatu hukuman yang berat bagi seorang pezina dengan cambukan seratus kali dan diasingkan bagi mereka yang belum menikah serta dirajam bagi mereka yang telah menikah, sebagaimana beberapa dalil berikut ini :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)
Dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)
Rasulullah saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina,”Apakah engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab,’Ya’. Kemudian Nabi bersabda lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR Bukhori Muslim)
Meskipun terlihat berat hukuman bagi seorang pezina namun jauh lebih ringan dari pada efek yang ditimbulkannya terhadap masyarakat, inilah keadilan. Ketika hukuman berat ini tidak diterapkan dalam suatu masyarakat yang berarti tidak ada efek jera bagi para pelakunya maka akan berakibat semakin merajalelanya perbuatan mesum, perzinahan, kemunkaran dan pelacuran.
Hukuman cambuk seratus kali ataupun rajam tidaklah dapat dilakukan oleh sembarang orang atau kelompok masyarakat tertentu. Semua itu haruslah dengan pengadilan dan keputusan dari seorang sultan (hakim).
Dikeluarkan juga dari Abi Zanad dari ayahnya dari para fuqoha yang bersumber dari para penduduk Madinah bahwa mereka telah mengatakan,”Tidak sepatutnya bagi seseorang menegakkan sedikit pun dari hudud (hukuman) selain sultan kecuali seorang laki-laki yang menegakkan hukuman zina terhadap seorang budak laki-laki atau perempuan.” (Tuhfatul Ahwadzi juz IV hal 77, Maktabah Syamilah)
Jadi hukuman cambuk seratus kali dan rajam terhadap seorang yang melakukan perzinahan tidaklah bisa diterapkan di negeri yang didalamnya tidak diterapkan hukum islam.
Yang Harus Dilakukan Pezina
Seorang yang melakukan perbuatan zina sesungguhnya ia telah melakukan dua dosa sekaligus, dosa kepada Allah dan juga dosa kepada manusia. Untuk menebus kesalahan dan dosa besarnya itu maka dia diharuskan melakukan hal berikut :
1. Taubat Nashuha
Tidak ada hal yang terbaik yang harus dilakukan bagi seorang yang melakukan dosa kepada Allah swt kecuali taubat yang sebenar-benarnya. Taubat yang dibarengi dengan penyesalan dan tekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Allah swt Maha Mengetahui apa yang ada didalam hati setiap orang yang bertaubat, apakah ia bersungguh-sungguh atau hanya mempermainkan Allah swt. Bukan hal yang tidak mungkin didalam islam ketika seorang berdosa dengan dosa yang besar sekalipun kemudian dia bertaubat dengan taubat nashuha maka Allah akan mengampuni dan menghapuskan dosa-dosanya itu bahkan dimasukkannya kedalam surga Allah swt.
Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. At Tahrim : 8)
Disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa ada seorang wanita hamil dari Juhainah mengaku telah berzina dihadapan Rasulullah saw maka dirajam kepadanya setelah melahirkan bayinya itu. Pada saat itu Umar ra mengatakan,”Apakah engkau menshalati jenazahnya ya Rasulullah saw padahal ia telah berzina?’ beliau saw menjawab,’Dia telah bertaubat dengan suatu taubat yang andaikan taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, tentu akan mencukupi mereka semua. Apakah engkau mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari kerelaannya untuk menyerahkan dirinya kepada Allah.”
Jadi tidak ada kata terlambat dan putus asa bagi seorang yang masih mengimani Allah swt sebagai Tuhannya untuk kembali kejalan-Nya, memperbaiki segala kesalahannya dan menggantinya dengan berbagai perbuatan yang baik.
2. Tidak membuka aibnya kepada orang lain
Hal lain yang juga harus dilakukan oleh seorang yang berbuat dosa kepada Allah swt adalah menutupi aibnya dan tidak menceritakannya kepada siapa pun. Dengan ini mudah-mudahan Allah swt juga menutupi aib dan kesalahannya ini.
Bahwasanya Nabi saw bersabda,”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
3. Beribadah dan beramal dengan sungguh-sungguh
Firman Allah swt,”Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon : 68 – 70)
Didalam ayat ini, Allah swt menempatkan perbuatan zina setelah perbuatan musyrik dan membunuh jiwa yang diharamkan, ini berarti bahwa kesemuanya termasuk dosa besar disisi Allah swt. Namun demikian Allah dengan rahmat-Nya masih memberikan kesempatan kepada para pelakunya untuk terhindar dari adzabnya dengan bertaubat, beriman dan beramal sholeh.
Amal sholeh yang dilakukan haruslah sungguh-sunguh untuk bisa menutupi dosa besar yang dilakukannya. Amal sholeh tersebut juga sebagai bukti masih adanya iman didalam dirinya. Keimanan yang menggerakkannya untuk beramal sholeh ini yang kemudian menjadikan Allah swt menutupi dosa dan keburukannya. Bahkan tidak hanya itu, Allah swt menutup ayat itu dengan menyebutkan ‘dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’
4. Meminta maaf kepada suami
Selain taubat dan menyatakan penyesalannya yang mendalam kepada Allah swt maka seorang istri yang berzina juga harus meminta maaf kepada suaminya dikarenakan telah menodai ikatan pernikahannya dan membuat cacat rumah tangganya.
Ketika memang suaminya melihat ia betul-betul bertaubat dan menyatakan penyesalannya yang sangat dalam atas perbuatan dosanya itu maka tak ada yang lebih mulia baginya kecuali memberikan pemaafan meskipun dengan hati yang hancur lebur, sedih dan sangat berat.
Firman Allah swt,”Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf : 199)
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim juga bahwa telah bercerita kepada kami Yunus dan telah bercerita kepada kami Sufyan—yaitu bin Uyainah—dari ibnuya berkata,”Ketika Allah menurunkan ayat ,”Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” Kepada nabi-Nya maka Rasulullah saw bersabda,’Apa ini wahai Jibril?’ dia menjawab,’Sesungguhnya Allah swt memerintahkan agar memaafkan orang yang menzhaliminya, memberikan kepada orang yang menahannya dan menghubungkan silaturahim terhadap orang yang memutuskanmu.”
Bagaimana dengan pernikahan dan anaknya
Para ulama telah bersepakat apabila seorang istri berzina dengan seorang laki-laki atau seorang suami berzina dengan wanita lain maka pernikahannya tidaklah batal, baik sebelum terjadinya dukhul ataupun setelahnya karena pengakuan laki-laki yang menzinahinya bahwa dia telah menzinahinya tidaklah dapat memisahkannya.. (al Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu juz IX hal 6650)
Dan juga nasab si anak tetap disandarkan kepada suami dari ibunya yang melakukan perzinahan dengan laki-laki lain. Kalaupun seandainya laki-laki yang menzinahinya itu mengaku bahwa anak itu adalah hasil dari perzinahannya dengan ibu anak itu maka pengakuan itu tidaklah berpengaruh apa-apa terhadap penetapan nasab anak itu kepada suami dari ibunya.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ziyad bahwasanya dia telah mendengar Abu Hurairoh dari Nabi saw bersabda, ”Anak itu untuk yang memiliki tempat tidur.” (HR. Bukhrori) didalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Anak itu untuk yang memiliki tempat tidur sedang bagi orang yang berzina tidak mempunyai apa-apa.” (HR. Abu Daud dan an Nasai)
Imam Suyuthi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemilik tempat tidur adalah suaminya, atau tuannya. Seorang isteri dinamakan tempat tidur dikarenakan suami yang menidurinya. Dia juga menambahkan bahwa tidak ada bagian untuk lelaki yang menzinahinya terhadap anak itu. Sesungguhnya pemilik tempat tidur adalah pemilik ibu dari anak itu, yaitu suaminya atau tuannya sedangkan lelaki yang menzinahinya terlarang memilikinya. (Syarh Sunan an Nasai juz V hal 148 – 149, Maktabah Syamilah) Wallahu A’lam
Oleh Sigit Pranowo Lc | Eramuslim.com